Hak Asasi Manusia

BAB I

P E N D A H U L U A N

Penyusun mengangkat masalah ini untuk dibuat makalah bertujuan agar kita mengerti dan menyadari akan pentingnya perlindungan terhadap HAM bagi suatu negara, mampu menjelaskan bagaimana sebenarnya Ham itu serta dapat menganalisa isi perjanjian HAM.

Dan mengingat dinamika ketatanegaraan suatu negara dipengaruhi oleh hal, seperti situasi politik tertentu yang mendorong pemerintah untuk menyimpang dari Undang-Undang Dasar yang telah ditetapkan, serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat oleh beberapa golongan, seperti di Aceh yang menimbulkan penyimpangan dari UUD yang telah ditetapkan. Selain itu, perubahan nilai dalam negara juga dapat mempengaruhi dinamika ketatanegaraan karena nilai yang terdapat dalam UUD negara itu sudah tidak lagi memadai.

Dengan mempelajari hal-hal yang terkandung dalam Undang-Undang / Perjanjian, sebagai warga negara Indonesia dapat menjadikannya sebagai pedoman landasan dan rambu-rambu dalam hidup bernegara yang benar dan baik yang tidak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 yang telah ditetapkan.

BAB II

PEMBAHASAN

H A M

A. Pengertian Ham.

Ham adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersipat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap indipidu, masyarakat / negara.[1]

Hakekat Ham merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melaui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi Ham, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan, baik sipil maupun militer) dan negara.

Berdasarkan rumusan Ham, ada beberapa ciri pokok hakikat Ham, yaitu:

- Ham tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Ham adalam bagian dari manusia secara otomatis.

- Ham berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul soaial dan bangsa.

- Ham tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain.

B. Perkembangan Pemikiran HAM

1. Perkembangan Pemikiran HAM Secara Umum

Keberadaan Ham tidak terlepas dari pengakuan terhadap adanya hukum alam (natural law) yang menjadi cikal bakal bagi kelahiran Ham. Hukum alam menurut Marcus G Singer merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem kadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Stoa menegaskan bahwa hukumalam diatur berdasarkan logika manusia, karenanya manusia akan mentaati hukum alam tersebut. Seperti diakui Aristoteles, bahwa hukum alam merupakan produk rasio manusiademi terciftanya keadilan abadi.[2]

Salah satu muatan hukum adalah hak-hak pemberian dari alam (natural right), karena dalam huku alam ada sistem keadilan yang berlaku universal. Dengan demikian, masalh keadilan yang merupakaninti dari hukum alam menjadi pendorong bagi upaya penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal.

Pada umumnyapara pakar di eropa berpendapat ahwa lahirnya HAM di kawasan eropa dimulai dengan lahirnya magna charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasan absolut (raja yang menciftakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannyadi muka hukum. Magna charta telah menghilangkan hak obsolutisme raja. Sebab itu mulai dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggung jawabkankebijakan pemerintahannya kepada parlemen.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya the Amerikan Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan montesquieu. Mulsilsh dipertegas bahwa manusia adalh merdeka sejak di dalm perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Selanjutnya pada tahun 1989 lahirlah The French Declaration (deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Low yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintahj yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsif presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputsan pengadilan yang berkuatan hukum tetap yang menyatakan bersalah.[3]

Perkembangan yanmg lebih signifikan adalah dengan kemunculan The Four Freedoms dari presiden Rooseveit pada tanggal 6 januari 1941.

Berdasarkan rusan di atas, ada empat hak yaitu:

- Hak kebebasab berbicara dan menyatakan pendapat .

- Hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai demngan ajaran agama yang dipeluknya.

- Hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusa mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya.

- Hak kebebasan dari ketakutan, yang melliputi usaha, penyerangan, persenjataan , sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain.

Pemikiran HAM terus terus berlangsung dalam rangka mencari perumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada empat generasi:

Generasi pertama: Pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, terorisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk mendapatkan suatu tertib hukum yang baru.

Generasi kedua: Berpikiran HAM tidak hanya menunutut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Generasi ketiga: Keadilan dan pemenuhan hak azasi manusia dimulai sejak mulainya pembangunan itu sendiri, bukan setelah pemangunan itu selesai. Agaknya pepatah-pepatah kono "justice delayed, justice deny" tetap berlaku untuk kita semua.

Generasi keempat: Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak azasi manusia yang disebut declaration of the basic duties of Asia people and goeverment. Deklarasi inilebih maju daripada dari rumusan, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciftanya tatanan sosial yang berkeadilan.

Beberapa masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan HAM dalam kaitan dengan pembangunan sebagai berikut:

a) Pembangunan berdikari (self develoment)

Pembangunan yang dilakukan adalah pemangunan yang membebaskan rakyat dan angsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial, ekonomi, relokasi dan redistribusi kekayaan dan modal nasional haruslah dilakukan dan sudah waktunya sasaran pembangunan itu ditujukan kepada rakyat banyak di pedesaan.

b) Perdamaian

Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuknir dan anti perang bintang. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence) dalam segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciftaan udaya damai (culture of peace) menjadi tugas semua pihak, baik rakyat, negara, regional maupun dunia internsionsl.

c) Partisipasi Rakyat

Soal partisipasi rakyat adalah suatu persoalan hak azasi manusia yang sangat mendesak untuk terus diperjuangkan, baik dalam dunia politik maupun dalan persoalan pulik lainnya.

d) Hak-hak Budaya

Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya, terasa begitu juaga adanya upaya dan kebijakan penyeragaman terhadap hak azasi berbudaya. Karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya (multikulturalisme) yang menjadi identitas kekayaan serta komunitas warga dan bangsa.

e) Hak Keadilan Sosial

Masalah keadilan sosial ini seharusnya tidak perlu ditulis lagi tetapi karena dalam suatu negara tetap masih jauh dari pencerminan kadilam sosia, maka harus diingatkan terus sebagai suatu tuntutan warga dan bangsa.

C. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia

1. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945)

Pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam konyteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan danya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Pemikiran HAM dalam pantai-partai komonis diIndonesia sebagai partai yang berlandaskan paham Markisme lebih condong pada hak-hak yang bersipat soisal dan menyentuh isu-isu yan berekenaan dengan alat pruduksi.

Pemikiran HAM yang paling menonjol pada indisthe partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan.

Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

2. Periode Setelah Kemerdekaan (1945 – sekarang)

Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1964 yang merekomendasikan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.

HAM pada tahun 1970 – 1980, pemikiran elit penguasa pada masa ini sangat diearnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagi produk barat dan Individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan reprensif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM.

HAM pada tahun 1990 – sekarang, strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melaui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahaop penataan aturan secara konsisten.

D. Macam-macam Hak Azasi Manusia

Macam-macam hak azasi manusia dapat dibagi / dibedakan sbb:

a. Hak-hak azasi pribadi yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya.

b. Hak-hakazasi ekonomi / property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.

c. Hak-hak azasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa disebut rights of legal equality.

d. Hak-hak azasi politik / political rights, yaitu hak untuk untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan memilih dalam pemilu), hak mendirikan partai politik dan sebagainya.

e. Hak-hak azasi sosial dan keudayaan / social and culture rights, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

f. Hak-hak azasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perundangan / prosedural raights, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.[4]

E. Nilai-Nilai Hak Azasi Manusia ; Antara Nilai Universal dan Partikular

Berkaitan dengan nilai-nilai HAM, paling tidak ada tiga teori yang dapat dijadikan kerangka analisis, yaitu:

- Teori realitas (realistic theory), mendasari pandangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang menekankan self interes dan egoisme dalam dunia seperti bertindak anarkis.

- Teori relativisme kultural (Cultural relativism theory), berpandangan bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ada tiga model penerapan HAM, yaitu:

- = Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan hak pemilikan priadi.

- = Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sisial.

- = Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan ekonomi.

- Teori Radikal Universalisme (radikcal universalisme) berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara.

Dalam kaitannya dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM itu ada dua arus pemikiran atau pandangan yang saling tarik menarik dalam melihat relativisme nilai-nilai HAM, yaitu:

= Strong relativist, beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya daan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari niulai-nilai HAM yang didasari oleh budaya lokal / lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakui adanya nilai=nilai HAM lokal (partikular) dan nilai-nilai HAM yang universal.

= Weak relativist, memberi penekanan bahwa nilai-nilsi HAM bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu , Berdasarkan pandangan ini nampak tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai-nulai HAM universal.

F. HAM Dalam Tinjauan Islam

Adanya ajaran tentan HAM dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sebagi agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Karena itu perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan dari ajaran Islam itu sendiri yan wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa kecuali.

Islam datang secara inheren membawa ajaran HAM sebagaimana dikemukakan oleh Maududi bahwa ajaran tentang HAM yan terkandung dalam piagam magra charta tercifta 600 tahun setelah kedatanan Islam. Selain itu, pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, keonomi dan budaya telah jauh mendahului pemikiran barat.

Dilihat dari tingkatannya, ada tiga bentuk hak azasi manusia dalam Islam, yaitu:

1. Hak daruri (hak dasar), sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juaga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya.

2. Hak sekunder (hajy), yakni hak elementer.

3. Hak tersier ( tahsiry), yakni hak yang tingkatannya leih rendah dari hak primer dan sekunder.

G. Hak Azasi Manusia Dalam Perundang-Undangan Nasional

Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat empat bentuk hikum tertulis yang memuat aturan tentang HAM:

- Dalam konstitusi ( UUD Negara).

- Dalam ketetapan MPR ( Tap MPR ).

- Dalam undang-undang

- Dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah , keputusan presiden dan perturan pelaksanaan lainnya.

HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan hidup dalam kerangka menjadikan HAM sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM secara kurikuler melaui melalui pendidikan kewargaan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan.

H. Pelanggaran dan Pengadilan HAM.

Pelanggaran HAM adalah setiap setiap perbuatan seseorang / kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja / kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang / kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan / dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara maupun bukan aparatur negara, karena itu penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan ukan oleh aparatur negara.

BAB III

KESIMPULAN

Ham adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersipat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungioleh setiap individu, masyarakat / negara.

Berdasarkan rumusan Ham, ada beberapa ciri pokok hakikat Ham, yaitu:

- Ham tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Ham adalam bagian dari manusia secara otomatis.

- Ham berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul soaial dan bangsa.

- Ham tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain.



[1] .Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education), ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002, h. 200.

[2] .Ibid, h. 202

[3] . Ibid, hal. 203

[4] . Prof. Darji Darmodiharjo, SH, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya: 1991, h.78

Posting Komentar

0 Komentar