AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI

P E N D A H U L U A N


Al-Gazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazali dan Shalahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang Muslim yang paling dekat dengan orang Kristen.

Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum Muslim terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok : kelompok defensif yang terdiri atas ulama agama yang telah merasa puas dengan Al-Qur’an dan Hadits, kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai mazhab, filsafat, dan rasionalisme, kelompok Mu’tazilah yang mengambil filsafat Yunani dan logika Aristoteles, kelompok Syi’ah Batiniyah yang berpendapat bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran batin yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang hatinya jernih, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat kepada Allah bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya internal bukan dengan akal / sunnah, dan kelompok filosof yang mengikuti filsafat Plato modern. Semua kelompok ini selagi menarik pemikiran Islam pada zaman Al-Gazali.

Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazali dapat menjadikan sunnah, filasafat, dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan seimbang. Dia dapat menempatkan ilmu agama, sufisme, dan filsafat pada satu pemikiran yang logis dan teratur. Dia dapat mengembalikan pengikut sufi pada syari’at lahir, dan mengembalikan para filosof yang mengandalkan akal semata kepada jalan yang benar.

Karya terpenting Al-Gazali ialah Ihya ‘Ulum al-Din. Para Fukaha menilai kitab ini hampir mendekati kedudukan Al-Qur’an. Buku lainnya yaitu al-Munqidz min al-Dhalal.

Singkatnya, semua upaya Al-Gazali yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan keteladanan. Dia sangat berakhlak, zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhormat dalam sejarah manusia.

BAB I

RIWAYAT HIDUP Al-GAZALI

GHAZALI, ABU HAMID, nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M, lebih dikenal dengan nama IMAM AL-GAZALI.[1]

Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika Al-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau mempelajari ilmu Fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau melanjutkan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau belajar kepada Imam Al-Haramain.[2] Kepala sekolah Nizamiyah di Naisabur. Kemudian menjadi guru dan mengajar perguruan tersebut. Selanjutnya, pindah dan mengajar pula di sekolah Nizamiyah Baghdad, lalu menjabat sebagai Direktur sekolah-sekolah Nizamiyah seluruh Baghdad. Kedalaman dan keluasan ilmunya telah menyebabkannya ragu terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, melalui akal pikiran. Ia ragu pula terhadap Mutakallimin, para Filosof, dan golongan Syi’ah Batiniyyah.

Apa yang dicarinya selama ini tentang jalan yang benar ditemukannya di dalam tasawuf, di mana ia merasakan kejernihan pikiran sehingga terbukalah baginya ilmu yang tak pernah didapatkannya sebelumnya.[3] Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah, serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan, kehormatan, dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota Damaskus, beliau tinggal selama 11 tahun.

Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya, selalu berfikir tentang Allah SWT. Di situ kemudian beliau pergi ke Yerussalem. Di sini pula beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis. Lama-kelamaan kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji.

Kadang-kadang Al-Ghazali pulang ke Baghdad untuk sekedar menengok keluarganya. Kehidupan yang demikian ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama berada di dalam pengembaraan, akhirnya beliau pulang kembali dan menetap di Baghdad.

Setelah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyalami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tanggal 9 Desember 1111 M ( 505 H ), Hujjah al-Islam, Waliyyullah, dan filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah.[4]

BAB II

AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI

1. MAHABBAH ( CINTA ).

Mahabbah ( cinta ) itu – pertama-tama – ada berlaku di antara Allah dan para wali-Nya. Al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu. Allah berfirman : Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah ( Q.S 2: 165 ). Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ( Q.S 5: 54 ).

Jika anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak, ”Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu ?” Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak. Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya berupa pergantian siang dan malam ; matahari, bulan, serta planet-planet yang besar dan kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan pencipta dan bukti keabadian keberadaan-Nya. Maha Suci Tuhan yang mencipta segala ciptaan. Karena itu, diri anda akan bimbang manakala anda memikirkan yang lebih agung daripada yang anda lihat dan yang anda dengar. Yang menunjukkan kepada anda, sebagai bukti terkuat dan kecintaan kepada-Nya, adalah kenikmatan orang yang mendengar kalam-Nya. Sebab, ia merupakan mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan kecintaan kepada yang Maha Berbicara.[5]

2. ILMU DAN AMAL.

Orang-orang yang di istimewakan ( al-Khawwash ) di antara makhluk-makhluk Allah itu ada tiga, yaitu ‘alim ( orang berilmu ), arif ( orang bijak ), dan nasik ( ahli ibadah / orang yang tekun beribadah ). ‘Alim adalah orang yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu lahir, lalu mengamalkannya.[6]

Ilmu itu banyak macamnya. Yang paling dekat adalah yang menunjukkan pada akhirat seperti ilmu syari’at, tafsir, ilmu hadits, bacaan Al-Qur’an, dan hapalan wirid-wirid yang disebutkan di dalam al-ihya.[7]

Di antara ilmu-ilmu itu, ada yang berbahaya, seperti mengamalkan sihir-sihir dan perdukunan. Dari sejumlah ilmu-ilmu yang dipahami, ada yang membantu anda memperoleh ilmu ke akhiratan. Karena itu, jadilah orang yang beramal, niscaya anda mencapai tujuan yang tertinggi di rumah Allah yang paling baik. Di sanalah, anda menetap tanpa kegelisahan. “Di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”. ( Q.S 54 : 54 – 55 ).[8]

3. MAKNA TASAWUF.

Engkau bertanya tentang apa itu tasawuf. Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua hal, yaitu ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik sesama manusia. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulannya dengan sesama manusia disebut sufi. Ketulusan kepada Allah berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri untuk melaksanakan perintah Allah. Sementara pergaulan yang baik antar sesama manusia adalah tidak mengutamakan keinginannya di atas keinginan manusia, selama keinginan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at / dia yang mengingkarinya, dia bukanlah sufi. Jika dia mengaku seorang sufi, berarti dia telah berdusta.[9]

4. MAKNA IBADAH.

Engkau pun bertanya tentang makna ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain, bahkan melalaikan sesuatu selain-Nya. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan tiga hal berikut :

1. Perhatian terhadap perintah syari’at.

2. Keridhaan terhadap Qadha, Qadhar, dan karunia Allah.

3. Meninggalkan tuntutan pilihan dirinya dan merasa senang terhadap pilihan Allah.

5. TAWAKAL DAN KEIKHLASAN.

Engkau bertanya tentang apa itu tawakal. Ketahuilah, bahwa tawakal adalah engkau meyakini apa-apa yang Allah janjikan dengan keyakinan yang tidak dapat dilemahkan oleh berbagai bencana, betapapun banyak dan besarnya bencana itu.

Demikian pula, engkau bertanya tentang makna keikhlasan. Ketahuilah, bahwa keikhlasan itu berarti bahwa semua perbuatanmu dilakukan karena Allah. Kalbumu tidak berpaling kepada sesuatu dari makhluk, baik ketika melakukan amalan tersebut maupun sesudahnya, seakan-akan engkau menyukai kemunsulan pengaruh ketaatan kepada mu dari pancaran wajahmu dan kemunculan bekas sujud pada dahimu.[10]

BAB III

P E N U T U P


Kesimpulan

1. Imam Ghazali ; nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M.

2. Ajaran-ajaran tasawuf Imam Ghazali adalah tentang masalah : cinta ( mahabbah ), ilmu dan amal, makna tasawuf, makna ibadah, serta tawakal dan ikhlas.

3. Kitab-kitab karangan Imam Ghazali di antaranya : Ihya ‘Ulum al-Din dan al-Munqidz min al-Dalal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depag. 1993. Ensiklopedi Islam I 11 M. ( Jakarta : C.V Anda Utama ).

2. Al-Ghazali, Imam. 1998. Kegelisahan Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah ).

3. ____________. 1997. Risalah-Risalah Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah ).



[1] Depag. Ensiklopedi Islam I 11M. ( Jakarta : C.V Anda Utama :1993 ). Hal. 305.

[2] Imam Al-Ghazali. Kegelisahan Al-Ghazali, ( Bandung : Pustaka Hidayah : 1998 ). Hal. 7.

[3] Depag. Op. Cit. Hal. 306.

[4] Imam Al-Ghazali. Op. it. Hal. 8 – 9.

[5] Imam al-Ghazali. Risalah-Risalah Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah. 1997 ). Hal. 222 –223.

[6] Ibid. hal. 230.

[7] Ibid. hal. 233.

[8] Ibid. hal. 234.

[9] Ibid. hal. 33.

[10] Ibid. Hal. 332.

Posting Komentar

0 Komentar