Siswa Sebagai Peserta Didik

Oleh: Ahmad Taufik Mubarak, M.Pd.I
 

A. Pendahuluan
Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang terbaik dan termulia diantara makhluk-makhluk lainnya. Dengan kelengkapan dimensi fisik dan psikis mengantar manusia untuk mengemban amanah besar sebagai Khalifah fi a1-Ard. Amanah tersebut tidaklah "enteng" sehingga dalam penciptaan manusia pertama (Adam), secara langsung Allah SWT memberikan pendidikan dengan mengenalkan nama-nama benda di sekitar lingkungan pada saat itu.
Momentum di atas mengimplikasikan adanya suatu interaksi antara pendidik (Allah) dan terdidik (Adam) dalam proses pendidikan/pembelajaran, disamping adanya unsur-unsur penunjang lainnya seperti ungkaphn "benda-benda" yang dapat dianalogikan sebagai materi pendidikan.
Dalam lingkup mikro, aktivitas dapat dikatakan sebagai kegiatan pendidikan, apabila terdapat unsur pendidik, peserta didik, tujuan, alat-alat pendidikan dan milieu. Keberadaan pendidik dan terdidik memang mutlak diperlukan sebagai pelaku/subjek utama; Sebagai­mana Nur Ali Rahman (1997) bahwa pendidik dan terdidik merupakan unsur pokok, bagaimanapun baiknya organisasi bahan, metode dan milieu - tanpa adanya subjek pelaku maka suatu kegiatan tidak dikategorikan kegiatan pendidikan.
B. Anak didik dan Kreterianya
Anak didik dalam suatu proses pendidikan tidaklah sama dengan bahan baku yang dimasukkan ke dalam suatu pabrik untuk menghasil­kan sesuatu barang. Walaupun lembaga pendidikan "dipersamakan" dengan "pabrik" statusnya dalam mematangkan anak didik, namun dalam pelaksanaan proses itu berjalan dengan pendekatan yang berbeda.
Anak didik adalah anak yang sedang bertumbuh dan berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan mental. Yang dimaksud dengan pertumbuhan di sini ialah perubahan yang terjadi dalam diri anak didik secara wajar yang menyangkut keadaan jasmaniah seperti bertambah tinggi dan bertambah besar, sedangkan perkembangan menyangkut jasmaniah dan rohaniah. R.M. Liebert, R.W. Poulus dan G.D. Strauss mengemukakan bahwa; perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan dan kemampuan pada satu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan.
Tiap-tiap individu memerlukan bantuan orang lain (pendidik) untuk membimbing pertumbuhan dan perkembangan pada tiap tingkat sesuai dengan tugas perkembangan tiap-tiap anak (development task).
Mengenai tugas perkembangan ini, Havighurst mengemukakan sebagai berikut: Tugas-tugas dalam perkembangan adalah tugas-tugas yang timbul pada atau kira-kira pada masa perkembangan tertentu dalam kehidupan seseorang yang bilamana berhasil menimbulkan kebahagiaan dan akan diharapkan pula pada tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya bilamana gagal dia akan menimbulkan ketidak­bahagiaan pada diri pribadi yang bersangkutan, tidak diterima oleh masyarakatnya dan mengalami kesulitan untuk mencapai tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Tugas-tugas perkembangan itu bersumber pada: kematangan fisik, rangsangan dan tuntutan dari masyarakat dan norma-norma pribadi.
selanjutnya Thomas (1953) membagi dua model dalam perkem­bangan yakni:
1.      Model kuantitatif yang menjelaskan adanya perubahan-perubahan kuantitatif pada setiap masa perkembangan. Perubahan itu dapat diukur.
2.      Model kualitatif yang menekankan adanya perubahan/perbedaan kualitatif antara satu masa perkembangan dengan masa perkembang­an yang lain.
Justru karena itu jelaslah bahwa anak didik berbeda menurut kodratnya tempat di mana ia sedang mendapatkan pendidikan. Dalam keluarga yang berfungsi sebagai anak didik adalah anak keluarga itu, di sekolah adalah murid-murid, di dalam masyarakat adalah anak-anak yang membutuhkan bantuan dan bimbingan menurut lembaga yang meng­asuh pendidikan tersebut. Dengan demikian, pendidik harus memaha­mi irama perkembangan masing-masing anak pada tiap-tiap tingkat perkembangan dan umur sehingga memungkinkan pemberian bantuan yang tepat dan berdaya guna.
C. Pola-pola Perkembangan
Para ahli ilmu keturunan dalam penyelidikannya telah menemu­kan beberapa pola perkembangan khusus yang hanya berlaku bagi sebagian anak-anak dan pola umum yang telah mempunyai urutan yang tetap. Pola-pola perkembangan itu adalah sebagai berikut:
  1. Pertumbuhan fisik yang terarah. Dalam hal ini ada dua hukum yakni: (1) Hukum cephalocaudal, yaitu pertumbuhan yang dimulai dari kepala ke arah kaki. Hal ini berarti kepala tumbuh dahulu, kemudian diikuti oleh bagian-bagian lain sampai ke kaki. Pertumbuhan fisik berdasarkan konsep ini dapat terlihat pada waktu pertumbuhan prenatal yaitu pada janin. Bayi yang baru lahir ternyata kepala jauh lebih matang dari kaki. Mata lebih dulu mampu bereaksi dibandingkan dengan tangan dan selanjutnya tangan lebih dulu mampu berbuat dibandingkan dengan kaki. (2) Hukum proximodistal, yaitu pertumbuhan yang berpusat pada sumbu dan mengarah ke tepi. Alat-alat tubuh yang terdapat pada sumbu (pusat) seperti jantung, hati, alat pencernaan lebih dulu berfungsi dibandingkan dengan anggota tubuh yang di tepi seperti tangan, jari tangan baru bisa berfungsi kalau jantung berfungsi terlebih dahulu untuk menggerak­kan dan mengedarkan darah ke sana. Kalau urat nadi tidak baik lagi, maka tangan akan tidak ada artinya.
  2. Perkembangan terjadi dari umum ke khusus. Pada setiap proses perkembangan selalu dimulai dari yang umum dan secara berangsur ke hal-hal khusus. Anak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya dulu sebelum berjalan dengan kakinya. Dia akan langsung menangis kalau merasakan hal-hal yang tidak enak, tetapi setelah beberapa lama kemudian ia akan dapat membedakannya, mana yang mena­ngis, mana yang tidak atau reaksi lainnya.
  3. Perkembangan berlangsung dalam tahapan-tahapan perkembangan. Ini berarti bahwa masa perkembangan itu terbagi dalam beberapa tahapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tiap-tiap tahapan/masa perkembangan itu mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda-beda. Cepat atau lambatnya irama perkembangan masing-­masing anak menyebabkan pula terjadinya perbedaan perorangan (individual differences) pada anak-anak. Tahapan perkembangan itu dibedakan atas: (1) Masa bayi 0,0 —1,6 disebut juga masa vital, (2) Masa kanak-kanak 1,6-7,0 disebut pula masa estetika, (3) Masa anak sekolah 7,0-12,0 disebut juga masa intelek, (4) Masa puber 12,0-18,0 dan masa adolesen 18,0-21,0. Masa puber dan masa adolesen juga disebut dengan masa sosial. Pertahapan seperti yang dikemukakan di atas dikemukakan oleh Ph. A. Khonstamm.
  4. Perkembangan tiap-tiap diri individu dipengaruhi oleh kematangan (readiness), belajar/latihan dan pengalaman. Perkembangan tiap-tiap anak didik sangat dipengaruhi oleh kematang­annya dalam aktifitas yang akan diikutinya. Kesiapan/kematangan adalah merupakan motivasi dari dalam diri anak didik untuk berperan serta dalam suatu aktifitas. Kekuatan dari dalam ini akan menimbulkan reaksi yang responsif dan sekaligus akan menerima pendekatan yang bersifat persuasif. Belajar dan latihan akan membantu pada perkembangan anak didik dalam mewujudkan kesiapan/kematangannya. Peranan belajar/latihan, kemudian diikuti oleh pengalaman, akhirnya mengembangkan kematangan, dalam membentuk anak didik. Kita tidak perlu mempermasalahkan mana yang dominan, atau mana yang lebih berpengaruh, karena itu akan membawa pada dilema yang tidak tentu ujung dan pangkalnya; yang jelas semua kita telah sependapat bahwa pertumbuhan dan perkem­bangan seseorang dalam menumbuhkan kepribadiannya dipengaruhi oleh kematangan belajar/latihan dan pengalaman.
D. Anak didik dan Masalahnya
Memahami anak didik dan masalahnya hendaklah ditinjau dari segi anak didik itu sendiri dalam kaitannya dengan keikutsertaannya pada aktifitas yang sedang berlangsung. Peranan anak didik dalam suatu aktifitas ditentukan oleh seberapa jauh partisipasi aktif dari anak didik yang sumber dari kewenangan yang diberikan oleh pendidik/guru pada saat itu. Peran aktif anak didik di lain pihak dipengaruhi oleh kemam­puan anak didik itu sendiri dalam mencernakan bahan yang diberikan sehingga memungkinkan interaksi edukatif dalam situasi pendidikan yang menantang terarah dan bermakna. Secara keseluruhan anak didik dan masalah yang dihadapinya dapat dilihat dalam konteks:
1. Sifat Kepribadian dan Kemampuan Anak Didik
Sifat kepribadian seseorang ditandai dan dipengaruhi oleh potensi yang mengalir dalam diri masing-masing, sebagai warisan yang diterima dari kedua orang tuanya dan keluarganya terdahulu serta pengaruh lingkungan di mana dia berkembang dan bertumbuh.
Sifat kepribadian seseorang diwarnai oleh faktor pembawaan dan lingkungan. Ada orang yang berasal dari ayah dan ibu yang sama, tetapi mempunyai sifat dan kemampuan yang berlainan atau sebaliknya. Gambaran itu memberikan ilustrasi bahwa adanya sifat laten dan dominan terhadap, sifat yang diterima dari orang tuanya. Kepribadian dan kematangan anak dari keluarga yang sama dan dibesarkan dalam lingkungan yang berlainan akan berbeda pula. Hal yang sama juga terjadi apabila lingkungan yang sama dan keluarga yang berbeda. Tidak ada dua orang yang betul-betul sama, walaupun kembar identik sekalipun, namun ada orang yang memiliki kemampuan dasar (ability) yang sama. Keberbedaan sifat dan kematangan itulah yang mempeng­aruhi partisipasi seseorang di dalam lingkungannya.
Robert R. Sears mengemukakan perubahan tingkah laku bersumber pada:
a.       Kematangan fisik
b.      Conditioning kebudayaan
c.       Tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain.
2. Bentuk Kegiatan
Jenis dan bentuk kegiatan yang dilakukan pada prinsipnya akan menentukan taraf kesukaran dan bentuk partisipasi yang diharapkan. Makin mudah dan sederhana bentuk kegiatan, makin banyak pula orang yang akan diserapnya, tetapi sebaliknya makin kompleks dan sukar, makin terseleksi pula anak yang mungkin berpartisipasi. Untuk anak kelas 1 Sekolah Dasar, jenis kegiatan sambil bermain, seperti membuat gambar dalam bak pasir, atau membersihkan halaman dan sebagainya, akan banyak yang akan terlibat, tetapi kalau disuruh membuat pagar dari bambu, maka tidak semua anak dapat mengerja­kannya lagi.
3. Situasi Lingkungan
Situasi lingkungan yang berbeda-beda antara anak didik cenderung mempengaruhi peran serta dari mereka itu. Orang tua, guru atau keluarga lain yang berfungsi sebagai pendidik akan membentuk corak keterlibatan daripada anak didik. Orang tua yang otoriter, guru yang menentukan dan pimpinan yang menganggap dirinya lebih dari yang lain akan memusatkan pokok pembicaraan pada dirinya dan kurang memberikan kepada yang lain. Keadaan yang demikian akan lebih menonjol kalau ditopang oleh Situasi lingkungan. Lingkungan yang kaku dan tidak terbuka kurang membuka semangat anak didik untuk berpartisipasi. Mereka kurang gairah, kurang dinamis. Respon mereka sekedar menunggu perintah dan tidak berinisiatif.
Sebaliknya lingkungan dengan pendekatan pursuasif, menarik dan terbuka untuk berkarya, memancing anak didik untuk ke luar dari "tata kehidupan yang selama ini kurang menantang untuk berkarya, untuk lebih berinisiatif kreatif dan dinamis. Contoh: perhatikan anak didik yang dibesarkan dalam lingkungan otoriter, kemudian lihat pula anak yang dibesarkan pada lingkungan di mana orang tua tidak mau tahu dengan keadaan anaknya. Pada keadaan pertama anak-anaknya akan keras dan kurang toleransi, kaku dengan peraturan sedangkan pada kelompok kedua semua anaknya semau gue saja; tidak ada norma yank mengikat bagi dirinya dan kurang mengenal norma yang seharusnya diketahui oleh seseorang anak.
4. Pengalaman Anak Didik
Pengalaman anak didik adalah fenomena yang sangat menentukan partisipasinya. Anak yang sudah berpengalaman akan lebih mudah memecahkan sesuatu masalah dibandingkan dengan anak lain yang belum berpengalaman. Pengalaman yang dimiliki oleh setiap anak-anak akan membuat yang bersangkutan berpikir lebih kritis dan sistematis dibandingkan dengan anak lain. Pengalaman adalah guru yang paling baik untuk kegiatan berikutnya.
Fenomena yang terjadi dalam kehidupan pribadi tiap anak dalam lingkungannya akan menyebabkan masalah yang berbeda pula dengan pemecahan yang berlainan. Kalau kita perhatikan kehidupan dalam keluarga dengan penekanan kepribadian anak maka akan kita dapati anak sebagai berikut:
1.      Anak yang penangis
2.      Anak yang keras kepala
3.      Anak yang pelawan
4.      Anak yang pelupa
5.      Anak yang lemah ingatan
6.      Anak yang tidak sanggup berpikir/intelegensi rendah
7.      Anak yang pengelamun
8.      Anak yang sulit bergaul dengan orang lain
9.      Anak yang nakal dan suka berkelahi
10.  Anak yang egoistis
11.  Anak yang persepsinya kurang
12.  Anak yang suka mencuri
13.  Anak yang pendusta
14.  Anak yang suka ngomel
15.  Anak yang selalu merasa rendah diri
16.  Anak yang mudah tersinggung
17.  Anak yang mengalami cacat indra
18.  Anak yang pemarah dan agresif
19.  Anak yang selalu takut dan cemas
20.  Anak yang terlalu pintar/intelegensi tinggi (genius)
21.  Anak yang apatis/masa bodoh
22.  Anak yang kecanduan.
A
Keadaan kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing anak seperti di atas akan menimbulkan masalah dalam dirinya. Masalah yang sama pada dua orang anak didik belum tentu dapat diselesaikan dengan cara yang sama, karena:
  1. Banyak sebab-sebab yang dapat menimbulkan gejala-gejala yang sama.
  2. Banyak mungkin gejala berlainan ditimbulkan oleh sebab yang sama.
  3. Saling berhubungan dan berkaitan Berta bergantung sebab yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya anak didik dan masalahnya di sekolah tidaklah dapat dipisahkan dari masalah dalam keluarga. Sebagian mereka yang bersekolah masih mengalami masalah kepribadian seperti di atas, kemudian diikuti oleh masalah yang terdapat di sekolah antara lain:
1.      Sering absen
2.      Suka mengganggu teman dan kurang simpatik
3.      Lambat menangkap pelajaran
4.      Sulit menyesuaikan diri dengan pelajaran baru, lingkungan, guru dan tata tertib sekolah.
5.      Masalah penempatan
6.       Anak yang mengalami kesukaran dalam pembicaraan
7.      Anak-anak yang mengalami kesulitan mata, telinga,
8.      Kesehatan yang sering terganggu.

Dari masalah yang ditemui pada anak-anak dalam keluarga maupun di sekolah dapat kita simpulkan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Masalah pribadi
2.      Masalah fisiologis permanen:
a. Intelegensi yang terbatas
b. Hambatan penglihatan
c. Hambatan pendengaran
d. Masalah persepsi
e.  Masalah cacat fisik.
3.      Masalah fisiologis temporer:
a.  Masalah gizi
b.  Keletihan
c.  Kecanduan
4.      Masalah kenakalan
5.      Masalah minat/perhatian

E. Anak Didik dan Konsep Fitrah
Anak didik merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan, ia merupakan objek yang menerima bimbingan, arahan, bantuan dari pendidik guna mencapai kedewasaannya secara maksimal.
Dalam sejarah pertumbuhan ilmu pendidikan, berkembang beberapa aliran yang menunjuk pada konsep anak didik. Dan sangat tidak asing di telinga kita tentang tiga aliran yang terkenal, yaitu :
a.     Aliran Nativisme, dipelopori Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat bahwa perkembangan manusia       ditentukan oleh faktor pembawaan. Pendidikan diumpamakan merabah emas menjadi petak.
b.     Aliran Empirisme, dipelopori John Locke (1632‑1704), teorinya dikenal dengan Tabula Rasa ‑ bahwa individu lahir dalam keadaan putih bersih, dan lingkunganlah yang memberi warna, tulisan, corak di atasnya.
c.  Alipan Convergensi, dipelopori William Stern (1871-1920), bahwa peran pembawaan dan lingkungan saling berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Dalam pandangan Islam, anak merupakan rahmat Allah yang diamanatkan kepada orang tuanya, ia membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang dan perhatian. Dan kesemuanya itu menjadi tanggung jawab orang tua, guru dan masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan.
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa kriteria anak didik diantaranya adalah:
-          Manusia yang belum dewasa.
-          Manusia yang membutuhkan bimbingan.
-          Manusia yang memiliki dimensi fisik dan psikis.
Sebagaimana   Maslow dalam visinya tentang anak didik, pada dasarnya ia adalah manusia merdeka yang membutuhkan rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, mempunyai kebutuhan-kebutuhan psiltologis dan fisio­logis.
Dalam kapasitasnya sebagai terdidik (pengabdi ilmu), siswa harus memiliki sifat tawadlu (merendahkan diri kepada siapa dia belajar, hormat dan ta'zim kepadanya dan mengetahui haknya. Di samping itu sebagai pecinta ilmu, terdidik harus:
-          Bertanya dan diam (As-sual was shumtu)
-          Mendengarkan (Al istimaa')
-          Mengingat-ingat/mengenang (At tafakkur)
-          Mengamalkan ilmu (al-'Amalu fil 'Ilmi)
-          Mencari kejujuran dari diri sendiri (Tahabus shidqi- min nafsihi)
-          Banyak dzikir atas nikmat-nikmat Allah (kats ratuz zikri an nahu min niamillah)
-          Menjauhkan kekaguman atas pretasi yang dicapai (Tarkul Ijaab bimaa yuhsinuhu).
Sejak 14 abad yang lalu Islam telah memiliki konsep tentang fitrah (manusia). Dalam kerangka tauhid, konsep fitrah manusia diawali dengan sebuah moment "bargaining" manusia dengan Allah dalam hal persaksian yang telah terformulasikan dalam Firman Allah QS.7:172, yang artinya : "Bukankah Aku Tuhanmu ? Mereka menjawab: Betul kami bersaksi ...”.
Pada dimensi sosio kultural konsep manusia tentang fitrah dapat dirujuk dalam QS. 30:30, yang artinya: ”... (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah ...”.
Di samping itu Hadits Riwayat Bukhari menegaskan bahwa "Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah dan kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi" .
Dalil-dalil di atas mengandung prinsip bahwa pada dasarnya setiap manusia. yang lahir dalam keadaan fitrah (=membawa potensi) untuk berkembang, adapun faktor lingkungan merupakan pendukung yang sangat berperan dalam perkembangan manusia secara optimal.
Fitrah laksana emas dan minyak yang tersembunyi di perut bumi. (demikian menurut Hasan Langgulung), tidak akan ada gunanya kalau tidak digali dan diolah sehingga menjadi kemahiran - kemahiran dan dapat dinikmati manusia. Adapun sarana untuk menggali dan mengolah potensi itu adalah lewat pendidikan.
Menurut  H.M. Arifin (1976), dalam pandangan Islam potensi manusia tersimpul dalam Asmaul Husna (sifat-­sifat Allah). Adapun pengembangan sifat-sifat ini pada diri manusia  itulah ibadah dalam arti luas, sebab tujuan manusia diciptakan adalah untuk penyembah Allah.
Lebih lanjut, Islam juga memiliki konsep pendidikan seumur hidup (long life education) jauh sebelum Mj. Langeveld, sebagaimana dapat disadap dari sabda. Nabi. ” طلب العلم من المهد إلى اللحد ” . Konsep Long Life Education ini memang sudah diterima masyarakat luas, dan akan semakin menonjol serta relevan karena revolusi informasi yang sedang dan akan terjadi. Dalam perspektif Islam, pendidikan anak sangat tidak dibatasi oleh usia, tidak juga harus ditempuh dalam lembaga formal.
Dengan demikian manusia harus senantiasa berusaha semal-simal mungkin untuk mendapatkan apa yang akan diraahnya., seperti Quraisy Shihab (1992), mengatakan bahwa. sekalipun Nabi Muhammad telah mencapai segala puncak kehidupan masih tetap juga diperintah untuk selalu memohon (do'a) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dari uraian di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dengan belajar kita akan sampai pada penghayatan keagungan Allah, lebih dari itu Allah juga. menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang lebih tinggi (dapat dilihat makna. QS. Al-­Mujadillah : 11).
F. Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Siswa adalah anak didik yang sedang tumbuh berkembang baik ditindau dari segi fisik maupun psikis, oleh karena itu perlu ada bimbingan dan arahan dari orang dewasa (guru).
  2. Fitrah sebagai potensi yang dimiliki seseorang akan dapat berfungsi optimal bila digali dan diolah melalui pendidikan di lingkungan yang berlangsung seumur hidup.­