Aliran Psikologi


BAB I
PENDAHULUAN
 Sebenarnya Psikologi Transpersonal sudah lama di pelajari (oleh orang Amerika dan Eropa)...tapi kenyataanya di Indonesia kebanyakan orang salah mempersepsikan tentang "transpersonal' ini. Mungkin banyak yang pernah mendengar tentang istilah "PARAPSIKOLOGI". Istilah inilah yang berhak disandang oleh para ahli transpersonal, mungkin salah duanya adalah Prof. Grof bersama istrinya. Dalam makalah ini, kami akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang aliran-aliran psikologi cabang psikologi dan Transpersonal.
BAB II
PEMBAHASAN
 A.  Aliran-Aliran Psikologi
Abraham Maslow membagi aliran psikologi—yang juga menggambarkan babakan sejarah kehadirannya—ke dalam empat aliran besar. Pertama aliran psikoanalisis, kedua behavioral, ketiga humanistik, dan keempat psikologi transpersonal. Kendati sains empiris menjadi basis bagi psikologi modern, tapi pada kenyataannya perkembangan psikologi tidak dikendalikan oleh kaidah-kaidah saintifik. Perkembangan psikologi lebih lanjut, terutama pada paruh abad ke-20, kembali diwarnai oleh pemikiran filosofis yakni eksistensialisme dan fenomenologi. Bahkan beberapa tahun setelahnya, psikologi mulai mendapatkan pengaruh dari kebangkitan spiritualisme gaya baru. Inilah awal mula hadirnya psikologi aliran keempat: psikologi transpersonal.
Secara umum kehadiran psikologi dipicu oleh pertanyaan mengenai kesadaran atau pikiran manusia. Ada dua pandangan, terutama di abad sembilan belas, terhadap permasalahan ini. Pertama, psikologi fakultas yang beranggapan bahwa manusia memiliki mental bawaan. Menurut teori ini, pikiran memiliki beberapa fakultas atau badan mental yang independen. Mazhab behaviorisme termasuk ke dalam kelompok ini. Kelompok kedua bernaung dalam psikologi asosiasi, yang justru memiliki anggapan yang berlawanan. Mereka menyangkal adanya fakultas bawaan, dan sebagai gantinya mereka menawarkan konsep asosiasi ide, yaitu ide yang masuk melalui alat indera dan kemudian oleh pikiran diasosiasikan melalui prinsip-prinsip tertentu seperti kemiripan, kontras, dan kedekatan.[1]
Menjelang akhir abad ke sembilan belas, perkembangan ilmu pengetahuan dalam kerangka paradigma newtonian-cartesian mengalami puncaknya. Keberhasilan bidang fisika, kimia dan biologi dalam menganalisis senyawa kompleks dalam satuan-satuan kecil atau unsur pembentuknya telah mendorong para psikolog untuk juga menemukan elemen atau unsur pembentuk mental. Eksperimen yang dilakukan Wundt terhadap sensasi adalah dengan pendekatan metode analisis semacam ini. Karenanya E.B. Titchener, seorang psikolog Amerika hasil didikan Wundt memperkenalkan istilah strukturalisme, yakni pendekatan psikologi yang dilakukan untuk menentukan struktur mental.
Di Amerika sendiri, ada seorang filsuf sekaligus seorang psikolog yang dengan gigih menentang pendekatan analitikal strukturalisme. Ia adalah William James, seorang lulusan Harvard University, dan penggagas pragmatisme dalam filsafat. James beranggapan seharusnya psikologi memberikan penekanan yang besar pada pemahaman karakter personal manusia yang cair dan mengalir. Minat utamanya adalah meneliti bagaimana pikiran bekerja, sehingga organisme dapat beradaptasi terhadap lingkungannya. Karenanya, pertanyaan yang diajukan James adalah bagaimamana agar pikiran atau kesadaran bekerja, sehingga organisme dapat beradaptasi terhadap lingkungannya. Inilah sebab pendekatannya disebut sebagai fungsionalisme.
Apa yang dikemukakan oleh James mencirikan pengaruh kuat dari teori evolusi Darwin, terutama tentang seleksi alam. Untuk mengetahui bagaimana organisme beradaptasi dengan lingkungannya, pendukung fungsionalis berpendapat bahwa data yang berasal dari introspeksi harus dilengkapi dengan observasi perilaku aktual, termasuk penelitian perilaku hewan dan perkembangan perilaku atau psikologi perkembangan. Di sinilah fungsionalisme melihat bahwasanya perilaku manusia merupakan variabel yang bergantung kepada banyak faktor lainnya.
Strukturalisme dan fungsionalisme memiliki peran penting bagi perkembangan psikologi pada tahapan awal. Memasuki awal abad 20, aliran psikologi strukturalisme dan fungsionalisme tergantikan oleh aliran baru: psikologi gestalt, behaviorisme dan psikoanalisis.[2]
Kita bahas sepintas tentang psikologi gestalt yang lahir di Jerman pada tahun 1912, dengan tokohnya Max Wertheimer. Istilah gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang bermakna bentuk atau konfigurasi. Aliran ini beranggapan bahwa organisme hidup memahami segala sesuatu bukan dalam pengertian elemen-elemen terpisah melainkan dalam pengertian gestalten, yaitu sebagai suatu kesatuan bermakna di mana kualitas-kualitasnya tidak ada dalam bagian individualnya.
Eksperimen gestalt pertama mempelajari persepsi gerakan, yakni fenomena phi. Dua cahaya dinyalakan secara berurutan (asalkan waktu dan lokasinya tepat), subjek melihat cahaya tunggal bergerak dari posisi cahaya pertama ke cahaya kedua. Fenomena kesan pergerakan ini telah banyak diketahui, tapi ahli psikologi gestalt menangkap pola stimuli dalam menghasilkan efek. Pengalaman kita bergantung pada pola yang dibentuk oleh stimuli daripada organisasi pengalaman. Apa yang dilihat adalah relatif terhadap latar belakang, dengan aspek lain dari keseluruhan. Keseluruhan berbeda dengan penjumlahan bagian-bagiannya; keseluruhan terdiri dari bagian dari suatu hubungan.

B.  Mazhab Behavioristik, Psikonalisis dan Humanistik
Semenjak Wundt mentasbihkan psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, beragam reaksi sekaligus pengayaan terhadap ilmu ini mulai bermunculan. Secara hampir bersamaan, di Amerika berdiri aliran behaviourisme, di negeri Jerman sendiri muncul psikologi gestalt, dan di Wina, dengan tokohnya Sigmund Freud, berdiri psikoanalisa. Apa yang menjadi pemicu timbulnya aliran-aliran psikologi tersebut di atas, setidaknya memperlihatkan kondisi sosial masyarakat kala itu.
Behaviorisme didirikan oleh John B. Watson, dengan garis besar teori bahwa hampir semua perilaku manusia merupakan hasil dari pengondisian, dan lingkunganlah yang membentuk perilaku manusia dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Fenomena mental manusia dalam pandangan behaviorisme, bermula dari stimulus dan menghasilkan respon, hingga disebut dengan psikologi stimulus-respon (S-R). Manusia dalam pandangan aliran ini dianggap seperti sebuah kertas kosong (tabula rasa, meminjam konsep John Locke) yang siap diisi dan ditulisi apa pun. Kondisi lingkungan adalah faktor utama yang membentuk dan mengarahkan kepribadian manusia tersebut.
Untuk tujuan-tujuan pembentukan kepribadian, para tokoh aliran ini mencoba mengubah kondisi lingkungan. Misalnya salah seorang pionirnya adalah Ivan Pavlov, dengan konsep pengondisian (conditioning), serta hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Dalam pandangan Pavlov—dan para behavioris lainnya—manusia (seorang anak) dianggap memikiki kesadaran yang tidak berbeda dengan binatang. Hingga perlakuan dan percobaan terhadap binatang, akan digeneralisasi kepada manusia. Misalnya dalam salah satu pecobaannya terhadap seekor anjing yang diikat pada tempat yang kedap suara dan kedap bau. Pada suatu waktu, sebuah bel dibunyikan sebelum anjing tersebut disodorkan makanan. Dan setiap kali bel berbunyi, si anjing tersebut meresponnya dengan mengeluarkan air liur. Suara bel adalah suatu stimulus (S) yang direspon oleh si anjing dengan mengeluarkan air liur (R).
Psikologi transpersonal bukanlah agama, bukan ideologi, bukan juga metafisika dan bahkan bukan New Age (seperti praktik aura, crsytal, aromatherapy, kajian UFO, dll) meskipun ada sedikit irisan dengannya.
Tapi definisi ini tidak mengakomodasi kepentingan orang-orang yang berhubungan dan mengklaim diri sebagai pengikut mazhab transpersonal, sehingga mau tidak mau kita harus membagi mazhab transpersonal ini juga dalam empat cabang. Kelompok pertama adalah kelompok mistis-magis. Menurut kelompok ini kesadaran transpersonal bersesuaian dengan kesadaran para dukun dan shaman masa lalu. Pandangan ini dianut oleh para aktivis New Age, dan salah satunya gerakan teosofi yang dipimpin oleh Helena Blavatsky. Seringkali romantisme dari kelompok ini menyulitkannya untuk berinteraksi dengan arus utama psikologi.
Kelompok kedua adalah kelompok tingkat kesadaran alternatif yang biasanya menolak konsep-konsep perkembangan, tahap-tahap dan praktik peningkatan kesadaran. Mereka lebih suka meneliti keadaan kesadaran sementara secara psiko-fisiologis dengan memelajari keadaan-keadaan fisik seseorang yang berada dalam keadaan transpersonal. Kelompok ini bersama kelompok ekoprimitivisme menganjurkan penggunaan media (seperti zat-zat kimia atau psikotropika) untuk pencapaian keasadaran transpersonal. Tokoh yang cukup penting dalam kelompok ini adalah Stanislav Grof yang menggunakan LSD untuk psikoterapinya. Setelah penggunaan LSD dilarang pemerintah, Grof kemudian menggunakan teknik pernapasan (pranayama) dari tradisi Timur, yang disebutnya sebagai Holotrophic Breathwork.
Kelompok ketiga, kelompok transpersonalis posmodern. Mereka menganggap keasadaran transpersonal, sebenarnya merupakan keadaan yang biasa. Kita, manusia modern, menganggapnya seolah luar biasa, karena kita membuang kondisi kesadaran seperti ini. Kelompok ini menerima kisah-kisah para dukun shamanisme dan mistikus dalam semangat relativisme pluralistik. Mereka justru mengecam filsafat perennial yang mengungkapkan pengalaman mistik sebagai totaliter dan fasistik karena mengagungkan hierarki.
Kelompok psikologi transpersonal yang keempat adalah kelompok integral. Kelompok ini menerima hampir semua fenomena kesadaran yang diteliti oleh ketiga kelompok tadi. Yang berbeda, kelompok ini juga menerima konsep-konsep psikologi transpersonal dari aliran pramodern dan posmodern. Salah seorang tokohnya adalah Ken Wilber, yang nanti akan dibahas pada bab khusus. Kelompok pertama, kedua dan ketiga merupakan kelompok yang berada--bahkan bersebarangan--dengan agama formal. Helena Blavastky, yang berada pada kelompok yang pertama, misalnya, mengharuskan para anggotanya untuk tidak memiliki kecenderungan kepada agama tertentu.


C.  Psikoterapi Dalam Transpersonal
Psikoterapi mempunyai pengertian terapi yang diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan mental dan emosi, yang dilakukan dengan instrumen psikologi. Tentu saja terapi yang diberikan mempunyai banyak variasi, dengan menginduk kepada teori psikologi tertentu. Ambil contoh untuk psikoterapi analitis, sejenis terapi yang diberikan yang merujuk kepada teori psikoanalisa. Dalam pandangan psikoanalisa, gangguan kepribadian atau mental terjadi karena setiap orang memiliki semacam mekanisme pertahanan diri. Salah satu mekanisme tersebut ialah represi, yakni membawa ke pikiran bawah sadar (unconsciousness) berbagai pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan dan traumatis. Inilah yang menyebabkan gangguan kepribadian. Seorang ahli psikoterapi, jika merujuk teori ini, akan berusaha mengangkat kembali ke alam sadar, trauma dan pengalaman yang direpresi ke bawah sadar. Terapi seperti ini dinamakan asosiasi bebas. Si pasien di buat relaks, terkadang dihipnotis, dan dibiarkan bicara segala hal yang ada di pikirannya. Dari ucapan-ucapannya tersebut, seorang terapis akan menentukan motif-motif bawah sadarnya.[3]
D.  Tokoh-tokoh Psikologi Transpersonal
Berikut ini adalah tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi besar bagi pembentukan angkatan psikologi yang keempat : psikologi transpersonal.
1.    William James
Ia lebih dikenal sebagai penggagas pragmatisme dalam filsafat. Seperti halnya behaviorisme dalam psikologi yang lebih cocok dengan semangat Amerika, demikian juga dengan pragmatisme, yang mewakili pandangan metafisika Amerika. William James dengan pragmatismenya benar-benar memberikan sumbangan yang orisinil bagi dunia filsafat. Istilah pragmatisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, pragma, yang berarti tindakan. Maka pragmatisme diartikan sebagai filsafat tentang tindakan. Ini berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir seputar problem filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari masalah-masalah itu, dan bukan memberikan jawaban finalnya.
Salah satu karyanya yang penting dalam bidang psikologi agama, dan juga merupakan karya pertama yang membahas pengalama religius adalah The Varieties of Religious Experience. Buku ini selain membahas permasalahan aktual tentang pengalaman keagamaan dalam kacamata pragmatisme, dan juga pengalamannya sendiri.

2.    Charles T. Tart
Ia dikenal sebagai seorang parapsikologist, yang berusaha memadukan apa yang disebut sebagai pengalaman-pengalaman spiritual (ia menggunakan istilah d-ASC) dengan sains. Lantas ia meletakan dasar-dasar teori untuk pengintegrasian kedua hal tersebut, sembari memaparkan karak­teristik keduanya, syarat, kapan dan bagaimana antara spiritual dan sains bisa menyatu.
Manusia, menurut Charles T. Tart, berusaha mendapatkan apa yang disebut d-ASC, sebuah perubahan kesadaran; dimana dirinya merasa terbuka, menyatu dengan alam semesta, ada aliran energi di seluruh tubuhnya, merasakan bahwa dunia adalah satu, penuh cinta, dan waktu seakan berhenti. Hanya saja, beberapa mendapatkannya melalui drugs (LSD, heroin ganja), yang mempunyai dampak kerusakan fisik. Padahal, lagi-lagi menurutnya, ada beberapa teknik non-drugs yang bisa digunakan (semisal meditasi dan ritual-ritual keagamaan lainnya) yang lebih positif.

3.    Carl Gustav Jung
Pada mulanya ia begitu diharapkan akan meneruskan jejak gurunya, Sigmund Freud, dalam memperkuat teori psikonalisa. Hanya saja, penekanan yang berlebihan terhadap seksualitas sebagai landasan pokok teori Freud, kurang memuaskannya. Tambahan lagi, suatu visi, tepatnya mimpi yang begitu nyata, membuat Jung mulai membuat penafsiran yang berbeda sebagaimana teori mimpi yang dibangun di psikoanalisa.
Pada tahun 1913, sebuah mimpi dialaminya. Ia melihat banjir besar meliputi seluruh daratan Eropa. Bahkan sampai ke wilayah-wilayah pegunungan di Swiss, negerinya sendiri. Ribuan orang tenggelam. Peradaban manusia di ambang kehancuran. Perlahan air bah yang demikian besar tadi berubah menjadi darah. Visi tadi berlanjut beberapa minggu kemudian dengan mimpi musim dingin yang tak pernah berakhir, dan sungai darah di daratan Eropa. Tak lama berselang, di bulan Agustus tahun itu juga, Perang Dunia I dimulai. Jung merasakan bahwa ada suatu keterhubungan antara dirinya sebagai individu dengan peristiwa kemanusiaan secara umum yang tidak bisa dijelaskan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abraham Maslow membagi aliran psikologi yaitu : aliran psikoanalisis, behavioral, humanistik, dan psikologi transpersonal.
Psikologi transpersonal bukanlah agama, bukan ideologi, bukan juga metafisika dan bahkan bukan New Age (seperti praktik aura, crsytal, aromatherapy, kajian UFO, dll) meskipun ada sedikit irisan dengannya.
Mazhab transpersonal ini dibagi dalam empat kelompok : kelompok mistis-magis, kelompok tingkat kesadaran alternatif, kelompok transpersonalis posmodern, kelompok integral.
Tokoh-tokoh Psikologi Transpersonal adalah :  William James, Charles T. Tart, dan Carl Gustav Jung.





DAFTAR PUSTAKA
http://www.aliran psikologi.com.
http://www.psikologi transpersonal..


                [2] http://www.aliran psikologi.com.

[3] http://www.psikologi transpersonal..