QAIDAH-QAIDAH KULLIYAH

BAB I

PENDAHULUAN


Qaidah kulliyah merupakan qaidah yang bersifat umum yang karenanya dapat menampung seluruh bagian-bagiannya sampai yang terperinci sama sekali.

Para ahli Ushul Fiqh tidak dalam satu pendapat dalam menetapkan jumlah Qaidah Kulliyah ini sebagaimana halnya tidak sama dalam menetapkan jumlah Qaidah Kulliyah Induk.

Dalam makalah ini kami hanya akan membahas 3 Qaidah Kulliyah yaitu :

& النفل أوسع من الفرض

& الميسور لا يسقط بالمعسور

& إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما الأخر

BAB II

QAIDAH-QAIDAH KULLIYAH

اَلنَّفْلُ أَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ

"Sunat itu lebih longgar daripada fardhu"

Atas dasar itulah :

Y Seorang yang telah berijtihad menemukan kiblat untuk sembahyang wajib, tidak perlu berijtihad kembali jika hendak sembahyang sunat.

Y Seorang bertayamum untuk menjalankan shalat wajib tidak perlu lagi bertayamum untuk menjalankan shalat sunat rawatib berikutnya.

Y Tidak wajib bagi orang yang berpuasa sunat niat di malam hari sebelumnya.[1]

اَلْمَيْسُوْرُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ

"Yang mudah tidak gugur karena yang sukar"

Makna qaidah ini adalah qaidah : مالايدرك كله لايترك كله ( apa-apa yang tidak dapat mengerjakan seluruhnya tidak menggugugurkan kewajiban mengerjakan seluruhnya ). Dan ibarat lain mengatakan مالايدرك كله لايترك بعضه ( apa-apa yang tidak mampu mengerjakan seluruhnya tidak berarti harus meninggalkan sebagian ).[2]

Ibnu As-Subky berkata[3] : yang mudah itu tidak gugur karena yang sulit. Ini adalah qaidah yang terkenal yang diistinbathkan dari sabda Rasulullah SAW :

إذا أمرتكم بشىء فأتوا منه ماستطعتم.

"Apabila aku memerintahkan kepadamu sesuatu perintah kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarangmu sesuatu tinggalkanlah.

Yaitu diperintahkan mengerjakannya jika tidak mampu mengerjakan secara sempurna maka wajib mengerjakannya sesuai kemampuan seperti yang dikatakan oleh Imam As-Subky. [4]

Contoh- contoh :

Seorang yang hanya sanggup menutup sebagian auratnya tidak gugur wajib shalatnya. Ia harus mengerjakan shalat dengan kemampuan yang ada.

Seorang sembahyang yang hanya sanggup membaca sebagian surat Al-Fatihah, hendaklah ia mengerjakan dengan kesanggupan yang dimilikinya.

Seorang yang sudah cukup nisab zakatnya, jika yang separohnya lagi berada di tangan orang lain, maka ia tetap diwajibkan mengeluarkan zakat atas harta yang ada di tangannya.

Seorang yang ada sebagian anggota tubuhnya terdapat luka yang pantang terkena air, harus membasuh anggota yang tidak terluka dengan air (wudhu/mandi), sedang anggota yang pantang kena air harus disapu dengan debu (tayamum) bila ia bersuci.

Jika tidak memungkinkan untuk mengangkat tangan dalam shalat sesuai dengan yang disyari'atkan maka cukup sesuai dengan kemampuan.

إِذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَا دَخَلَ اَحَدُ هُمَا اْلأَخَرَ

"Apabila dua buah perkara yang sama jenisnya dan tidak berbeda maksudnya berkumpul, maka salah satunya masuk kepada yang lain".

Maksudnya adalah apabila berkumpul dua buah perkara yang sama jenisnya dan maksudnya juga tidak berbeda maka salah satu dari masalah itu masuk ke masalah yang lain. Jika hadats dan najis berkumpul dihukumkan cukup dengan mandi kata Imam Nawawi. [5] walaupun seseorang berzina atau mencuri atau meminum khamar terus menerus cukup dengan satu had.[6]

Misalnya :

[ Apabila hadats kecil berkumpul dengan hadats besar, maka cara menghilangkan keduanya dilakukan dengan mandis aja. Sebab jenis keduanya adalah sama, yaitu hadats, dan maksudnyapun sama, yaitu untuk menjalankan sembahyang.

[ Jika seorang masuk mesjid kemudian terus bersembahyang fardhu, maka shalat tahiyatul mesjidnya sudah tercakup di dalam shalat fardhu tersebut.

[ Apabila seorang sering lupa, hingga banyak meninggalkan rukun-rukun shalat, maka ia tidak wajib berulangkali sujud sahwi tetapi cukup dengan dua kali sujud di akhir shalat.

[ Apabila seorang calon haji yang baru saja datang ke tanah suci lalu menjalankan thawaf baik wajib mapun nadzar, maka perbuatan tersebut sudah mencakup thawaf qudum. Berlainan halnya bila seorang menjalankan thawaf ifadhah, maka thawaf ifadhahnya itu tidak dapat mencakup thawaf wada'.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab II yang telah lalu ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu :

ÿ Yang sunat itu lebih longgar daripada yang fardhu seperti apabila kita telah berijtihad menemukan kiblat untuk sembahyang wajib, maka tidak perlu berijtihad kembali jika hendak sembahyang sunat.

ÿ Yang mudah tidak gugur karena yang sukar, artinya tidak ada alasan untuk meninggalkan kewajiban, dengan alasan tidak cukup syarat, seperti Seorang yang hanya sanggup menutup sebagian auratnya tidak gugur wajib shalatnya. Ia harus mengerjakan shalat dengan kemampuan yang ada. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat karena tidak punya pakaian untuk menutupi seluruh aurat.

ÿ Apabila dua buah perkara yang sama jenisnya dan tidak berbeda maksudnya berkumpul, maka salah satunya masuk kepada yang lain. Maksudnya adalah apabila berkumpul dua buah perkara yang sama jenisnya dan maksudnya juga tidak berbeda maka salah satu dari masalah itu masuk ke masalah yang lain. Jika hadats dan najis berkumpul dihukumkan cukup dengan mandi saja.

DAFTAR PUSTAKA

Z ِAbdurrahman, Imam Jalaluddin, bin Abu Bakar As-Sayuthi Asy-Syafi'i, Al-Assybah Wan Nazhair Fil Furu', Darul Kutub Al-Islamiyah.

Z Hakim, Abdul Hamid, As-Sulam, Jakarta: Sa'adiyah Putra.



[1] Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, Jakarta: Sa'adiyah Putra, hlm. 87

[2] Ibid. hlm. 78

[3] Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sayuthi Asy-Syafi'i, Al-Assybah Wan Nazhair Fil Furu', Darul Kutub Al-Islamiyah, hlm. 107

[4] Ibid. hlm. 271

[5] Ibid. hlm. 86.

[6] Ibid. hlm. 87

Posting Komentar

0 Komentar