BAB I
PENDAHULUAN
Sunnah juga merupakan penguat dalam hukum al qur’an.
a. Sunnah yaitu perbuatan Nabi yang juga merupakan penjelasan terhadap apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Namun hal tersebut masih memerlukan penjelasan Nabi sendiri seperti hal tentang zakat.
b. Sunnah adalah perbuatan Nabi yang fungsinya memberi petunjuk kepada umat dan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh umat.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh semua umat. Periwayat sunnah pun orang yang benar-benar telah diketahui tabiatnya yang mempunyai akhlak dan budi pekerti serta jujur dan kuat hafalan, benar-benar diketahui sanad dan matannya yang berkualitas dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembahasan ini penulis mencoba menguraikannya.
BAB II
PEMBAHASAN
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH
Kedudukan sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini di sebabkan bahwa ajaran al-Qur’an telah sempurna.
Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk di taati serta mengikat untuk semua umat Islam.
A. Pengertian Sunnah
Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
من سنّ سنّة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها ومن سنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة.
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الأرض….(ال عمران 137)
“Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi”.
Kemudian dalam
سنّة من قد ارسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنّتنا تحويلا.
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami”.
Kata Sunnah sering disebut seiring dengan kata “kitab”. Di kala kata Sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW” ; “atau suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah lawan dari kata “bid’ah” yaitu amaliah yang diada-adakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi. Bid’ah dalam arti ini ditolak Nabi dalam suatu pernyataannya.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupn pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai dari salah satu hukum syara’ yang
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahl al-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadits itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunnahkannya mengikat seluruh umat Islam.
B. Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dar Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam
وما أنزلنا عليك الكتاب إلاّ لتبيّن لهم الذي اختلفتم فيه.
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu”.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an. Umpamanya firman Allah dalam
وأقيموا الصلاة واتوا الزكاة…..(البقرة: 110)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat….”.
Ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأنّ محمّدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة…
“Islam itu didirikan dengan lima pondasi; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat…”.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam hal:
a. menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an,
b. merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
c. membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
d. memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
Contoh menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an umpamanya kata “shalat” yang masih samar atau ijmal artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda: “Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat”.
Contoh Sunnah merinci ayat al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam
إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النّساء :103)
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Ayat itu dirinci oleh hadits Nabi dari Abdullah ibn “Amru menurut riwayat Muslim:
وقت الظهر إذا زالت الشمس وكان ظلّ الرجل كطوله ولم يحضر العصر ووقت العصر ما لم تصفرّ الشمس ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاءإلى نصف الليل الاوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس.
“Waktu zhuhur adalah apabila matahari telah condong dan bayang-bayang orang sama dengan panjangnya, sementara waktu ashar belum tiba, waktu ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam, dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit”.
Contoh Sunnah membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam
يوصيكم الله في اولادكم للذكر مثل حظّ الأنثيين (النساء:11)
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya, sebagaimana tersebut dalam hadits dari Amru Ibn Syu’eb menurut riwayat an-Nasa’I dan al-Daruquthni :
ليس للقاتل من الميراث شيء.
“Tiada harta warisan untuk si pembunuh”.
Contoh sunnah memperluas apa yang di maksud oleh al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam
… وان تجمعوا بين الاختين…( النساء :23).
“…dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…”.
Ayat itu diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan Hadits Abu Hurairah dengan riwayat muttafaq ‘alaih, yang bunyinya:
لا يجمع بين المرأة وعمّتها ولا بين المرأة وخالتها.
“Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan saudara ibunya”.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات ) atau “insya” (إنشاء ).
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam
حرّمت عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير (المائدة: 3).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”.
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
كلّ ذي ناب من السباع فأكله حرام.
“Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan”.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor sebagaimana tersebut dalam
قل إنّما حرّم ربّي الفواحش ما ظهر منها وما بطن….(الاعراف:33).
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”.
C. Penjelasan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an
Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat. Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an seperti; Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan pesan Allah yang menyuruh Nabi berbicara dengan bahasa umatnya sebagaimana tersebut dalam
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبيّن لهم….(ابراهيم:4)
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kaumnya”.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Telah dipaparkan dalam pembahasan terdahulu bahwa “Sunnah” berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdahulu dalam al-Qur’an. Kedudukan Sunnah adalah sebagai sumber dan dalil hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kata “Sunnah” dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti:
1. Kata “Sunnah” disebutkan seiring dengan kata Kitab yang artinya cara-cara.
2. Sunnah dalam ulama ushul: apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi SAW baik dalam ucapan, perbuatan, dan ketetapan.
3. Sunnah sebagai salah satu sumber hukum atau dalil.
4. Kata sunnah sering diidentikkan dengan kata hadits yaitu ucapan-ucapan Nabi.
Kata “Sunnah” yang telah diartikan seperti ini tidak jauh berbeda dengan fungsi sunnah yaitu:
- Sebagai penguat hukum dari hukum al-Qur’an.
- Sebagai penjelas.
- Sebagai ketetapan dalam Islam.
Prof. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997).
Prof. DR. Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
0 Komentar