Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin
Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad bin Abdullah bin al-Mufti
Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh
Muhammad Arsyad al-Banjari.
Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil
dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf
dengan Hj Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama,
sedangkan adiknya bernama H Rahmah.
Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu
tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 M.
Diceriterakan oleh Abu Daudi, Asy Syekh Muhammad Ghani sejak kecil selalu
berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang
memelihara Qusyairi kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam
pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar
membaca Alquran. Karena itulah, Abu Daudi meyakini, guru pertama dari Alimul
Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani adalah ayah dan neneknya sendiri.
Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu
pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama.
Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal
Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium
tangannya.
Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, beliau mengikuti pendidikan "formal"
masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Guru-guru beliau pada masa
ini antara lain, Guru Abdul Muiz, Guru Sulaiman, Guru Muhammad Zein, Guru H.
Abdul Hamid Husain, Guru H. Rafi'i, Guru Syahran, Guru Husin Dahlan, Guru H.
Salman Yusuf. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan
pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini beliau
sudah belajar dengan Guru-guru besar yang spesialist dalam bidang keilmuan
seperti al-Alim al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Alim al-Fadhil Husain Qadri,
al-Alim al-Fadhil Salim Ma'ruf, al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulya, al-Alim
Syaikh Salman Jalil, al-Alim al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Alim al-Fadhil
al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir, dan KH. Aini Kandangan. Tiga yang terakhir
merupakan guru beliau yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat ini adalah tokoh-tokoh
besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. Dari yang saya kenal
saja secara khusus adalah KH. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti
Senjata Mukmin yang banyak dicetak di Kal-Sel. Sedangkan al-Alim al-Allamah
Seman Mulya, dan al-Alim Syaikh Salman Jalil, sempat kita temui ketika masih
hidup. Syaikh Seman Mulya adalah pamanda beliau yang secara intensif mendidik
beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika
mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung
bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman
langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal
dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan)
maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits
dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) beliau kepada al-Alim al-Allamah
Syaikh Anang Sya'rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut
Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah
pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan
tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu
faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui
ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan al-marhum KH. Hanafiah Gobet).
Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang
tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali
berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan
kepada kami agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim
besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang
sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.
Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syaikh Syarwani
Abdan (Bangil) dan al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi.
Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan
beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah). Dari beberapa guru
beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah),
Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail al-Yamani, dan Syaikh Abdul Kadir al-Bar.
Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah al-Alim al-Allamah Ali Junaidi
(Berau) bin al-Alim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Alim al-Allamah Mufti
Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan al -Alim al-Allamah
Muhammad Syarwani Abdan Bangil. (Selain ini, masih banyak tokoh lagi di mana
sebagiannya sempat saya catat dan sebagian lagi tidak sempat karena waktu itu
beliau menyebutkannya dengan sangat cepat. Sempat saya hitung dalam jumblah
kira-kira, guru beliau ada sekitar 179 orang sepesialis bidang keilmuan Islam
terdiri dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Makkah).
Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamanda beliau semenjak kecil
betul-betul tertanam. Semenjak kecil beliau sudah menunjukkan sifat mulia;
penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang
yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnda beliau sendiri. Seperti
misalnya suatu ketika hujan turun deras sedangkan rumah beliau sekeluarga sudah
sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.
Pada waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuhnya dari
hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syekh Muhammad Ghani juga adalah seorang
pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat
dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun.
Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan
untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan
sistem memenej usaha dagang beliau sampaikan kepada kami lewat cerita-cerita
itu.
Beberapa cerita yang masih saya ingat. Sewaktu kecil mereka sekeluarga yang
terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji
telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh.
Pada masa-masa itu juga, ayahnda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada
sisa teh, ayahnda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan
kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan
diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, beliau sampaikan
bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk
menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan
sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustazd kami pernah mengomentari hal
ini, "bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu." Pernah sewaktu kecil
beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian
sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegur beliau,
"Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur." Beliau langsung
berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan:
Beliau sudah hapal al-Qur`an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir
Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul
dijaga. Kemanapun bepergian selalu ditemani (saya lupa nama sepupu beliau yang
ditugaskan oleh Syaikh Seman Mulya untuk menemani beliau). Pernah suatu ketika
beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa
kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamanda beliau Syaikh
Seman Mulya di hadapan beliau dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak
ada yang melihat Syaikh, begitu juga sepupu yang menjadi "bodyguard' beliau.
Beliaupun langsung pulang ke rumah.
Pada usia 9 tahun pas malam jum'at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar
turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah
putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis "Sapinah al-Auliya". Beliau ingin
masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada
malam jum'at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam
jum'at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau
dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk,
beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak
dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang
yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut. (Sayang saya lupa nama syaikh
tersebut, semoga saja beberapa kawan dan anggota jamaah yang juga hadir sewaktu
pengajian umum di PP. Al-Falah, Banjarbaru, Kal-Sel saat itu ada yang bisa
mengingatkan saya nama syaikh tersebut).
Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu
dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah
anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan
pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah
atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah
istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya
karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi "bakarmi"
(orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau
juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang.
Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil
halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya
beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati
atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau
tidak tepat.
Kemarin, Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke
rahmatullah pada usia 63 tahun. Dulu almarhum Guru Ayan (Rantau), salah seorang
syaikh yang dikenal kasyaf pernah menyampaikan bahwa kehidupan Syaikh M. Zaini
Ghani itu seperti Nabi. Bahkan usia beliau pun sama seperti usia Nabi. Salah
seorang murid dekat Guru Ayan, yaitu M. Yunus (kaka kelas saya di PP. Alfalah)
pernah mencoba melihat-lihat ciri-ciri hissiyahnya. Salah satu yang menjadi
sorotannya adalah kepindahan Beliau dari Keraton Martapura ke wilayah Sekumpul
seperti Rasulullah s.a.w. hijrah (dan beberapa hal lainnya). Dan sekarang,
ucapan tersebut terbukti. Kebetulan? Wallahu A'lam.
Beberapa karamah dan riwayat hidup beliau yang lain bisa dibaca dari
pemberitaan dan tulisan-tulisan di http://www.indomedia.com/bpost dan di
www.radarbanjar.com. Apa yang saya tulis di sini sebagian besar langsung saya
dapatkan sendiri dari penuturan beliau dan apa yang saya lihat secara langsung.
javascript:void(0)
Rahimakallah ya Syaikh.
0 Komentar