Pemikiran Pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, Tepatnya pada abad ke-18 Masehi, di tengah hirul-pikuk pergolakan pemikiran di eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara geraja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”[1] yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama.[2]
Dakwah Islam di manapun pada hakikatnya merupakan ikhtiar dalam melanjutkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kewajiban dakwah bagi seorang muslim merupakan suatu condoito sine quanon, suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan tak mungkin bisa clihinclarkan dari kehidupan seorang muslim. Dengan kata lain, secara otomatis seiring dengan pengakuannya sebagai seorang muslim, maka ia mengemban mini dakwah,[3] sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, profesi dan dedikasinya masing-masing, kepada orang lain, baik orang Islam sendiri maupun orangorang yang ticlak atau belum beragama Islam .[4]
Berkenaan dengan keragaman agama, menurut Nurcholis Madjid, sejak awal kehadirannya, Islam sebetulnya telah mengisyaratkan bahwa satu agama untuk seluruh umat manusia adalah satu hal yang mustahil. Bahkan dalam Alquran terdapat petunjuk tegas bahwa pluralitas iman, baik itu intra umat maupun antar umat beragama, merupakan suatu kepastian Allah." Lebih lanjut ia menjelaskan, para sarjana Islam, khususnya mereka yang berkecimpung dalam penafsiran Alquran, semuanya sepakat bahwa pluralisme Islam sebenarnya berakar dari doktrin Islam itu sendiri, bahkan sikap menerima pluralisme telah diterjemahkan dalam realitas politik pada masa Nabi Muhammad Saw.[5]
Dalam tataran historis, pluralisme Islam tergambar dalam Piagam Madinah (Madina Charter) di mana Rasulullah SAW meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan dalam masyarakat plural. Dalam Piagam Madinah tersebut, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[6]
Dalam konsep Islam, "golongan lain" memiliki ketentuan tersendiri yang tidak berdasarkan pada benar atau tidaknya keyakinan mereka. Akan tetapi, ketentuan tersebut berdasarkan pada hakikat yang telah ditetapkan Islam sejak semula, yaitu bahwa manusia, dalam kedudukannya sebagai manusia, memiliki hak-hak pemeliharaan, kehormatan dan perlindungan.[7] Islam juga mengakui hak hidup agama-agama lain dan membenarkan pemeluk agama-agama lain tersebut untuk menjalan ajaran agama masing-masing. Di sinilah, menurut Ayzumardi Azra, terletak dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama,[8] Dengan demikian, Islam menghendaki kehidupan dalam kebersamaan, saling berkonsultasi dan tolong menolong, memiliki persamaan tanpa adanya perbeclaan yang didasarkan atas agama.
Toleransi, dalam hemat Asep Muhiddin, pada dasarnya merupakan salah satu kaidah mendasar ajaran Islam dalam mengatur hubungan antar manusia dan untuk menyelesaikan problematika hubungan sosial budaya. Menurutnya, filosofi dan watak yang tersimpan di balik toleransi itu adalah terciptanya kemaslahatan untuk menghadirkan keselamatan clan kedamaian masyarakat.[9] Ini sejalan dengan karakteristik atau watak dakwah yang secara umum mengacu pada pesan moral universal kehadiran rasul dan ajaran Islam, yakni rahmatan 1i al-'alamin yang merefleksikan kemaslahatan, kemanfaatan, kesejahteraan dan bernilai guna bagi semesta alam.[10]
Misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan 1i al’a1amin, menegaskan bahwa agama Islam hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membawa manfaat, berkah pada seluruh umat manusia dan alam semesta. Ini diisyaratkan dalam Alquran (Q.S. Al-Anbiya: 107)[11]
Oleh karena alam semesta ini mengandung keanekaragaman, maka ungkapan "seluruh alam" dengan sendirinya mengandung pengertian "dengan semua perbedaan yang dimiliki oleh alam semesta itu". Dengan demikian watak asasi ajaran Islam bukan hanya mengakui perbedaan, tetapi bahkan menghormatinya.[12] Dalam konteks ini, para da'i yang menjadi pewaris nabi dan rasul harus menjadikan misi ini sebagai obsesi dan ambisi, serta bertanggung jawab untuk merefleksikan nilai-nilai kerahmatan tersebut dalam segenap aspek kehidupan manusia.
Dakwah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan tertentu menjadi keadaan yang lebih baik, menurut tolak ukur ajaran Islam dengan menumbuhkan kesadaran dan "kekuatan" pada sasaran dakwah sendiri untuk menerima agama dengan penuh kesadaran clan tanpa ada unsur paksaan. Jadi, inti sasaran utama dalam dakwah adalah kesadaran pribadi., sehingga pendekatan dan watak dari kegiatan dakwah adalah melalui pencerahan pikiran; penyejukan jiwa tanpa harus menggunakan cara kekerasan dan kekuatan.[13]
Alquran sebagai rujukan utama dalam dakwah banyak mengisyaratkan pesan moral tentang penyampaian dakwah melalui penyeruan secara damai, penuh kasih sayang, penuh toleran, menghargai keragaman dan lain-lain."' Allah SWT memerintahkan agar melakukan dakwah dengan cara yang bijaksana, dengan nasehat-nasehat yang baik dan bertukar pikiran dengan cara yang sebaik-baiknya pula, sebagaimana dalam firman-Nya (Q.S. Al-Nahl: 125)[14]
Dalam ideologi dakwah, orang Islam sama sekali tidak diperkenankan untuk memaksa sasaran dakwah, hanya karena seseorang memiliki akidah lain. Dalam kondisi apapun, perbedaan bagaimanapun wujud dan bentuknya, tidak bisa menjadi alasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
Wilayah dakwah atau wewenang para da'i hanya hingga menyampaikan risalah atau sebatas upaya untuk memberikan penyegaran dan peringatan kepada umat manusia,[15] sehingga umatlah yang menentukan pilihan tanpa ada unsur-unsur paksaan. Pesan moral yang sekaligus merupakan kerangka sikap etis dalam menyikapi keragaman agama seperti ini diungkapkan oleh Alquran berulang kali, antara lain dalam rentetan FirmanNya.[16]
Dalam konteks dakwah, menurut Abdul Munir Mulkhin, ungkapan "tidak ada paksaan" di atas harus diartikan dengan pengertian yang luas, bahwa cara-cara dakwah yang dilakukan oleh umat Islam harus tidak mengandung motif memaksa, baik secara terang-terangan atau diam-diam. Konsekuensi dari adanya ketentuan tersebut, Islam mengakui bahwa umat Islam di dunin ini tidak mungkin semuanya sepakat memiliki keyakinan yang sama sehingga pemaksaan suatu akidah merupakan suatu hal yang mustahil.[17] Pemaksaan dalam hal agama bertentangan dengan agama dan secara diametral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka.
Dengan demikian, Islam merupakan agama yang menghargai pluralisme di mana Alquran sendiri memberikan istilah bahkan akomodasi bagi perkembangan tersebut. Atas dasar pedoman-pedoman tersebut, seorang muslim akan hidup, di tengah-tengah masyarakat untuk mengelola dunia, melaksanakan tugas kekhalifahan, mewujudkan masyarakat yang baik dan harmonis guna menciptakan maslahah (kemaslahatan) dan bukan mafsadah (kerusakan).
Masalahnya adalah dewasa ini sering terjadi kesenjangan antara yang diklaim (das sollen) dan yang terjadi (das sein). Justru itulah, pendekatan dakwah dalam membangun keberagamaan pluralis perlu mendapat perhatian serius dan respon secara arif dan konstruktif, terutama agar tidak merusak harmoni di kalangan umat beragama yang selama ini terpelihara dengan baik. Dengan demikian masalah dakwah dalam masyarakat plural di Indonesia merupakan masalah krusial dalam perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Selain itu, peran dakwah Islamiyah sangat diharapkan sebagai instrumen penting dalam membangun keberagamaan pluralis sehingga para pemeluk agama dapat menerima perbedaan itu menjadi potensi kebersamaan dengan pemeluk agama lain kemudian menumbuhkan kerjasama konstruktif untuk secara maksimal saling mendorong usaha mewujudkan kebaikan dalam masyarakat dan hidup secara bermakna dalam wadah negara Indonesia, serta mengarahkan keanekaragaman menjadi aset yang memperkaya khasanah budaya bangsa.
[1]Lihat pembicaraan lebih detail masalah liberalisme: De Ruggiero Guido, ‘ Liberalism’, dalam Seligman, Edwin R. A., (ed. In chief). Encyclopedia of the Social Scienses, (New York: The Macmillan Company, 1993) 14 th Printing, 1996), Vol. IX, h. 435; dan Smith, David G., ‘Liberalism’, dalam Sills, David L., (ed.), International Encyolopedia of the Sosial Sciences (New York: The Macmillan Co. & The Free Press, 1968), Vol. 9 h. 276.
[2] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 17. John Hick, Theistic and non-theistic religions, Gifford Lecture: Edinburg University, 1987, h. 36.
[3] Penjelasan tentang kewajiban berdakwah menurut tafsir para ulama lihat Abdul Karim Zaidan, Ushulud Da'wah, (Baghdad: Darul Umar al-Khattab, 1975), h. 301.
[4] Endang Saifuddin Anshari, Kuliah al-Islam, (Bandung: Pustaka, 1978), h. 78.
[5] Mukti Ali, et al., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 124-127.
[6] H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: U1 Press, 1991), h. 15-16.
[7] Fahmi Huwaydi, Penerj. Muhammad Abdul Ghoffar, E.M., Al-Islam wa al- Dimuqratiyah, (Bandung: Mizan, 1996), h. 37.
[8] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 34.
[9] Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur'an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 181.
[10] Asep Muhiddin, h. 241
11 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 508.
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
[12]Anwar Hardjono, "Berdakwah dalam Kemajemukan Masyarakat", dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Model Pembangunan Qaryah Thayyibah: Suatu Pendekatan Pemeratoon Pembangunan, (Jakarta: Intermasa, 1997), h.72.
[13] Asep Muhiddin, h. 157-158.
[14] Lihat (Q.S. Al-Nahl: 125)Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ...".
[15] Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah dalam Membentuk Da'i don Khotib Profesiorkil, (,hkarta Kalam Mulia, 2002), h. 33.
[16] Lihat, misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah: 83 ; Q.S. Ali Imran: 159 ; Q.S. An-Nahl: 125; Q.S. Thaha: 44. lihat juga Nurcholis, Asbabun Nuzul: Sejarah Turunnya Ayat ayat Al Qur'an, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h. 83.
[17] Namun demikian, Islam tidak membenarkan bila toleransi diartikan dengan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan sebagai kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat keagamaan lain. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah: Efisod Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 111.
0 Komentar