Saya mulai “berkenalan” intensif dengan soft skills sekitar lima tahun yang lalu. “Mak comblangnya” adalah program retooling yang diluncurkan oleh Dikti dengan bantuan dari proyek TPSDP-ADB. Program tersebut sebenarnya semacam pelatihan atau pembekalan kepada lulusan perguruan tinggi yang masih nganggur lebih dari 1 tahun setelah lulus. Mungkin ketika itu pihak berwenang berkeyakinan bahwa program tersebut semacam “obat mujarab” yang jika “diminum” oleh peserta maka mereka akan mudah bekerja. Benarkah?
Memang seperti apa sih resep obatnya? Ketika membaca pedoman proposalnya, saya pun ikut mencermati standar kurikulum dan metode pelatihannya. Konsep hard skills dan soft skills muncul ketika melihat komposisi atau rancangan kurikulum. Hard skills berhubungan dengan kompetensi inti untuk setiap bidang keilmuan lulusan.
Sebagai contoh, seseorang lulusan teknik informatika tentunya harus menguasai hard skill di bidang rekayasa perangkat lunak, web programming, dll yang tergolong hard skills di teknik informatika. Demikian juga seorang lulusan Akuntansi, misalnya harus menguasai analisis laporan keuangan, penyusunan anggaran, dll. Pada program retooling ternyata masih ada materi pelatihan ke arah hard skills tersebut. Hmmm jadi semacam pengulangan kuliah atau refreshing saja dong :). Pihak yang berwenang pun berkilah bahwa tidak semua perguruan tinggi berhasil mengajarkan hard skills tersebut, malah katanya hanya sekedar mata kuliah yang tercantum di Transkrip.
Para training provider yang memenangkan hibah program retooling diberi keleluasaan untuk meramu materinya. Namun materi terebut harus dirinci per hari selama kurang-lebih 1 sampai 2 bulan. Sekedar informasi, program retooling ini dilaksanakan selama 3 bulan- 1 bulan diantaranya peserta wajib magang di perusahaan. Ketika melihat rincian materinya, setiap training provider rata-rata sudah memasukkan materi hard skills dan soft skills. Penyampaian materi hard skill dilengkapi dengan praktek di laboratorium. Untuk materi soft skills penyelenggaran retooling menyajikan berbagai judul materi yang terdengar gagah dan indah, misalnya team building, character building, technoentrepreneruship, dll. Berbagai metode pelatihan pun bermunculan di setiap proposal, seperti group discussion, student centered learning, creativity, business simulation, bahkan sampai ada training provider yang mewajibkan peserta program retooling untuk mengikuti outbound.
Wah terbayang pasti enak deh para peserta dikasih pembekalan seperti itu. Apalagi setiap peserta diberi uang saku selama mengikuti program retooling tersebut. Sudah gratis dikasih uang saku lagi :). Tapi apakah program tersebut bisa meningkatkan kemampuan lulusan untuk menembus pasar tenaga kerja (employability), atau syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja (job creator). Apakah soft skills bisa ditingkatkan dalam jangka waktu sesingkat itu? Susah-susah gampang atau gampang-gampang susah untuk menjawabnya, biarlah pertanyaan itu dijadikan semacam retorika aja dulu. Sekarang kita coba mengulas sedikit tentang pengertian soft skills itu sendiri.
Soft skills pada dasarnya merupakan ketrampilan personal- yaitu ketrampilan khusus yang bersifat non-teknis, tidak berwujud, dan kepribadian yang menentukan kekuatan seseorang sebagai pemimpin, pendengar (yang baik), negosiator, dan mediator konflik. Sedangkan Hard skill bersifat teknis dan biasanya sekedar tertulis pada bio data atau CV seseorang yang mencakup pendidikan, pengalaman, dan tingkat keahlian (teknis). Soft Skills bisa juga dikatakan sebagai ketrampilan interpersonal seperti kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dalam sebuah kelompok.
Wikipedia memaparkan bahwa soft skills merupakan istilah sosiologis yang merujuk pada sekumpulan karakteristik kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan berbahasa, kebiasaan pribadi, kepekaan/kepedulian, serta optimisme. Soft skills ini melengkapi hard skills- yang bisa dikatakan juga sebagai persyaratan teknis dari suatu pekerjaan. Soft skills tersebut mencakup (a) kualitas pribadi - misalnya tanggung jawab, kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, manajemen (pengendalian) diri, dan integritas atau kejujuran; dan (b) ketrampilan interpersonal, misalnya berpartisipasi sebagai anggota kelompok, mengajar (berbagi pengetahuan) ke orang lain, melayani pelanggan, kepemimpinan, kemampuan negosiasi, dan bisa bekerja dalam keragaman.
Rasanya dengan mengulas pengertian soft skills tersebut, kita pasti bisa memahami pentingnya soft skill. Kita juga pasti yakin jika seseorang mempunyai karakteristik atau sifat seperti itu maka pastilah orang tersebut mempunyai daya saing atau setidak-tidaknya mempunyai “perbedaan” yang positif. Tapi kembali lagi ke pertanyaan semula, bisakah kita meningkatkan soft skills melalui proses belajar-mengajar?
Sekarang mari kita lihat berbagai janji para training provider yang tertuang dalam proposal- yang akhirnya dinyatakan layak dan ditunjuk sebagai penyelenggara program retooling. Apakah semua materi dan metode pelatihan betul-betul dilaksanakan dan memberikan hasil sesuai targetyang telah ditetapkan? Ketika saya berkunjung ke beberapa lokasi program retooling, rata-rata peserta merasa senang mengikuti program retooling dan mengaku bahwa kemampuan mereka meningkat. Penyelenggara program juga merasa bahwa apa yang dijanjikan di proposal sudah direalisasikan. Namun ketika ditanya apakah yakin sebagian peserta bisa mendapatkan pekerjaan dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan, jawabannya pun beragam untuk setiap penyelenggara program. Ada yang optimis, ada yang pesimis, dan ada pula yang tergantung pada perkembangan eksternal.
Terlepas dari berbagai ramuan mujarab yang ditawarkan, pengembangan softskills di perguruan tinggi memang harus dilakukan secara integratif dan menyeluruh. Pengembangan softskills tidak hanya sekedar memberikan pelatihan atau kursus softskills, misalnya kursus kepribadian atau teknik komunikasi saja. Sebuah perguruan tinggi idealnya mengembangkan softskill mahasiswa (juga dosen tentunya hehehe) melalui kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas. Di dalam kelas bukan juga hanya sebatas memberikan mata kuliah softskills atau kewirausahaan. Setiap mata kuliah selayaknya berusaha mengembangkan kemampuan softskill mahasiswa melalui metode mengajar yang bisa mengasah softskills mahasiswa. Salah satu yang bisa dikembangkan adalah metode diskusi dan presentasi kelompok, walaupun ada beberapa mahasiswa dan dosen agak enggan melaksanakannya, dengan berbagai alasannya masing-masing.
Pengembangan softskills di luar kelas bisa dilakukan dengan menciptakan suasana akademis yang kondusif terhadap softskills. Beberapa program yang bisa dicoba diantaranya adalah berbagai perlombaan yang bersifat kompetitif baik untuk mahasiswa maupun dosen; pengembangan sistem komunikasi interaktif antara civitas academica, penyedian media atau display sebagai wadah kreatifitas dan inovasi mahasiswa, dll. Wah … kalo sekedar membahas konsep softskills memang tidak akan habis-habisnya. Yang terpenting adalah apakah program-program pengembangan softskills tersebut bisa terwujud?
Mudah-mudahan berbagai program pengembangan softskills yang direncanakan di kampus ini bisa direalisasikan dengan baik :D. Teriring doa ke temen-temen yang akan presentasi di Yogyarta untuk meyakinkan pihak Dikti menyetujui berbagai program yang direncanakan.
Sumber:
http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/bhermana/2008/05/19/hard-skills-dan-soft-skills/
0 Komentar