Hakikat Anak Bagi Keluarga

Dalam zaman modern sifat-sifat yang di zaman dulu dianggap agak berlebih-lebihan, malahan sekarang dianggap biasa dan normal. Dahulu kala manusia Timur beranggapan bahwa mempunyai anak itu adalah satu soal biasa, malahan bertambah banyak anak bertambah baik.

Orang-orang tua seringkali menyatakan dulu bahwa, tiap anak membawa rezekinya sendiri. Sekarngpun masih cukup banyak orang yang menyatakan, bahwa anak itu adalah karunia Tuhan, dan di daerah-daerah dimana masih kurang tenaga manusia, satu anak dapat menolong ibu bapaknya mencari nafkah sebagai petani atau lain-lain pekerjaan. Juka ditemukan sebagai bukti bahwa tak sering anak ke 5 atau ke 7 malahan membawa rezeki dan menjadi kebanggaan orangtuanya karena menjadi orang terhormat, berpangkat atau terkenal. Tetapi seringkali juga di dunia ini bayak anak-anak terlantar karena orangtua tidak dapat mengongkosi anaknya hidup dengan wajar, tidak dapat pergi ke sekolah seperti anak lain, karena uang buat makannya tak cukup. Maka timbullah gerakan keluarga berencana di dunia yang di mulai di negeri Barat. Mula-mulanya hanya karena soal materialistis saja, kemudian mengingat nasib malang daripada anak-anak yang kurang beruntung itu.


Lepas dari soal semua itu, bagi seorang muslim tujuan hidup berkeluarga dan berumah tangga adalah melahirkan keturunan yang berkualitas serta shaleh dan shalehah. Untuk mewujudkan keinginan tersebut anak-anak harus dididik dengan baik dan benar. Anak yang shaleh dan shalehah serta sehat baik secara fisik maupun psikis merupakan dambaan setiap orang dan kebanggaan serta kebahagiaan bagi orang tua atau keluarga.


Seorang anak memiliki dunia tersendiri yang sangat indah, penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan serta impian dan cinta. Dalam Islam, al-Qur’an mendeskripsikan sosok seorang anak itu dengan begitu indahnya dan memiliki makna tersendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Kahfi (18) : 46 :

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيوةِ الدنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصالِحَاتِ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ اَمَلا.

Sosok seorang anak itu laksana sebuah perhiasan. Ia adalah ibarat barang antik yang mahal harganya karena merupakan anugerah terbesar dan terindah yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hambanya.     


Di bawah ini akan diuraikan hakikat anak bagi keluarga muslim :



1.      Anak sebagai rahmat dari Allah SWT

Allah SWT telah melimpahkan rahmatNya kepada manusia dalam jumlah yang tidak terhitung oleh manusia, QS al-Nahl (16) :18 :

وَإِنْ تَعُدوْا نِعْمَةَ الله لا تَحْصُوْهَا إِن الله لَغَفُوْرٌ رحِيْمٌ.

Bagaimana mungkin manusia akan mampu menghitungnya, karena kata Allah QS Luqman )31) : 27 :

وَلَوْ أَنمَا فِى الأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدهُ, مِنْ بَعْدِهِ, سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مانَفِدَتْ كَلِمَاتُ الله إِنْ الله عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

Salah satu dari sekian banyak rahmat Allah itu adalah anak, QS al-Anbiya (21) : 84 :

فَاسْتَجَبْنَالَهُ, فَكَشَفْنَا مَابِهِ مِنْ ضُرِ وَءَاتَيْنَاهُ أَهْلَهُ, وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى ِللْعَابِدِيْنَ.

Jadi menurut ayat ini, anat adalah salah satu rahmat Allah kepada manusia. Seumpama ayat ini tidak ada, kita sudah dapat mengatakannya bahwa anak merupakan salah satu rahmat dari Allah kepada manusia. Rahmat ini mungkin dianggap kecil oleh sebagaian manusia bahkan manusia di abad ini banyak yang tidak menginginkan anak. Karena dianggap merepotkan dan menyusahkan saja. Padahal anak adalah rahmat Allah yang tidak ternilai harganya dan mempunyai manfaat yang amat besar bagi kehidupan manusia, baik untuk di dunia, maupun untuk di akhirat nanti. Dan karena itulah Islam menganjurkan kepada mukmin laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang subur agar memperoleh keturunan. Sungguh ramainya rumah dengan kehadiran anak-anak, tangis dan tawa anak-anak adalah kebahagiaan dan merupakan rahmat, serta penghilang rasa letih dan lelah  bagi orangtua.


Kehadiran anak yang mampu memberikan kebahagiaan keluarga semata-mata merupakan rahmat dan karunia Allah SWT dan wajib disyukuri.


Anak hanya akan terlahir dari pasangan suami isteri manakala Allah menciptakan anak tersebut dan berkehendak untuk mengaruniakan kepada pasangan yang bersangkutan. Jika Dia tidak mengaruniakan kepada sebuah pasangan suami isteri, mereka tak akan menghasilkan keturunan untuk selama-lamanya. Maka, bagi pasangan suami isteri yang mampu melahirkan anak, hendaknya menyadari betul bahwa anaknya itu semata-mata nerupakan karunia Allah SWT.[1] 


Sebagai karunia Allah, wajib disyukuri. Dan rasa syukur yang diungkapkan kepada–Nya tidak cukup hanya berupa ucapan terima kasih belaka, melainkan wajib dibuktikan pula dengan langkah nyata, yakni merawat anak itu dengan penuh kasih sayang, mengasuhnya dengan baik dan mendidiknya dengan benar sesuai dengan syariat yang telah digariskan.


2.      Anak sebagai permata hati dan pembawa kebahagiaanSiapapun manusianya tanpa terkecuali pasti menginginkan kebahagiaan. Bagi seorang mukmin, tentunya kebahagiaan tersebut meliputi kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat. Hal ini tercermin dalam doanya yang sering dibaca setiap selesat shalat, QS al-Baqarah (2) :201 :   

... رَبنَا ءَاتِنَا فِى الدنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنا عَذابَ النلرِ.

Kebahagiaan itu ada beberapa unsur, salah satu diantaranya ialah anak. QS al-Furqan (25) :74 :

... رَبنا هَبْ لَنَ مِنْ أَزْواجِنا وَذُ رِياتِنَا قُرةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتقِيْنَ إمامًا.

Ayat tersebut menyatakan bahwa anak adalah salah satu unsur kebahagiaan hidup. Dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak ditemukan orang-orang yang merasa tidak berbahagiaan karena tidak mempunyai anak, walaupun punya harta, pangkat, nama dan sebagainya, sehingga mereka berusaha dengan bermacam-macam jalan untuk bias memperoleh anak. Tangisan bayi, kenakalan anak-anak, gelak tawa yang kadang-kadang sulit dikendalikan, semuanya akan menyuarakan kebahagiaan yang tak terkirakan. Gairah kerja terbangkitkan oleh riangnya anak-anak yang suka meminta ini dan itu. Harapan hidup terasa semakin berarti. Impian masa depan anak-anak seakan menghanyutkan cita-cita untuk hidup seribu tahun lagi.[2]


Riuhnya suara anak-anak ketika bermain, bahkan kenakalan mereka yang suka aneh-aneh tidak hanya mampu membahagiakan kedua orangtua melainkan kakek-nenek dan seluruh keluarga yang lain ikut mengenyam kebahagiaannya dan ikut geli melihat keanehan-keanehan yang diperbuat anak-anak.

Hadirnya seorang anak di tengah-tengah pasangan suami isteri, maka jalinan kasih diantara mereka akan semakin kuat. Tidak sedikit pasangan suami isteri yang berpisah di tengah jalan, kemudian tersambung kembali lantaran masing-masing teringat akan anak mereka. Sebaliknya, tidak jarang pula pasangan suami isteri yang demikian rukunnya, akur dan penuh kasih sayang, tiba-tiba bercerai lantaran tidak hadirnya seorang anakpun di tengah-tengah mereka. Buah hati yang mereka dambakan tak pernah hadir dalam kenyataan.


Jadi jelas, bahwa anak adalah salah satu unsur kebahagiaan dan permata hati dalam hidup manusia di dunia ini dan untuk kebahagiaan di akhirat. Ia merupakan buah hati yang memperkuat tali kasih kedua orangtuanya dan mampu membahagiakan segenap sanak saudara. Ia laksana wewangian surga yang menyemarakkan suasana kebahagiaan sebuah keluarga.

Namun dibalik semua itu, orangtua juga hendaknya sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak-anak yang bersangkutan. Ia memerlukan perawatan, asuhan, bimbingan dan pendidikan yang benar demi kelangsungan hidupnya. Sehingga kehadiran anak mereka tetap mampu menyuarakan kebahagiaan hingga usia dewasa.


Kebahagiaan orangtua hendaknya jangan hanya ketika anak mereka masih dalam kandungan dan membayangkan kelucuan dan kemontokan mereka setelah lahir. Lalu berusaha menjaga fisik anak dalam kandungan dan mengabaikan kesehatan dan kesiapan psikis anak dalam mengaruhi kehidupan dunia yang fana ini. Prilaku anak hendaknya tetap menyenangkan orangtua dari tahun ke tahun, dan ini terus menghunjamkan kebahagiaan ke dalam dada orangtua, karena mereka tumbuh dewasa dengan baik, sehat jasmani dan rohani dan memiliki prestasi-prestasi yang baik pula menurut pandangan agama.



3.      Anak sebagai pelindung di hari tua

Apabila umur manusia menjadi tua, ia memerlukan pelindung, dalam artian yang menjaga dan merawat serta memperhatikannya. Sebab waktu itu tenaga, pikiran dan kekuatannya sudah sangat berkurang. Kalau tidak ada yang merawatnya, akan sangat menyedihkan. Karena itulah barangkali orang mendirikan badan-badan sosial atau asrama-asrama untuk menampung mereka ini. Di negeri Indonesiapun hal ini sudah ada. Tetapi dengan cara ini, timbul suatu masalah kejiwaan yang gawat pada orang-orang tua tersebut. Mereka merasa disisihkan dari pergaulan. Apalagi kalau mereka mempunyai anak, mereka merasa dibenci oleh anaknya.hal-hal tersebut dapat menimbulkan kesedihan yang mendalam pada mereka. Alangkah sengsera rasanya hidup diliputi kesedihan. Apalagi terjadinya setelah tenaga, pikiran dan kesehatan sangat berkurang. Tambahan lagi menurut al-Qur’an kalau manusia sudah tua, ia akan kembali seperti anak-anak, QS Yasin (36) :68 :

وَمَنْ نُعَمِرْهُ نُنَكِسْهُ فِىالْخَلْقِ أفلا يَعْقِلُون.

Antara orangtua dan anak sudah terbina kasih sayang timbal balik semenjak anak masih dalam kandungan, kecil dan menjadi dewasa. Sebab itu tempat bergantung yang paling baik di hari tua adalah anak. Merekalah yang dapat memberikan perhatian dan kasih sayang yang diperlukan orangtua. Karena itulah Islam mewajibkan anak untuk berbakti kepada orangtuanya. Kewajiban ini akan memperkuat rasa kasih sayang antara orangtua dan anak-anak mereka. QS. al-Isra (16) : 22 :

وَقَضى رَبكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِياهُ وَبِالْوَا لِدَيْنِ إِحْسانا, إِما يَبْلُغَن عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُ هُما أَوْكِلاهُما فَلا تَقُلْ لَهُما أُفِ ولا تَنْهَرْ هُما وَقُلْ لَهُما قَولا كَرِيْمًا.


       QS al-Baqarah (2) :83 :

وإذْ أَخَذْنا مِيْثاقَ بَنِى إِسْراءِ يْلَ لاتَعْبُدُوانَ إلا الله وبالوَلِدَيْنِ إِحْسانًا...

       QS an-Nisa (4) :36 :

واعْبُدُوْا الله وَلا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا, وبِالْوا لِدَيْنِ إحسانًا...

4.      Anak sebagai amanat dari Allah SWT 

Al Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa apa saja yang ada di alam ini, berupa harta, hasil karya manusia, air, udara dan sebagainya itu adalah kepunyaan Allah. Allah SWT berfirman dalam QS.al-Baqarah (2) : 284 :

لله ما فِى السٌَمواتِ وَما فِى الارْضِ ...

Dan pada ayat lain Allah SWT juga mengatakan, QS al-Furqan (25) :2 :

الَذِي لَهُ مُلْكُ السمواتِ وَالأرْضِ وَلَمْ يَتخِذُ وَلَدَا ولَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكُ فى المُلْكِ وخَلَكَ كُل شَىْءٍ فَقَدرَهُ تَقْدِيْرًا

Akan tetapi semua itu diberikan Allah kepada manusia sebagai amanatNya dengan dua tujuan, pertama untuk disyukuri, dan yang kedua agar manusia mampu, cakap dan berhasil dalam melaksanakan hidupnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi ini.[3]

       Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut (29) : 17 :

إنما تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ الله أَوْثَانَا وَتَخْلُقُوْنَ إِفْكًا إِن الذِيْنَ تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ الله لايَمْلِكُوْنَ لَكُمْ رِزْقًا فابْتَغُوْانَ عِنْدَالله الرِزْقَ واعْبُدُوْاهُ وَاشْكُرُوْا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ.

Semua pemberian itu diminta pertanggung jawaban tentang pencarian dan penggunaannya. Allah SWT dalam QS al_takatsur (102) :8 :

ثُم لَتُسْئَلُن يَوْمَئِذٍ عَنِ النعِيْمِ.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa semua yang ada pada manusia adalah amanat Allah, yang nanti di hari kiamat akan ditanya kembali tentang pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatannya. Dan diantara hal yang ditanyakan tersebut adalah anak.

Anak adalah amanat Allah SWT kepada kedua orangtuanya, sudahkah ia dipelihara, diasuh dan dididik dengan benar, karena amanat itu akan dipertanggungjawabkan kehadapan-Nya kelak pada hari kiamat.




       QS. Al-Anfal (8) :27  berbunyi :

يَأَ يهَا الذِيْنَ ءامَُنُوْا لاتَخُوْنُوْا الله والرسُوْلَ وتَخُوْنُوْا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.

Kesadaran para orangtua akan hakikat anak mereka sebagai amanat Allah ini sepatutnya ditanggapi dengan penuh tanggung jawab. Setiap orangtua muslim pantang menghianati amanat Allah berupa dikaruniakanNya anak kepada mereka. Dan hukum mengembang amanatNyapun wajib bagi mereka.


Di antara sekian perintah Allah yang berkenaan dengan amanatNya yang berupa anak adalah bahwa setiap orangtua muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan baik dan benar, agar mereka tidak menjadi anak-anak yang lemah iman atau lemah kehidupan duniawinya.

       QS an-Nisa (4) : 9 :

وَلْيَخْشَ الذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُريةً ضِعَافًا...

Hadiyah Salim memandang anak sebagai anugerah Allah, beliau juga mengemukakan bahwa sesuai dengan tuntutan naluri manusia, bahkan makhluk hidup umumnya, Islam mengajarkan bahwa tujuan yang terpenting dalam perkawinan adalah agar memperoleh keturunan suami isteri sangat mengharapkan anak dari perkawinannya yang sah itu, anak kandung sibuah hati pelipur lara, tempat tumpuan orangtua di hari depan. Mereka harus dipelihara dan dididik supaya kelak menjadi anak yang shaleh yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.[4]


Anak yang shaleh adalah yang mendoakan orangtuanya apabila telah tiada ataupun ketika orangtuanya masih hidup. Namun apabila orangtua tidak pandai memelihara dan mendidik amanah ini, maka besar kemungkinan anak akan menjadi bumerang dalam kehidupan orangtuanya.


Muhammad Fauzil Adham berpendapat, bahwa anak adalah amanah Allah SWT, karena itu sebagai amanah, orangtua berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya menjadi anak yang shaleh, sehingga setelah anak lahir orangtua mempunyai tugas membesarkan anak-anaknya agar mereka sehat secara fisik, mengasuh dan mendidik mereka agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan mempunyai arti bagi masyarakat, mencintai fakir miskin dan anak yatim, serta memusatkan hatinya kepada Allah SWT.[5]


5.      Anak adalah batu ujian keimanan orangtua

Apabila seseorang telah menyatakan beriman, ia pasti akan diuji oleh Allah. Dalam hal ini Allah berfirman, QS al-Ankabut (29) : 2-3 :

أحَسَبَ الناسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُوْلُوْا ءَامَنا وَهُمْ لا يُفْتَنُوْنَ. وَلَقَدْ فَتَنا الذِينَ مِن قَبلِهِم فَلَيَعْلَمَن الله الذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعَلمَن الْكاذِبِيْنَ.

Ujian iman bisa bermacam-macam bentuknya  dalam kehidupan manusia diantaranya adalah berupa keturunan atau anak. Anak adalah sumber kebahagiaan keluarga. Tetapi di sisi lain iapun merupakan batu ujian keimanan. Maka kebahagiaan yang ditimbulkan oleh kehadiran anak-anak, harus diwaspadai oleh para orangtua agar jangan sampai merapuhkan keimanan orangtua

     Orangtua  wajib sadar bahwa anak adalah fitnah (batu ujian keimanan). QS al-Anfal (8) :28 :

وَاعْلَمُوا أنما أَموا لُكُم وَأَولادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأن الله عِنْدَهُ لأجْرٌ عَظِيْمٌ.

Jika orangtua berhasil dalam mendidik anak-anak sehingga mereka tumbuh dewasa dan menjadi pribadi-pribadi yang shaleh dan shalehah. Maka pahala besar dari sisi Allah telah menanti. Dan dalam mendidik mereka memang harus disadari oleh rasa kasih yang sangat, tetapi jangan sampai memanjakan dan memperturutkan segala kehendaknya. Karena hal itu mudah sekali melalaikan para orangtua akan kewajiban-kewajiban lain yang Allah bebankan kepada mereka.

       Harta dan anak-anak adalah dambaan setiap orang, namun selaku hamba Allah yang baik, jangan sampai keduanya menyebabkan lupa diri dari mengingat Allah. Allah SWT berfirman. QS al-Munafiquun (63) : 9 :

يَا أيها الذِيْنَ أمَنُوْا لا تُلْهِكُمْ أَمْوا لُكُمْ وَلا أَولا دُكُم عَن ذِكْرِ الله. وَمَنْ يَفْعَلْ ذالكَ فَأُوْلئكَ هُمُ الخاسِرُوْنَ.

Syahminan Zaini mengemukakan :


       “Kalau kita akan diuji oleh Allah tentang anak-anak kita berarti kita harus mempelajari tentang anak-anak kita dalam hal jasmani dan rohaninya, dalam hal ini hubungan dengan Tuhan, dengan manusia dan dengan alam semesta lain-lain sebagainya. Kemudian kita perjuangkan perkembangannya, sehingga sesuai dengan kehendak Allah yang memberikan rahmat anak itu kepada kita”.[6]


[1] M. Nipan Abdul, Anak Saleh Dambaan Keluarga, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2001, h.6
[2] Ibid, h.3
[3] Sri Harini & Aba Firdaus al-Halwani, Mendidik Anak Sejak Dini, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2003, h40
[4] Hadiyah salim, Rumahku Mahligaiku, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990, h.150-152
[5] Muhammad Fauzil Adham, Op. Cit, 211-214
[6] Syahminan Zaini, Arti Anak Bagi Seorang Muslim, Surabaya, Al-Ikhlas, 1982, h.94

Posting Komentar

0 Komentar