Civic Education

A. Beberapa Istilah dan Definisi Civic Education

Henry Randall Waite dalam penerbitan majalah The Citizen dan Civics, pada tahun 1886, merumuskan pengertian Civics dengan The sciens of citizenship, the relation of man, the individual, to man in organized collections, the individual in his relation to the state. Dari definisi tersebut, Civics dirumuskan dengan Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan (a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik); (b) individu-individu dengan negara. (Sumantri, 2001: 281).

Edmonson (1958) merumuskan arti Civics ini dengan Civics is usually defined as the study of government and of citizenship, that is, of the duties, right and priviliges of citizens. Batasan ini menunjukkan bahwa Civics merupakan cabang dari ilmui politik.

Hampir semua definisi mengenai Civics pada intinya menyebut government, hak dan kewajiban sebagai warga negara dari sebuah negara.

Secara istilah Civics Education oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan diwakili oleh Azyumardi Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai Pengembang Civics Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Zemroni, Muhammad Numan Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civics Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya.

Pendidikan Kewargaan semakin menemukan momentumnya pada dekade 1990-an dengan pemahaman yang berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Pendidikan Kewargaan diidentikkan dengan Pendidikan Demokrasi (democracy Education), Pendidikan HAM (human rights education) dan Pendidikan Kewargaan (citizenship education). Menurut Azra, Pendidikan Demokrasi (democracy Education) secara subtantif menyangkut sosialisai, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan.

Masih menurut Azra, Pendidikan Kewargaan adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM. Karena, Pendidikan Kewargaan mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerjasama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat.

Mahoney, sebagaimana dikutip oleh Numan Soemantri, merumuskan pengertian Civic Education sebagai berikut: “Civic Education includes and involves those teaching; that type of teaching method; rhose student activities; those administrative and supervisory procedures which the school may utility purposively to make for better living together in the democratic way or (synonymously) to develop to better civics behaviors.

Menurut Muhammad Numan Soemantri, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (a) Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan prilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokrasi; (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara.

Rumusan lain, seperti yang dikemukakan oleh Civitas Internasional, bahwa Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi manusia, penguatan keterampilan partisifatif yang demokrasi, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian.

Menurut Merphin Panjaitan, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokrasi dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial. Sementara Soedijarto mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.

Dari definisi tersebut, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya meliputi pengaruh positif dari pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar sekolah. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokrasi dan humanis.

B. Kompetensi Dasar dan Tujuan Civic Education

Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, yaitu pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewargaan (Civic Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) antara lain demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society); kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewargaan (Civic Dispositions) antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman, kepekaan terhadap masalah warga negara antara lain masalah demokrasi dan hak asasi manusia; dan ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewargaan (Civil Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintah.

Tujuan Perkuliahan Pendidikan Kewargaan (Civic Education)

1. Membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab.

2. Menjadikan warga yang baik dan demokratis.

3. Menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analisis dan kritis.

4. Mengembangkan kultur demokrasi.

5. Membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen.

C. Ruang Lingkup Civic Education

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) memiliki atas tiga materi pokok (core materials) yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society). Ketiga materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa materi yang menjadikan bahan kajian dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education), yaitu (1) Pendahuluan; (2) Identitas nasional; (3) Negara; (4) Kewarganegaraan; (5) Konstitusi; (6) Demokrasi; (7) Otonomi Daerah; (8) Good Governance; (9) Hak Asasi Manusia; (10) Masyarakat Madani. Dengan demikian isi pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education) diarahkan untuk national and character building bangsa Indonesia yang relevan dalam memasuki era demokratisasi.

D. Orientasi Civic Education

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praktis), paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistik sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut sebagai global classroom. Untuk itu kelas pembelajaran Pendidikan Kewargaan, dalam istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.

Dalam lingkup Asia-Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik, agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari keragaman kultural ini. Pembelajaran Pendidikan Kewargaan baik sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, kasuistis, demokratis dan humanis.

E. Urgensi Civic Education dalam Pembangunan Demokrasi Peradaban

Keruntuhan rezim Orde Baru pada pertengahan tahun 1998 merupakan babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia yaitu berakhirnya era otoriter dan lahirnya era demokratisasi. Transisi tata pemerintahan dan kenegaraan menuju era demokratisasi ditandai paling tidak oleh beberapa hal, yaitu (a) lahirnya kepemimpinan politik nasional yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yaitu proses pemilu yang dalam sejarah Indonesia dipandang sangat bebas, jujur dan adil serta demokratis; (b) proses pemilihan kepemimpinan politik nasional dalam sidang umum MPR tahun 1999 yang juga berlangsung sangat demokratis; (c) terjadinya peralihan kekuasaan politik dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dalam forum Sidang Istimewa MPR tahun 2001 juga berlangsung damai.

Demokrasi menurut Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif bukan sebuah wacana, pola pikir atau prilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi, bukan pula “barang instan”. Demokrasi menurutnya adalah proses yang masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Proses demokrasi yang baru “seumur hidup” dialami bangsa Indonesia dalam era transisi ini berada dalam situasi carut marut, karena sebagian komponen bangsa masih menunjukkan dan mempertontonkan prilaku anarkis, akrobat politik yang tidak berkeadaban dan prilaku destruktif lainnya baik oleh kalangan elit politik dan pemerintahan maupun oleh massa.

Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan panjang. Sebagai proses yang komlek dan panjang transisi Indonesia menuju demokrasi keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra, mencakup tiga agenda besar yang berjalan secara stimultan dan sinergis. Pertama, reformasi konstitusional; kedua, reformasi kelembagaan (institutional reforms) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan, seperti MPR, DPR, MA, DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan Kewargaan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya demokrasi berkeadaban.

Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan demikian harus mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu instrumen pendidikan politik yang mampu melakukan empowerment bagi masyarakat, terutama masyarakat kampus melalui berbagai program pembelajaran yang mencerminkan adanya rekonstruksi sosial (social reconstruction). Dengan cara demikian, berbagai patologi sosial (penyakit masyarakat) dapat dianalisis untuk kemudian dicarikan solusinya atau terapinya. Selain itu, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) harus dapat pula dijadikan sebagai wahana dan instumen untuk melakukan social engineering dalam rangka membangun social capital yang efektif bagi tumbuhnya kultur demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tumbuhnya masyarakat madani (civil society).

Posting Komentar

1 Komentar

  1. said...

    postingannya menarik dan bermanfaat, ini akan menambah pemahaman SAYA tentang pengertian civic education..

    BalasHapus