KAUM SOFIS

A. Beberapa Ciri Sofistik

Aliran yang disebut Sofistik tidak merupakan suatu mazhab, yang dapat dibandingkan dengan mazhab Elea umpamanya. Bertentangan dengan suatu mazhab, para Sofis tidak mempunyai ajaran bersama. Sebaiknya Sofistik dipandang sebagai suatu aliran atau pergerakan dalam bidang intelektual yang disebabkan oleh beberapa factor yang timbul dalam zaman itu. Tetapi sebelum kita memandang factor-faktor itu, lebih dahulu sepatah kata harus dikatakan tentang sanam “Sofis”.

  1. Nama

Rupanya nama “Sofis” (sophistes) tidak digunakan sebelum abad ke-5. arti yang tertua adalah “seorang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Agak cepat kata ini dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendikiawan”. Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) mempergunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 nama philoshopos menjadi nama yang biasa dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendikiawan”, sedangkan nama sophists khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar pertengahan kedua abad ke-5. di sini kita juga mempergunakan kata “Sofis” dalam arti terakhir ini.

Pada kemudian hari nama “Sofis” tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut “sophism” atau “sophistery”. Terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles denga kritiknya atas kaum Sofis menyebabkan nama “sofis” berbau jelek. Salah satu tuduhan adalah bahwa para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani” (313 c). dan Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya cara berargumentasi yang tidak sah. Demikianlah para Sofis memperoleh nama yang jelek, hal mana masih dapat dirasakan sampai pada hari ini, sebagaimana nyata dengan contoh-contoh dari bahasa Inggris tadi.

  1. Tiga Faktor yang Menjelaskan Munculnya Sofistik

a. Sesudah perang Parsi selesai (tahun 449 SM), Athena berkembang pesat dalam bidang politik dan ekonomi. Di bawah pimpinan Periklespolis inilah yang menjadi pusat seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu Athena belum mengambil bagian dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang sejak abad ke-6. Tetapi sering kali dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa negara atau kota yang mengalami zaman keemasan dalam bidang politik dan ekonomi menjadi pusat pula dalam bidang intelektual dan cultural. Demikian halnya juga dengan kota Athena. Kita sudah melihat bahwa Anaxagoras adalah filsuf pertama yang memilih Athena sebagai tempat tinggalnya. Para Sofis tidak membatasi tidak membatasi aktivitasnya pada polis Athena saja. Mereka adalah guru-guru yang bepergian keliling dari satu kota ke kota lain. Tetapi Athena sebagai pusat cultural yang baru mempunyai daya tarik khusus untuk kaum sofis. Protagoras misalnya, yang dari sudut filsafat boleh dianggap sebagai tokoh yang utama antara para Sofis, sering-sering mengunjungi Athena.

b. Faktor Lain yang dapat membantu untuk memahami timbulnya gerakan Sofistik adalah kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu. Sudah kami utarakan bahwa bahasa merupakan alat politik yang terpenting dalam masyarakat Yunani. Sukses tidaknya dalam bidang politik sebagian besar tergantung pada kemahiran berbahasa yang diperlihatkan dalam sidang umum, dewan harian atau sidang pengadilan. Itu teristimewa benar dalam masa yang dibahas di sini, karena hidup politik sangat diutamakan. Khususnya di Athena, yang sekarang mengalami puncaknya sebagai polis yang tersusun dengan cara demokratis. Itulah sebabnya tidak mengerankan bahwa orang muda merasakan kebutuhan akan pendidikan serta pembinaan, supaya nanti mereka dapat memainkan peranannya dalam hidup politik. Sampai saat itu pendidikan di Athena tidak melebihi pendidikan elementer saja. Kaum Sofis memenuhi kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut. Mereka mengajarkan ilmu-ilmu seperti matematika, astronomi dan terutama tata bahasa. Mengenai ilmu yang terakhir ini mereka boleh dipandang sebagai perintis. Dan tentu saja, kaum Sofis juga mempunyai jasa-jasa besar dalam mengembangkan ilmu retorika atau ilmu berpidato. Selain dari pelajaran dan latihan untuk orang muda, mereka juga memberi ceramah-ceramah dengan cara populer untuk khalayak ramai yang lebih luas.

Dari uraian di atas ini boleh ditarik kesimpulan bahwa kaum Sofis untuk pertama kalinya dalam sejarah mengorganisir pendidikan untuk orang muda. Dari sebab itu paidela (kata Yunani untuk “pendidikan”) dapat dianggap sebagai suatu penemuan Yunani. Itulah salah satu jasa yang besar sekali, yang pengaruhnya masih berlangsung terus sampai dalam kebudayaan modern.

c. Faktor ketiga yang mempengaruhi timbulnya aliran Sofistik boleh dilukiskan sebagai berikut. Karena pergaulan dengan banyak negara asing, orang Yunani mulai menginsyafi bahwa kebudayaan mereka berlainan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kebudayaan Yunani terletak di tengah kebudayaan-kebudayaan yang coraknya sangat berlainan. Dapat terjadi bahwa apa yang dengan tegas ditolak dalam kebudayaan yang satu, sangat dihargai dalam kebudayaan yang lain. Sejarawan Yunani Herodotos yang hidup dalam zaman ini dan banyak bepergian ke negeri-negeri lain, telah menuliskan pengalaman itu dengan cukup jelas. Dan ia menyetujui pendirian penyair Pindaros bahwa adat kebiasaan adalah raja segala-galanya. Pengalaman itu menampilkan banyak pertanyaan. Apakah peraturan-peraturan etis, lembaga-lembaga sosial dan tradisi-tradisi relegius hanya merupakan suatu kebiasaan atau konvensi saja? Apakah kesemuanya itu hanya kebetulan tersusun begitu? Apakah mungkin suatu susunan yang sama sekali berlainan? Para Sofis akan merumuskan persoalan ini dengan bertanya: apakah peraturan-peraturan etis beralaskan adat kebiasaan (romos) atau beralaskan kodrat (physis)? Pada umumnya para Sofis akan menjawab bahwa hidup sosial tidak mempunyai dasar kodrati. Sampai-sampai Protagoras tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Dengan demikian kaum Sofis jatuh jatuh dalam relativitasme di bidang tingkah laku etis di bidang pengenalan. Dengan relativisme dimaksudkan pendirian bahwa baik buruk dan benar salah itu bersifat relatif saja. Atau dengan kata lain, baik buruk dan benar salah tergantung pada manusia bersangkutan. Sokrates dan Plato dengan tajam sekali akan mengkritik pendirian itu. Tetapi dapat dibayangkan bahwa kaum Sofis mengalami sukses besar dengan anggapannya yang menentang tradisi-tradisi tua, terutama dalam kalangan kaum muda. Dalam hal ini angkatan muda Yunani tidak berbeda banyak dengan angkatan muda pada zaman lain, karena mereka selalu cenderung membuang yang kolot dan memihak kepada yang serba baru.

B. Beberapa Tokoh

  1. Protagoras

a. Riwayat Hidup

Protagoras lahir kira-kira pada tahun 485 di kota Abdera di daerah Thrake. Demokritos adalah sewarga kotanya yang lebih muda. Sering kali ia datang ke Athena dan di sana ia terhitung pada kalangan sekitar Perikles. Atas permintaan Perikles ia mengambil bagian dalam mendirikan kota perantauan Thurioi di Italia Selatan pada tahun 444. pendirian kota itu dimaksudkan Perikles sebagai usaha pan-Hellen, berarti seluruh Hellas diharapkan mengambil bagian dalamnya. Ada tokoh-tokoh terkemuka yang ikut dalam usaha itu, seperti misalnya Herodotos, Hippodamos dan Lysias. Protagoras diminta untuk mengarang undang-undang dasar bagi polis baru itu. Menurut Diogenes Laertios pada akhir hidupnya Protagoras dituduh di Athena karena kedurhakaan (asebia) dan bukunya tentang agama dibakar di hadapan umum. Diceritakan pula bahwa Protagoras melarikan diri ke Sisilia, tetapi pada perjalanan ini ia tewas, akibat perahu layar tenggelam. Tetapi karena kesaksian Diogenes Laertios ini tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain, kebanyakan sejarawan modern menyangsikan kebenarannya.

Protagoras mengarang sejumlah buku. Hanya beberapa fragmen pendek masih disimpan. Tetapi isi ajarannya dapat diterapkan, karena gagasan Protagoras ramai dipersoalkan di kemudian hari. Plato merupakan sumber yang utama, khususnya kedua dialognya yang berjudul Theaitetos dan Protagoras.

b. Ajaran Tentang pengenalan

Dalam buku yang berjudul Atletheia (“kebenaran”) terdapat tuturan Protagoras yang terkenal, yang disimpan dalam kumpulan H. Diels sebagai fragmen 1: “Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya; untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada”. Pendiri ini boleh disebut relativisme, artinya kebenaran dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya, bahkan ada tidaknya. Di sini dapat dipersoalkan bagaimana kita mesti mengerti kata “manusia” itu. Yang dimaksudkan Protagoras, manusia perorangan ataukah manusia sebagai umat manusia? Apakah kebenaran tergantung pada Anda dan pada saya, sehingga kita mempunyai kebenaran sendiri-sendiri? Ataukah kebenaran tergantung pada kita bersama-sama, sehingga kebenaran itu sama untuk semua manusia, biar pun tidak mempunyai arti terlepas dari manusia? Tidak dapat disangsikan bahwa Plato mengartikan perkataan Protagoras tadi mengenai manusia perorangan. Itu jelas karena contoh yang diberikannya untuk menerangkan pendapat Protagoras. Contohnya sebagai berikut: Angin yang sama dirasakan panas oleh satu orang (yaitu orang sehat) dan dirasakan dingin oleh orang lain (yang dalam keadaan sakit/demam). Mereka kedua-duanya benar! Dan tidak ada alasan yang menuntut bahwa kita membatasi pendapat Protagoras ini atas pengenalan inderawi saja. Oleh karenanya kebenaran seluruhnya harus dianggap relatif terhadap manusia bersangkutan. Semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali bertentangan satu sama lain. Tetapi, kalau demikian, pendapat Protagoras sendiri tidak merupakan kekecualiaan. Karena, sebagaimana disimpulkan oleh Plato, secara konsekuen pendapat Protagoras hanya benar untuk dia sendiri saja dan mungkin sekali bagi orang lain kebalikannya yang benar.

c. Seni Berdebat

Karangan lain berjudul Antilogiai(“Pendirian-pendirian yang bertentangan”). Dalam karya ini Protagoras mengemukakan anggapan yang tentu ada hubungannya dengan relativisme yang diuraikan di atas. Dan anggapan ini sesuai dengan keaktifan khusus kaum Sofis, sebab kita sudah melihat bahwa mereka terutama giat dalam bidang kemahiran berbahasa. Suatu fragmen disimpan yang barangkali merupakan kalimat pertama dari karya tersebut: “tentang semua hal terdapat dua pendirian yang bertentangan”. Boleh diandaikan bahwa perkataan ini menyatakan gagasan pokok karya ini. Kalau benar tidaknya sesuatu tergantung pada manusia, harus disimpulkan bahwa satu pendirian tidak lebih benar dari pada kebalikannya. Ini mempunyai konsekuensi besar untuk seorang ahli berpidato. Terserah pada kepandaiannya apakah ia akan berhasil meyakinkan para pendengarnya mengenai kebenaran suatu pendirian yang sepintas lalu rupanya tidak begitu sah. Dari sebab itu perlu suatu latihan yang memungkinkan orang “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat”.

Para musuh kaum Sofis telah menafsirkan gagasan ini dalam arti moral. Mereka memberi kesan seakan-akan menurut Protagoras perbuatan yang sama serentak dapat dicela dan serentak juga dipuji, sehingga sesuatu yang baik dijadikan sesuatu yang buruk dan sebaliknya. Dengan demikian seni berdebat menjadi alat yang cocok sekali untuk penjahat-penjahat. Tetapi tidak ada alasan apa pun untuk menyangka bahwa maksud Protagoras memang begitu. Oleh tradisi Yunani disampaikan kesaksian bahwa Protagoras mempunyai tabiat yang luhur dan dihormati oleh umum.

d. Ajaran Tentang Negara

Dalam karya yang bernama Tentang Keadaan yang Aseli Protagoras memberi suatu teori tentang asal usul negara. Teori ini dipengaruhi di satu pihak oleh pengalaman yang sudah disebut di atas, yakni bahwa tiap-tiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri dan di lain pihak oleh kenyataan bahwa pada waktu itu banyak kota perantauan masing-masing mendapat undang-undang baru. Kita sudah mendengar bahwa Protagoras sendiri juga menyusun undang-undang demikian. Protagoras berpendapat bahwa negara tidak berdasarkan kodrat, tetapi diadakan oleh manusia sendiri. Ia melukiskan timbulnya keadaan itu ia mengalami rupa-rupa kedulitan, seperti gangguan dari pihak binatang buas, bencana alam dan lain sebagainya. Karena ia tersendiri merasa lemah dan tidak berdaya, ia mulai berkumpul dengan teman-teman manusia lainnya dalam kota-kota.tetapi cepat sekali ia mengalami bahwa hidup bersama tidak gampang pula. Dengan suatu mite, Protagoras menerangkan bagaimana kesulitan baru ini diatasi. Seseorang dewa berkunjung kepada manusia dan menyerahkan kepada mereka dua anugerah” keinsyafan dan keadilan (dike) dan hormat kepada orang lain (aidos). Berkat kedua bakat ini manusia dapat hidup bersama. Ia sendiri dapat mengadakan undang-undang. Jadi, undang-undang tertentu tidak “lebih benar” dari pada undang-undang lain. Tetapi undang-undang ini lebih cocok dengan masyarakat ini dan undang-undang lain lebih cocok dengan masyaraka lain. Rupanya dalam bidang sosial juga manusia adalah ukuran.

e. Ajaran Tentang allah-allah

Masih disimpan datu fragmen dari karya Protagoras yang berjudul Peritheon (“perihal allah-allah): “Mengenai allah-allah saya tidak merasa sanggup menetapkan apakah mereka ada atau tidak ada; dan saya juga tidak dapat menentukan hakekat mereka. Banyak hal yang merupakan halangan: baik kaburnya pokok bersangkutan maupun pendeknya hidup manusia”. Pendapat Protagoras tentang allah-allah boleh disebut suatu skeptisisme, artinya di sini tidak mungkin mencapai kebenaran. Itu cocok sekali dengan anggapan relativistis yang dianut Protagoras dalam bidang pengenalan. Tetapi kita tidak mempunyai informasi bahwa ia juga menarik konsekuensi praktis dari pendapat skeptis itu. Mungkin sekali ia menyimpulkan bahwa dalam hidup praktis manusia harus berpihak pada tradisi saja dan beribadah kepada allah-allah polis, sebagaimana wajib dilakukan oleh semua warga negara.

  1. Gorgias

a. Riwayat Hidup

Gorgias lahir di Leontinoi di Sisilia sekitar tahun 483. Rupanya mula-mula dia murid Empedokles, kemudian dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Pada tahun 427 ia datang ke Athena sebagai duta kota asalnya untuk meminta pertolongan melawan kota Syrakusa. Sebagai Sofis ia mengelilingi kota-kota Yunani,terutama Athena, di mana ia mengalami sukses besar, karena luar biasa fasih lidahnya. Ia dijunjung tinggi sebagai guru dan mempunyai banyak murid. Ia meninggal pada usia 108 tahun, kira-kira pada tahun 375.

b. Ajaran

Gorgias menulis sebuah buku yang berjudul Tentang yang Tidak Ada atau Tentang Alam. Dalam buku ini ia mempertahankan tiga pendirian (1) tidak ada sesuatu pun; (2) seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal; (3) seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Ketiga pendirian ini disokong dengan banyak argumen. Soalnya ialah bagaimana kita harus mengerti maksud Gorgias. Ada sejarawan yang berpendapat bahwa yang ia maksudkan memang seperti yang diucapkannya dengan ketiga pendirian ini. Kalau demikian, Gorgias bukan saja menganut suatu skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan juga memihak kepada nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang bernilai). Tetapi sulit sekali untuk membayangkan bahwa pendirian-pendirian itu mengandung maksud Gorgias sendiri. Agaknya ia ingin menyindir metode berargumentasi yang dipakai mazhab Elea dengan memperlihatkan bahwa cara berargumentasi mereka dapat diteruskan hingga menjadi mustahil.

Dalam tradisi Yunani diceritakan bahwa sesudah mengarang karya yang di sebut di atas, Gorgias berbalik dari filsafat dan mulai mencurahkan perhatiannya kepada ilmu retorika. Kita masih mempunyai dua pidato yang dikarang Gorgias. Mungkin kedua pidato ini disisipkan sebagai contoh dalam suatu buku pegangan mengenai ilmu retorika, tetapi buku itu tidak ada lagi. Retorika dianggap Gorgias sebagai seni untuk menyakinkan (“the art of persuasion”). Dari sebab itu tidak cukup mengemukakan alasan-alasan yang diarahkan kepada akal budi, tetpai juga perasaan harus disentuh. Gorgias menciptakan gaya bahasa yang memperaktekkan prinsip ini.

Di antara murid-murid Gorgias tentu harus disebut Isokrates, seorang ahli pidato yang ternama di Yunani. Ia akan membuka suatu sekolah Plato yang disebut “Akademia”.

  1. Hippias

a. Riwayat Hidup

Hippias adalah kawan sebaya dengan Sokrates dan berasal dari kota Elis. Ia dibicarakan dalam kedua dialog Plato yang berjudul Hippias Maior dan Hippias Minor. Rupanya ia menguasai banyak lapangan keahlian, terutama ia mempunyai jasa-jasa besar dalam bidang ilmu ukur.

b. Ajaran

Seperti banyak Sofis lain, Hippias juga mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, apakah tingkah laku manusia dan susunan masyarakat harus berdasarkan nomos (adat kebiasaan, undang-undang) atau harus berdasarkan physis (kodrat). Tetapi ia memberi jawaban yang bertolak belakang dengan kebanyakan rekan Sofis. Ia beranggapan bahwa kodrat manusiawi merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan susunan masyarakat. Ia berpikir begitu, karena undang-undang berkali-kali harus dikoreksi atau diubahkan. Oleh karenanya ternyata bukan undang-undang yang merupakan norma terakhir untuk menentukan yang baik dan yang jahat. Apalagi, undang-undang sering kali memperkosa kodrat manusia. Misalnya undang-undang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan, sebagai orang bebas atau budak. Padahal, menurut kodratnya, semua manusia sama derajatnya. Dengan demikian pada Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis.

  1. Prodikos

a. Riwayat Hidup

Prodikos berasal dari pulau Keos dania juga boleh dianggap sebagai kawan sebaya Sokrates.

b. Ajaran

Prodikos menganut suatu pandangan hidup yang pesimistis. Kematian dianggapnya sebagai jalan untuk melepaskan diri dari kesusahan dalam hidup manusia. Pendapatnya tentang asal usul agama pasti tidak boleh dilupakan di sini. Menurut Prodikos, agama merupakan penemuan manusia. Mula-mula manusia memuja tenaga-tenaga alam sebagai dewa, misalnya matahari, bulan, sunagi-sungai dan pohon-pohon. Sebagai contoh ia menunjuk kepada pemujaan sungai Nil di Mesir. Taraf berikut ialah bahwa mereka yang menemukan keahlian tertentu (pertanian, perkebunan anggur, pengolahan besi) dipuja sebagai dewa. Sebagai contoh ia menyebut dewa-dewa Yunani Demeter, Dionysos, dan Hephaistos yang dalam agama Yunani masing-masing dikaitkan dengan pertanian, anggur dan besi. Jadi, ia berpendapat bahwa juga agama agama merupakan ciptaan manusia (nomos). Ia menyangka pula bahwa doa itu kelebihan saja. Dan rupanya ia mengalami kesulitan-kesulitan dengan pemerintah Athena karena anggapan-anggapan yang kurang ortodoks itu.

  1. Kritias

a. Riwayat Hidup

Kritias ini lebih muda dari Sokrates. Ia berasal dari Athena dan memainkan peranan penting dalam politik kota itu.

b. Ajaran

Titik ajaran Kritias yang harus disebutkan di sini ialah pendapatnya tentang agama. Ia beranggapan bahwa agama ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang licik. Kebanyakan pelanggaran dapat diadili menurut hukum. Tetapi selalu ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tersembunyi saja dan tidak diketahui oleh umum. Dari sebab itu penguasa-penguasa membalas juga pelanggaran-pelanggaran tersembunyi.

C. Pengaruh Aliran Sofistik

Dalam uraian-uraian sejarah filsafat, kaum Sofis tidak selalu dipandang dengan cara yang sama. Kadang-kadang dikemukakan pertimbangan yang agak negatif. Tetapi dalam uraian-uraian lain kaum Sofis direhabilitasikan lagi dengan penilaian yang lebih positif. Pada aliran Sofistik sendiri terdapat dua aspek yang menampilkan penilaian yang berbeda-beda itu.

Di satu pihak gerakan para Sofis menyatakan krisis yang tampak dalam pemikiran Yunani. Rupanya pada waktu itu orang merasa jemu dengan sekian banyak pendirian yang telah dikemukakan dalam filsafat pra-sokratik. Reaksinya ialah skeptisisme yang dianut oleh para Sofis. Kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Protagoras, Gorgias). Dengan itu Sofistik pasti mempunyai pengaruh negatif atas kebudayaan Yunani waktu itu. Banyak nilai tradisional dalam bidang agama dan moralitas mulai roboh. Peranan polis sebagai kesatuan sosial-politik mulai merosot, karena kaum Sofis memajukan suatu orientasi pan-Hellen. Tekanan pada ilmu berpidato dan kemahiran berbahasa menampilkan bahaya bahwa teknik berpidato akan dipergunakan untuk maksud-maksud yang jahat. Kalau prinsip Protagoras, yakni “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat”, dikaitkan dengan relativisme dalam bidang moral, maka dengan sendirinya jalan terbuka untuk penyalahgunaan itu. Sofis-sofis yang besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak menyalahgunakan ilmu berpidato untuk maksud-maksud jahat. Mereka adalah orang yang dihormati oleh umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal yang sama tidak bisa dikatakan mengenai semua Sofis lain.

Akan tetapi di lain pihak aliran Sofistik pasti juga mempunyai pengaruh yang positif atas kebudayaan Yunani. Bahkan boleh dikatakan bahwa para Sofis mengakibatkan suatu revolusi intelektual di yunani. Gorgias dan Sofis-sofis lain menciptakan menciptakan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani. Sejarawan-sejarawan Yunani yang besar, seperti Herodotos dan thukydides, dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Sofistik. Pandangan hidup kaum Sofis bergema juga pada dramawan-dramawan yang tersohor seperti Sophokles dan terutama Euripides. Dan kami sudah menyebut sebagai jasa-jasa Sofistik bahwa mereka mengambil manusia sebagai obyek bagi pemikiran filsafat dan bahwa mereka meletakkan fundamen untuk pendidikan sistematis bagi kaum muda. Tetapi jasa mereka yang terbesar ialah bahwa mereka mempersiapkan kelahiran filsafat baru.

DAFTAR PUSTAKA

Lasiyo dan Yuwono, Pemikiran Filsafat, Yogyakarta, Liberti, 19986.

Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius, 1993.

Posting Komentar

0 Komentar