Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.

Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.

Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.


BAB II

PEMBAHASAN

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

( PERBANDINGAN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIKIH MUNAKAHAT )

A. Rukun.

Dalam rukun nikah ( pada fiqih munakahat dan kompilasi hokum Islam ), yaitu :

  1. Calon suami.
  2. Calon istri
  3. Wali nikah Dua orang saksi
  4. Ijab dan Kabul.

Demikiaan, pada bab IV, bagian kesatu rukun, pasal 14.

Bagian kedua, caalon mempelaai.

B. Calon Mempelai

Pasal 15

  1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
  2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 16

  1. Perkawinan di dasarkan atas persetujuan calon mempelai.
  2. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan , lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

  1. Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapkan dua saksi nikah.
  2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
  3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18

  1. Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.

Pasal 19

C. Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Pasal 20

  1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh. (Dalam fikih munakahat ditambahkan lagi dengan adil dan merdeka).
  2. Wali nikah terdiri dari

a. Wali nasab.

    1. Wali hakim.

Pasal 21

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekeluargaan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya .

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman , yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki – laki kandung kakek, saudara laki – laki seayah kakek dan keturunan laki – laki mereka.

2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama – sama derajat kandung atau sama – sama derajat kerabat seayah, mereka sama – sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat – syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

D. Saksi Nikah

Pasal 24

1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad nikah .

2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi .

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

E. Akad Nikah

Pasal 27

Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepadaorang lain.

Pasal 29

1. Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.

2. Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

3. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Semua pasal diatas yang tidak ada pembahasan, maka sesuai dengan ketentuan fikih munakahat.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

1. Calon Suami

2. Calon Istri

3. Wali Nikah

4. Dua Orang Saksi

5. Ijab dan Kabul.

Pasal 14, mengenai rukun

Pasal 15, 16, 17, dan 18 mengenai calon mempelai.

Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23 mengenai wali nikah

Pasal 24, 25, dan 26 mengenai saksi nikah

Pasal 27, 28, dan 29 mengenai akad nikah.


DAFTAR PUSTAKA


- Ismail, Abdurrahman, S.H.,M.H., Kompilasi Hukum Islam.

- Bisri, Hasan CIK, Kompilasi Hukum Islam dalam system Hukum Nasional, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999.

- Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996


Posting Komentar

0 Komentar