BAB I
PENDAHULUAN
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu ميراث , bentuk jamaknya adalah موارث yang berarti harta peningglan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.
Setiap ahli waris akan mendapat bagian sesuai dengan kadar atau ukuran bagian masing-masing yang telah ditentukan oleh syari'at Islam.
Mempelajari ilmu waris hukumnya adalah fardhu kifayah. Dasar hukum waris adalah Al-Qura'an Suarah An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 dan surat-surat lainnya serta hadits Nabi Muhammad SAW, kemudian di Indonesia ditambah dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Rasulullah SAW bersabda :
الحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر ( متفق عليه).
"Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada asabah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama". (HR. Muttafaq 'Alaih).
Kita tidak mengetahui kapan ajal menjemput kita, yang menjadi masalah adalah jika salah seorang atau lebih dari ahli waris meninggal lebih dahulu sebelum dia mendapatkan bagiannya. Dan masalah inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Masalah seperti ini dalam ilmu waris disebut MUNASAKHAH.
BAB II
PEMBAHASAN
(SISTEM PERGANTIAN TEMPAT (MUNASAKHAH))
A. DEFINISI MUNASHAHAH
Munasakhah menurut bahasa artinya menyalin dan menghilangkan. Seperti kalimat نسخت كتاب (saya menyalinnya ke naskah lain). نسخت الشمس الظل (matahari menghilangkan bayangan). Yang bermakna pertama adalah firman Allah SWT :
انا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون ( الجاثية : 29 )
"Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan" (QS. Al-Jatsiyah : 29).
Yang bermakna kedua adalah firman Allah SWT :
ما ننسخ من اية او ننسخ نأت بخير منها او مثلها... ( البقرة : 106 ).
”Apa saja yang Kami nasakhkan (hilangkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah: 106).
Adapun munasakhah menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut As-Sayyid Asy-Syarif, munasakhah adalah memindahkan bagian demi bagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya akibat kematiannya sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan dilaksanakan.[1]
2. Menurut Ibnu Umar Al-baqry, munasakhah adalah kematian seseorang sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya menyusul meninggal dunia. Lafal nasakh itu menurut bahasa berarti izalah (penghapusan) atau naql (pindah).[2]
Baik munasakhah diartikan menurut definisi yang pertama maupun yang kedua, keduanya sudah mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Harta pusaka si pewaris belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.
3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang pertama harus dengan jalan mempusakai. Kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan maupun hadiah, hal itu di luar pembahasan munasakhah.
4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya.[3]
B. KEADAAN YANG MENYEBABKAN TERJADINYA MUNASAKHAH
1. Apabila pewaris mayit kedua itu adalah mereka yang menjadi pewaris mayit pertama.
Dalam keadaan ini masalahnya tidak berubah dan cara pewarisan mereka juga tidak berubah. Misalnya : seorang laki-laki mati meninggalkan 5 orang anak laki-laki, kemudian salah seorang dari mereka mati meninggalkan saudara-saudaranya yang lain dan tiada pewaris baginya selain mereka, maka warisan dalam keadaan ini dibagi antara orang-orang yang tersisa. Anak laki-laki mayit dianggap seakan-akan tidak berasal dari mayit itu. Maka warisan dibagikan kepada 4 anak laki-laki yang tersisa.
2. Bilamana para pewaris kedua adalah juga pewaris mayit pertama disertai perbedaan nisbah mereka kepada mayit.
Misalnya : seorang laki-laki mempunyai 2 orang isteri dan ia meninggalkan 1 anak lelaki dari isteri pertama dan 3 anak perempuan dari isteri kedua. Kemudian orang itu wafat meninggalkan isteri dan anak-anaknya. Kemudian salah satu putrinya wafat sebelum dilakukan pembagian harta dan meninggalkan orang-orang tersebut. Maka para pewaris dalam hal ini adalah sisa pewaris mayit pertama, hanya saja anak lelaki dalam masalah pertama terhadap anak perempuan yang mati telah menjadi saudara lelaki seayah dan 2 anak perempuan menjadi 2 saudara perempuan kandung. Oleh karena itu, pembagiannya di sini berubah dalam keadaan seperti ini harus ada tindakan baru dan pengeluaran masalah yang bernama "Al-Jaami'ah", yaitu yang menggabungkan 2 masalah.
3. Bilamana para pewaris mayit kedua lain dari pewaris mayit pertama atau sebagian mereka mewarisi dari 2 jalur, yaitu dari jalur mayit pertama dan dari jalur mayit kedua.
Dalam keadaan ini haruslah dikeluarkan "Al-Jaami'ah" karena pembagiannya berbeda terhadap para pewaris.
C. CARA MELAKUKAN MUNASAKHAH
Dalam proses melakukan munasakhah (sistem pergantian tempat) dan mengeluarkan "Al-Jaami'ah", haruslah diambil langkah-langkah berikut :
1. Tashih masalah mayit pertama dan memberi setiap waris bagiannya termasuk mayit kedua.
2. Mengerjakan masalah baru yang khusus bagi mayit kedua, kemudain mentashihnya tanpa memandang masalah pertama.
3. Perbandingan antara bagian mayit kedua dari masalah pertama dan tashih masalah para pewarisnya dari masalah kedua.
4. Perbandingan antara keduanya terjadi dalam ketiga nisbah berikut. (Al-Mumaatsalah, Al-Muwaafaqoh, dan Al-Mubayyanah).
Apabila antara keduanya (yakni antara saham-saham mayit kedua dan masalah para pewarisnya yang lain) terjadi persamaan, maka maslah ini menjadi sahih dari tashih pertama.[4]
Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 185 ayat (1) disebutkan: "Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173".
Dalam pembagiannya ahli waris pengganti, bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang diganti sebagaimana bunyi pasal 185 ayat (2) KHI : "Bagian Ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti".[5]
Jadi antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang sistem pergantian tempat ini. Bedanya cuma dari redaksi kata-kata saja tapi maksudnya sama yaitu meninggalnya ahli waris sebelum dia mendapatkan bagiannya.
Dan kalau masalah ini tidak diselesaikan secepatnya maka tidak mustahil akan terjadi sengketa atau pertikaian di hari-hari berikutnya.
Dalam membandingkan bagian pewaris dengan bagian kedua terdapat 3 macam perbandingan, yaitu :
1. Mumasalah
Jika hasil perbandingan dalam tashih pertama dengan kedua itu mumasalah, tidak perlu adanya perkalian juzussaham dengan asal masalah semula. Hal ini karena tashih yang pertama di sini berstatus menempati asal masalah di tempat lain, dan tshih kedua di sini menempati status adadur ruus yang terbagi atasnya dan apa yang berada di tangan orang yang meninggal kedua berstatus menempati status mereka dari asal masalah.
Misalnya :
Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas: suami, ibu, dan paman. Kemudian sebelum harta peninggalan dibagikan, suami meninggal dunia dan ahli warisnya terdiri atas 3 anak laki-laki.
Cara menyelesaikannya adalah:
Penyelesian pertama :
Ahli waris | Fard | Asal masalah : 6 |
Suami Ibu Paman | 1/2 1/3 Asabah Bin Nafsi | 1/2 x 6 = 3 1/3 x 6 = 2 6 - 5 = 1 |
Penyelesaian kedua :
Ahli waris | Fard | Asal masalah : 6 |
3 anak laki-laki paman Ibu Paman | - 1/3 Asabah Bin Nafsi | - 1/3 x 6 = 2 6 - 5 = 1 |
Karena bagiannya sudah pas dibagikan kepada adadur ruus tidak perlu tashih. Dengan demikian, bagian dalam tashih pertama dinisbatkan dengan bagian dalam tashih kedua dalam mumasalah.
2. Muwafaqah
Jika perbandingan bagian dalam tashih pertama dengan tashih kedua itu muwafaqah maka waqfi (hasil bagi dari pembagi yang sama) tashih kedua hendaklah dilakukan dengan asal masalah yang pertama.
Misalnya :
Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas: suami, ibu dan paman. Kemudian sebelum harta peninggalan dibagikan suami meninggal dunia dan ahli warisnya terdiri atas 6 anak laki-laki.
Penyelesaiannya adalah :
Penyelesaian pertama adalah :
Ahli waris | Fard | Asal masalah: 6, sahamnya |
Suami Ibu Paman | 1/2 1/3 Asabah Bin Nafsi | 1/2 x 6 = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 |
Penyelesian kedua :
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
6 anak laki-laki Paman Ibu Paman | - 1/3 Asabah Bin Nafsi | = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 | 6 : 3 (tawafuq) - - | 2 - - |
Tashih : 6 x 2 = 12, maka sahamnya = 3 x 2 = 6
2 x 2 = 4
1 x 2 = 2
Karena bagian laki-laki yang diterima oleh 6 anak laki-laki yang diwarisi dari ayahnya (suami orang yang meninggal pertama), yaitu tiga bagian tidak dibagikan kepada mereka tanpa menggunakan angka pecahan adalah tawafuq, waqfi-nya, yaitu dua digunakan untuk mebngalikan asal masalah yang pertama, sehingga menjadi 12. Dengan demikian, kedua asal masalah tersebut sudah tashih dan pembagian kepada mereka dapat diselesaikan dengan mudah.
3. Mubayanah
Jika hasil perbandingan bagian dalam tashih pertama dengan tashih kedua itu tabayun, seluruh tashih kedua dikalikan dengan seluruh tashih pertama.
Contoh :
Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari : suami, ibu, dan paman. Kemudian sebelum harta peninggalan dibagi suami meninggal dunia dan ahli warisnya terdiri atas sepuluh anak laki-laki.
Cara penyelesaiannya adalah :
Penyelesaian pertama :
Ahli waris | Fard | Asal masalah = 6, sahamnya |
Suami Ibu Paman | 1/2 1/3 Asabah Bin Nafsi | 1/2 x 6 = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 |
Penyelesaian kedua
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
10 anak laki-laki suami Ibu Paman | - 1/3 Asabah Bin Nafsi | = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 | 10 : 3 (tabayun) - - | 10 - - |
Tashih : 6 x 10 = 60, maka bagiannya
3 x 10 = 30 (30 : 10) = 3
2 x 10 = 20 (30 : 20) = 2
1 x 10 = 10 (30 : 10) = 1
Karena nisbah adadur ruus dengan bagiannya pada penyelesaian kedua adalah tabayun maka suami dengan kaidah dalam tashih, jumlah adadur ruus dijadikan untuk mengalikan asal masalah yang pertama. Dengan demikian, jumlah 10 itu menjadi asal masalah dalam tashih kedua, kemudian tashih yang kedua ini digunakan untuk mengalikan asal masalah (yang sudah tashih) yang pertama. Setelah itu, bagian ahli waris dapat diselesaikan dengan sempurna.[6]
D. MUNASAKHAH DALAM KEMATIAN LEBIH DARI SEORANG
Pada prinsipnya cara menyelesaikan munasakhah dalam kematian lebih dari seorang tidak jauh berbeda dengan cara yang pertama, hanya lebih berangkai, yaitu :
1. Mentashih orang yang meninggal lebih dahulu dan memberikan pusaka kepada setiap ahli waris dari masalah pertama, termasuk juga bagian orang-orang yang meninggal berikutnya.
2. Mentashih asal masalah yang kedua dan membandingakn bagian mereka dengan masalah apakah terdapat muwafaqah atau mubayanah. Jika terjadi demikian, dikerjakan lebih dahulu menurut penyelesaian seperti di atas.
3. Dari kedua masalah yang sudah ditashih tersebut kemudian dibandingkan dengan bagian-bagian dan masalah pada masalah orang yang meninggal berikutnya seperti cara-cara yang lalu, demikian seterusnya.
Contoh :
Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu dan paman. Kemudian suami meninggal ketika harta peninggalan belum dibagikan kepada para ahli waris. Ia dengan meninggalkan 5 anak laki-laki. Selanjutnya ibu juga meninggal dalam keadaan yang sama, dengan meninggalkan 4 orang saudara seayah. Paman pun meninggal juga dengan meninggalkan 10 orang anak laki-laki.
Cara penyelesaiannya :
Penyelesaian pertama :
Ahli waris | Fard | Bagian dari asal masalah : 6 |
Suami Ibu Paman | 1/2 1/3 Asabah Bin Nafsi | 1/ 2 x 6 = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 |
Penyelesian kedua :
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
5 anak laki-laki suami Ibu Paman | - 1/3 Asabah Bin Nafsi | = 3 1/3 x 6 = 2 6 – 5 = 1 | 5 : 3 (tabayun) - - | 5 - - |
Tashih : 6 x 5 = 30, maka bagiannya : 3 x 5 = 15
2 x 5 = 10
1 x 5 = 5
Penyelesaian ketiga :
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
5 anak laki-laki 4 saudara seayah Paman | - - - | = 15 = 20 = 5 | - - | - 2 - |
Tashih : 30 x 2 = 60, maka bagiannya : 15 x 2 = 30
10 x 2 = 20
5 x 2 = 10
Penyelesian keempat
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
5 anak laki-laki 4 saudara seayah 10 anak lelaki | - - - | = 30 = 20 = 10 | - - - | 5 - - |
Tashih : 60, maka bagiannya : penerimaan masing-masing
= 30 3 x 5 = 15
= 20 2 x 5 = 10
= 10 1 x 5 = 5
Dalam contoh tersebut, Imam Muhammad bin Umar Al-Baqry Asy-Syafi'i, menunjukkan cara yang lebih praktis yaitu :
Ahli waris | Fard | Asal muasal 6, bagian | Nisbah Adadurruus & bagian sahamnya | Juzus saham |
Suami (4 anak laki-laki) Ibu (4 saudara seayah) Paman (10 anak laki-laki) | 1/2 1/3 Asabah Bin Nafsi | 1/2 x 6 = 3 = 3 1/3 x 6 = 2 = 2 6 – 5 = 1 = 1 | 5 : 3 (tabayun) 4 : 2 (tawafuq) 10 : 1 (tabayun) | 5 2 10 |
Juzussaham Musytarak | Tashih 6 x 10 = 60 bagiannya | Bagian masing-masing |
10 | 3 x 10 = 30 2 x 10 = 20 1 x 10 = 10 | 30 : 5 = 6 20 : 4 = 5 10 : 10 = 1 |
Penjelsannya :
Asal masalah yang dipakai adalah asal masalah pertama saja, yaitu 6 untuk keempat asal masalah.
1. Suami memperoleh 3 bagian kemudian dibagikan kepada pewarisnya 5 anak laki-laki, ternyata nisbat saham dengan adadurruus-nya adalah tabayun. Oleh karena itu, juzussaham-nya ditetapkan 5.
2. Ibu mendapat 2 bagian yang kemudian diwarisi oleh pewarisnya sebanyak 4 orang saudara seayah. Nisbat adadurruus dengan sahamnya adalah tawafuq bin nafsi. Oleh karena itu, diambil waqfi-nya yaitu 2.
3. Paman mendapat 1 bagian yang kemudian diwarisi oleh 10 orang anak laki-lakinya. Nisabat adadurrus dengan sahamnya adalah tabayun. Oleh karena itu, sesuai dengan kaidah yang berlaku ditetapkan juzussaham –nya 10. Kemudian juzussaham-juzussaham tersebut adalah 5, 2, 10. Karena juzussaham-juzussaham tersebut tadakhul, maka juzussaham musytaraknya adalah 10. Akhirnya asal masalah semula yang 6 dikalikan dengan juzussaham musytaraknya 10, hingga menjadi 60 sebagai asala masalah jami'ah yang sudah tashih. Dengan demikian, mudah diketahui saham-saham para kelompok ahli waris dan dapat diselesaikan pembagian masing-masing pada ahli waris sebagaimana tertera di atas.[7]
E. AT-TAKHARUJ (KELUAR) DARI WARISAN
1. Definisi Takharruj
Takharruj ialah pengajuan perdamaian salah seorang ahli waris untuk mengundurkan diri dari menerima harta waris. Artinya dia tidak mengambil bagian yang setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan oleh syara'.
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin 'Auf r.a mempunyai 4 orang isteri. Setelah dia meninggal, salah seorang isterinya yaitu Thumadir binti Al ashbagh diajak bersepakat tentang penerimaan harta warisnya dengan mendapat 4/8 dari harta waris. Kemudian dia diberi bagian 100.000 dirham.
2. Cara Melakukan Takharruj
a. Dalam kondisi pertama, harus diselesaikan oleh semua ahli waris, langkah pertamanya adalah meluruskan (menggenapkan) masalahnya. Setelah itu, bagian ahli waris yang mengundurkan diri dihilangkan dari bagian waris pada pelurusan masalah tersebut dan ahli waris yang mengundurkan diri dianggap telah mengambil bagiannya. Kemudian, sisa harta waris dibagikan kepada para ahli waris lainnya. Dengan demikian, jumlah semua ahli waris menjadi asal masalahnya.
b. Dalam kondisi kedua, jika perdamaian pembagian waris itu dilakukan hanya dengan seorang ahli waris, maka bagian ahli waris yang mengundurkan diri akan diberikan kepada ahli waris yang menggantikan kedudukannya. [8]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari isi makalah pada Bab II sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Munasakhah menurut bahasa artinya menyalin dan menghilangkan. Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan As-Sayyid Asy-Syarif munasakhah adalah memindahkan bagian demi bagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya akibat kematiannya sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan dilaksanakan.
2. Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya munasakhah adalah :
a. Apabila pewaris mayit kedua itu adalah mereka yang menjadi pewaris mayit pertama.
b. Bilamana para pewaris kedua adalah juga pewaris mayit pertama disertai perbedaan nisbah mereka kepada mayit.
c. Bilamana para pewaris mayit kedua lain dari pewaris mayit pertama atau sebagian mereka mewarisi dari 2 jalur, yaitu dari jalur mayit pertama dan dari jalur mayit kedua.
3. Cara melakukan munasakhah adalah :
a. Tashih masalah mayit pertama dan memberi setiap waris bagiannya termasuk mayit kedua.
b. Mengerjakan masalah baru yang khusus bagi mayit kedua, kemudain mentashihnya tanpa memandang masalah pertama.
c. Perbandingan antara bagian mayit kedua dari masalah pertama dan tashih masalah para pewarisnya dari masalah kedua.
d. Perbandingan antara keduanya terjadi dalam ketiga nisbah berikut. (Al-Mumaatsalah, Al-Muwaafaqoh, dan Al-Mubayyanah).
4.
5. Cara menyelesaikan munasakhah kematian lebih dari seorang adalah :
a. Mentashih orang yang meninggal lebih dahulu dan memberikan pusaka kepada setiap ahli waris dari masalah pertama, termasuk juga bagian orang-orang yang meninggal berikutnya.
b. Mentashih asal masalah yang kedua dan membandingakn bagian mereka dengan masalah apakah terdapat muwafaqah atau mubayanah. Jika terjadi demikian, dikerjakan lebih dahulu menurut penyelesaian seperti di atas.
c. Dari kedua masalah yang sudah ditashih tersebut kemudian dibandingkan dengan bagian-bagian dan masalah pada masalah orang yang meninggal berikutnya seperti cara-cara yang lalu, demikian seterusnya.
6. Takharruj ialah pengajuan perdamaian salah seorang ahli waris untuk mengundurkan diri dari menerima harta waris.
7.
- Kondisi pertama, harus diselesaikan oleh semua ahli waris. Dan ahli waris yang mengundurkan diri dihilangkan dari bagian wris dan dianggap telah mengambil bagiannya. Sisa harta waris dibagikan kepada para ahli waris lainnya. Dengan demikian, jumlah semua ahli waris menjadi asal masalahnya.
- Kondisi kedua, jika perdamaian pembagian waris itu dilakukan hanya dengan seorang ahli waris, maka bagian ahli waris yang mengundurkan diri akan diberikan kepada ahli waris yang menggantikan kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman H, SH, MH, 2004, Kompilasi Hukum Islam,
Al-Baqry, Muhammad Bin Umar, Hasyiyah Muhammad Bin Umar Al-Baqry, Maktabah Misriyah,
Al-Jurajany, Ali Bin Muhammad, Syarhus Sayyid Syarif '
Ash-Shabuni,
__________________________, 1995, Hukum Waris Menurut Al-Qur'an Dan Hadits,
[1] Ali Bin Muhammad Al-Jurajany, Syarhus Sayyid Syarif '
[2] Muhammad Bin Umar Al-Baqry, Hasyiyah Muhammad Bin Umar Al-Baqry, Maktabah Misriyah,
[3] Drs. Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,
[4] DR. Muchamad Ali Ash-Shabuni, alih bahasa H. Zaid Husein Alhamid, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, Hlm. 137 - 139
[5] H. Abdurrahman SH, MH, Kompilasi Hukum Islam, pasal 185.
[6] Drs. Dian Khairul Umam, Op. Cit, hlm 233.
[7] Ibid hlm. 233 - 236
[8] Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur'an Dan Hadits,
0 Komentar