BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pemikiran filsafat pada abad pertengahan berlangsung selama sepuluh abad, yakni sejak abad 6 masehi hingga abad 16 masehi[1]. Abad pertengahan dikenal juga dengan sebutan abad kegelapan atau medieval. Dikatakan sebagai abad kegelapan karena pada masa ini filsafat dan pengetahuan terkungkung di bawah kekuasaan gereja. Abad ini dikenal pula sebagai medieval (abad pertengahan), yang mengantarai filsafat dan kebudayaan Yunani hingga masa renaisans. Filsafat yang berkembang dikenal dengan filsafat skolastik atau filsafat patristik[2]
Filsafat dan pusat peradaban pada abad pertengahan terbagi menjadi tiga titik sentral[3], yaitu (1) kebudayaan Eropa Barat berpusat di Roma (berkembang filsafat Neoplatonisme), (2) kebudayaan Eropa Timur (didominasi filsafat Plato) dan (3) kebudayaan muslim di wilayah jajahan Romawi, yaitu di Afrika Utara dan Timur Tengah (dengan filsafat yang bersumber dari Aristoteles). Tiga titik kebudayaan ini merupakan masa rintisan bagi munculnya kembali kebudayaan Yunani pada masa renaisan.
Filsafat skolastik dapat dibagi menjadi 4 fase[4], meliputi:
- Fase peralihan dari filsafat Yunani ke filsafat Skolastik (abad IV – IX masehi).
Pengaruh filsafat Plato diperkuat, tokoh pada fase ini yaitu St. Augustinus dan Dionisius
- Fase kejayaan, yaitu pada abad XII masehi;
a. Perkembangan ilmu yang pesat (namun mengalami kemunduran) melalui penerjemahan karya filsafat Yunani ke bahasa Latin, oleh orang-orang Yunani dan Muslim. Tokoh pada fase ini yaitu Scott Eriugena dan St. Anselm,
b. Munculnya universitas yang terpisah dari sekolah agama. Pada masa ini timbul kegoncangan karena pemikiran Aristoletes dan Neoplatonisme yang bertentangan dengan agama. Tokoh penting pada periode ini yaitu Thomas Aquinas.
- Fase kemunduran, yaitu pada akhir abad XIV masehi.
Masa ini ditandai dengan makin jauhnya pemikiran murni dan makin terfokusnya pemikiran pada pandangan nominalisme, yaitu pandangan yang mengajak pada filsafat murni yang lepas dari agama. Tokoh pada masa ini yaitu Willam Occam.
Secara umum pada abad kegelapan ini corak pemikiran ditandai dengan kemunduran peradaban Yunani dan mulai berkembangnya ajaran Kristen. Dengan semakin diakuinya Kristen, filsafat mengalami kemunduran. Pada masa ini dominasi dan otoritas agama menguasai segenap aspek perkembangan peradaban, Corak filsafat yang dikembangkan ditujukan sebagai justifikasi terhadap teologi.
Corak pemikiran Yunani yang berkembang yaitu Platonisme dan stoisisme. Keduanya mewarnai pemahaman terhadap ajaran agama. Ajaran filsuf besar Plato dan Aritoteles juga dimanfaatkan untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat pada permasalahan Tuhan, agama, keyakinan, alam dan manusia dan persoalan keilmuan seperti bahasa, logika, etika. Pergumulan antara ajaran agama dan pemikiran yang berlangsung selama sepuluh abad menjadi corak dan latar belakang masa berikutnya, yaitu abad pencerahan (aufklarung, renaissance).
B. Tujuan Penulisan
Makalah mengenai filsafat pada abad pertengahan bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pemikiran dan perkembangan filsafat pada periode abad pertengahan.
2. Memaparkan mengenai ajaran filsafat yang dikembangkan dan tokoh filsafatnya.
3. Menjelaskan pemikiran filsafat abad pertengahan dan sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dikemukakan dalam makalah ini meliputi:
1. Sejarah perkembangan kebudayaan dan ajaran filsafat dan ilmu di abad pertengahan
2. Ajaran filsafat pada abad pertengahan
3. Sumbangan pemikiran di abad pertengahan terhadap filsafat, agama dan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Abad Pertengahan
Abad pertengahan diawali dari kehancuran kerajaan Romawi dan mulai berkembangnya agama Kristen. Kehancuran peradaban Romawi disebabkan oleh perang saudara, separatisme dan serangan dari bangsa Bar-bar. Kekuasaan ditandai dengan feodalisme, para bangsawan yang memiliki tanah memekerjakan para budak agar semua orang dapat bertahan hidup[5]. Pada masa itu pula negara bangsa sudah mulai berdiri, namun kekuatan gereja mengungguli semua bentuk kekuasaan. ”...Uskup Romawi menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma...dan lambat laun dianggap sebagai wakil Kristus di bumi”[6].
Keruntuhan kerajaan Romawi bertepatan dengan pemunculan agama Kristen. Dalam perkembangannya, pada tahun 313 agama Kristen diterima oleh kekaisaran Romawi dan pada tahun 380 Kristen menjadi agama resmi negara. Sepanjang abad pertengahan pengaruh bangsa Arab di Spanyol mulai terasa. Akhir abad 12 para ilmuwan Arab berdatangan ke Italia Utara atas undangan para bangsawan. Banyak tulisan Aristoteles diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin.
B. Tokoh Filsafat dan Ajaran Filsafat pada Abad Pertengahan.
Ajaran filsafat abad pertengahan diwarnai oleh corak pemikiran dari filsafat Yunani terutama dari Plato, Aristotles, aliran dan ajaran dari Neoplatonisme dan Stoisisme. Dalam perkembangannya, para filsuf membawa corak pola pikir filsafat untuk memahami ajaran Kristen. ”tidak ada perpecahan dramatis antara Kristen dengan filsafat Yunani, sehingga banyak filsafat Yunani yang terbawa dalam ajaran Kristen[7]” Pada masa ini konsep mengenai trinitas, konsolidasi mengenai perumusan liturgi (peribadatan) dan moral. Inti pandangan pada masa ini memercayai bahwa agama Kristen adalah suatu misteri ilahi yang hanya dapat dipahami melalui iman, jika kita percaya Tuhan akan menyinari jiwa sehingga manusia mendapat pengetahuan adi alami tentang Tuhan. Pada akhirnya, perkembangan pemikiran mulai mengedepankan akal dan berakhir pada suatu pemisahan antara agama dan pengetahuan, antara keyakinan dengan pengetahuan.
B. 1. Tokoh Filsafat
Secara ringkas akan diuraikan lima tokoh penting yang masing-masing memiliki corak pemikiran yang berkembang pada empat fase di abad pertengahan.
a. St. Augustinus
Corak pemikiran Augustinus mengalami perkembangan mulai dari ajaran manicheisme, platonisme, dan neoplatonisme. Salah satu karya terkenal St. Augustinus yaitu City of God. Inti dari karya tersebut yaitu mengenai pertempuran antara kerajaan Tuhan dan kerajaan dunia untuk menguasai batin manusia. Kerajaan Tuhan diwakili oleh Gereja, kerajaan dunia diwakili oleh pemerintah kerajaan. Setelah reformasi pada abad 14 barulah timbul protes terhadap gagasan bahwa manusia hanya dapat memeroleh keselamatan melalui gereja.
Terkait dengan pengetahuan, Augustinus tidak percaya manusia mampu sampai pada pengetahuan yang tepat. Hal ini dikarenakan adanya bahaya dalam penggunaan bahasa untuk menyembunyikan atau melenyapkan kebenaran. Dengan demikian, lepaskan bahasa sehari-hari, dan belajar langsung dari Tuhan[8].
b. St. Anselmus (1033 – 1109)[9]
Anselmus mengemukakan semboyan credo ut intelligam, yang artinya aku percaya agar aku mengerti. Kepercayaan digunakan untuk mencari pengertian, filsafat sebagai alat pikiran, teologi sebagai kepercayaan. Sumbangan terpenting Anselmus yaitu suatu ajaran ketuhanan yang bersifat filsafat. Dalam menjelaskan kedatangan dan kematian Kristus Anselmus menjelaskan bahwa kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan malaikat dan manusia. Hal ini merupakan penghinaan bagi Tuhan yang patut dikenai hukuman. Untuk menyelamatkan manusia, Tuhan menjelma menjadi anakNya agar hukuman dapat ditanggung. Dengan demikian keadilan, rahmat dan kasih Tuhan telah genap dan dipenuhi.
c. Thomas Aquinas (1225 – 1274)
Bagi Aquinas, tidak ada perbedaan antara akal dan wahyu Kebenaran iman hanya dapat dicapai melalui keyakinan dan wahyu (dunia diciptakan Tuhan dalam 6 hari). Ada kebenaran teologis alamiah yang dapat ditemukan pada akal dan wahyu (sebagai jalan menemukan kebenaran), tetapi hanya ada satu kebenaran, yaitu teologi iman[10]. Pengetahuan tidak sama dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat dari indra dan diolah dari akal, tetapi akal tidak bisa mencapai realitas tertinggi. Dalil akal harus diperkuat oleh agama.
Aquinas yang pemikirannya dipengaruhi Aristoteles, melakukan pula pengristenan teori Aristoteles dalam teologi Kristen. Salah satu penyempurnaan teori Aristoteles oleh Aquinas yaiitu pandangan bahwa wanita adalah pria yang tidak sempurna. Pria dianggap aktif dan kreatif, wanita dipandang pasif dan reseptif. Bagi Aqunias pria dan wanita memiliki jiwa yang sama, hanya sebagai makhluk alamlah wanita lebih rendah, jiwanya sama[11]
d. Abelardus (1079 -
Peter Abelardus dianggap membuka kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya: intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya)[12]. Pemikiran Abelardus yang bercorak nominalismei ditentang oleh gereja karena mengritik kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman.
d. William Occam
”Aku percaya sebab mustahil”, demikian semboyan Occam sebagai suatu gambaran terhadap hubungan tidak harmonis antara kepercayaan dan pengetahuan. Pandangan dengan corak nominalis ini banyak dikritik oleh gereja karena dianggap otoritas gereja. Bagi Occam, ”bukan saja akal manusia tidak akan dapat mengerti pernyataan Tuhan, tetapi juga akal akan menyerang segala ikrar keputusan gereja dengan hebat sebab akal manusia sekali-kali tidak bisa memasuki dunia ketuhanan. Manusia hanya dapat menggantungkan kepercayaan kepada kehendak Tuhan saja yang telah dinyatakan dalam alkitab”. Dengan demikian, antara keyakinan yang bersumber terhadap agama dan pengetahuan yang bersumber pada akal harus dipisahkan. Akibat pandangan ini Occam dihukum penjara oleh Paus, namun mendapat suaka dari Raja Louis IV.
C. Perkembangan Filsafat dan Pengetahuan di Abad Pertengahan[13]
Pada abad pertengahan ini perkembangan ilmu mencapai kemajuan yang pesat karena adanya penerjemahan karya filsafat Yunani klasik ke bahasa Latin, juga penerjemahan kembali karya para filsuf Yunani oleh bangsa Arab ke bahasa Latin. Karangan para filsuf Islam menjadi sumber terpenting penerjemahan buku, baik buku keilmuan maupun filsafat. Diantara karya filsuf islam yang diterjemahkan antara lain astronomi (Al Khawarizmi), kedokteran (Ibnu Sina), karya-karya Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali.
Fokus pada pengembangan ilmu melalui sekolah menjadi perhatian dari Raja Charlemagne (Charles I) dengan pendirian sekolah-sekolah dan perekrutan guru dari Italia, Inggris dan Irlandia. Sistem pendidikan di sekolah dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama, yakni pengajaran dasar (diwajibkan bagi calon pejabat agama dan terbuka juga bagi umum). Kedua, diajarkan tujuh ilmu bebas (liberal art) yang dibagi menjadi dua bagian; a) gramatika, retorika, dan dialektika[14] (trivium), b) aritmetika, geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Tingkatan ketiga ialah pengajaran buku-buku suci.
Masa abad pertengahan adalah masa pembentukan kebudayaan Barat dengan ciri khas ajaran Masehi (filsafat skolastik) yang diwarnai oleh perkembangan peradaban Kristen. Peradaban Kristen menjadi dasar bagi kebudayaan masa modern. Peninggalan kebudayaan abad pertengahan dapat dilihat dari karya seni musik, bangunan bercorak gothik sebagai bentuk pemujaan terhadap gereja.
BAB III
PENUTUP
Abad pertengahan memiliki sebutan lain misalnya abad kegelapan, jaman skolastik atau masa patristik, yang semuanya menggambarkan corak pemikiran filsafat dan keilmuan yang dibentuk sesuai dengan perkembangan peradaban Kristen. Masa ini merupakan peletak pondasi dasar kebudayaan Barat yang melandasi kebudayaan modern pada masa berikutnya.
Abad ini ditandai dengan keruntuhan budaya Romawi dan upaya untuk kembali membangun peradaban berdasarkan ajaran filsafat Yunani dan ajaran agama Kristen. Perkembangan ilmu dan filsafat berlangsung di gereja-gereja pada awalnya, untuk kemudian mengalami perpecahan dikarenakan domininasi kuat agama terhadap berbagai aspek kehidupan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat berlangsung dengan lambat tetapi pasti sejalan dengan kontak budaya dengan budaya Islam dan semangat untuk kembali pada kejayaan peradaban Yunani. Masa ini berakhir dengan pemisahan kekuasaan dan pemikiran antara ajaran agama yang bertahan di gereja dan perkembangan keilmuan yang mendapat tempat di lembaga sekolah. Sebagai kelanjutan peradaban pada abad ini, dimulailah babak baru sejaraf filsafat, yaitu masa renaisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan. 10 Januari 2010 Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses tanggal 30 September 2010
.
Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen. Jakarta: Firdaus.
Gaarder, J. 2004. Dunia Sophie. Sebuah Novel Filsafat. Rahmani Astuti (penerjemah). Bandung: Mizan
Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
Watimena, Reza. A. A. 12 Juni 2010. Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan. Semangat Belajar.com/logika_dan_bahasa Diakses tanggal 30 September 2010
[1] Sumber lain menyebutkan Filsafat Abad Pertengahan berlangsung sejak 337 – 1500 M
[2] Dikatakan sebagai filsafat skolastik karena filsafat diajarkan di sekolah-sekolah formal milik lembaga agama.
Disebut pula sebagai filsafat patristik karena filsafat diajarkan oleh patres, yakni bapak-bapak atau guru agama Kristen
[3] Gaarder, J. Dunia Sophie. 2004. Bandung: Mizan. h. 194
[4] A. Hanafi, MA. Filsafat Skolastik. 1983. Jakarta: Pustaka Alhusna. h. 78 - 81
[5] Pada awal abad masehi penduduk Roma berjumlah lebih dari satu juta orang. Pada tahun 600, populasi penduduk di ibukota menjadi hanya 40.000 orang. Gaarder, J. Dunia Sophie. 2004. Bandung: Mizan. h. 193
[6] Ibid
[8] Watimena, Reza. A. A. 12 Juni 2010. Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan. Semangat Belajar.com. Diakses tanggal 30 September 2010
[9] Hasbullah Bakry, Di sekitar Filsafat Skolastik Kristen. 1991. Jakarta: Firdaus
[10] Jika akal buta sehingga tidak mampu melihat petir, maka wahyu dapat mendengar guntur, Jika akal tuli, maka wahyu dapat melihat kilat.
[11] Pandangan ini dapat dipahami karena telur mamalia tidak ditemukan hingga tahun 1827
[12] Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan. 10 Januari 2010 Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses tanggal 30 September 2010
[13] A. Hanafi. Filsafat Skolastik. 1983. Jakarta: Alhusna
[14] Pelajaran dialektika dianggap mewakili filsafat. Dialektika diajarkan berdasarkan karya Aristoteles
Sumber:
Makalah Bu Helma Nuraini, S.Psi
0 Komentar