Oleh: Ahmad Taufik Mubarak, M.Pd.I
Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari pendidikan menengah di jalur sekolah. Kedudukannya merupakan sub sistem dari sistem pendidikan nasional. Suatu universitas atau perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi baik pendidikan akademik untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangan maupun pendidikan profesional untuk kesiapan penerapan keahlian tertentu.[1]
Perguruan tinggi merupakan sub sistem pendidikan nasional. Fakultas beserta komponen pendidikan yang ada di dalamnya adalah subsistem perguruan tinggi. Seluruh komponen yang ada di dalamnya perlu diberdayakan untuk mengoptimalkan fungsi perguruan tinggi sebagai wahana strategis pengembangan sumber daya manusia (SDM). Berbagai tuntutan kebutuhan tenaga ahli, ilmuwan dan profesional di masyarakat menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Oleh karena itu, perhatian dan dukungan terhadap pelaksanaan berbagai kegiatan akademik di fakultas/jurusan/program studi seyogyanya tidak boleh asal jadi, terbelit rutinitas saja, rasa tanggung jawab rendah yang secara kumulatif menyebabkan kelambanan (low speed) dalam penyelesaian tugas.
Hasil kerja atau pelaksanaan tugas tidak selalu dicapai dengan efektif disebabkan berbagai faktor yang tidak dianalisis pimpinan fakultas. Hasil kerja setiap fakultas dikatakan efektif apabila terdapat keampuhan dalam pelaksanaan tugas yang dicapai baik secara kuantitaif maupun secara kualitatif. Tidak efektifnya suatu tugas dapat pula terjadi karena tidak dilaksanakan oleh tenaga profesional, tidak berpengalaman, tidak memiliki kemampuan prima, daya dukung dana dan karyawan fakultas rendah.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang perlu direspon oleh pimpinan dan personil fakultas. Kini tengah terjadi perubahan lingkungan makro dan. mikro pendidikan. Lingkungan makro merupakan aspek politik, ekonomi, sosial dan teknologi yang mempengaruhi kultur institusi pendidikan seperti halnya fakultas. Lingkungan mikro berkaitan dengan tuntutan pengharapan pelanggan dan stakeholders pendidikan. Akibatnya berbagai tuntutan muncul ke permukaan. Hal yang mengemuka adalah tuntutan terhadap peningkatan mutu, otonomi, akreditasi dan akuntabilitas.
Saat ini, untuk jalan di tempat saja, manajemen suatu organisasi harus ekstra keras mendisain perubahan organisasinya, karena begitu cepatnya perubahan eksternal itu terjadi. Apalagi bagi perguruan tinggi dan fakultas yang pimpinannya puas dengan hanya menjalankan aktivitas rutinitas saja, tanpa prestasi, track record-nya, rendah, Akibatnya, produktivitas rendah, penyelesaian masalah tidak fokus, kinerja rendah sehingga dapat membawa fakultas akan mengalami collapse (rubuh/bangkrut).
Untuk menjadi pimpinan fakultas yang secara efektif mengarahkan perubahan institusi secara lebih baik harus bekerja keras. Dijelaskan oleh Tucker dan Bryan (1991) dekan harus berjuang dalam lingkungan yang tidak kondusif setiap hari dan malam dalam napas keprofesionalan untuk memelihara program fakultas dalam arah/sasaran yang benar.[2] Mereka harus bekerja yang terbaik untuk meningkatkan program jurusan selangkah demi selangkah dan meyakinkan mahasiswa untuk terdidik secara baik. Cara seperti inilah yang memungkinkan fakultas memiliki eksistensi.
Bagaimanapun, pimpinan perguruan tinggi dituntut untuk mampu mengelola perubahan yang diinginkan civitas akademika, dan stakeholders. Peran lembaga pendidikan perlu diperkokoh untuk menentukan arah perubahan. Bukan tergilas oleh perubahan yang ada, lalu tertinggal dan diabai-kan masyarakat pelanggannya.
Perubahan lembaga pendidikan sebaiknya direncanakan oleh para Rektorat, dekan, dan Senat dengan melibatkan semua potensi organisasi universitas/institut dan fakultas. Mungkin semakin banyak yang tidak puas kalau hanya berubah apa adanya. Perbaikan bidang kurikulum, metode dan teknologi pengajaran, sarana dan parasarana, mutu dosen, mutu staf administrasi dan manajemen merupakan tuntutan globalisasi yang harus diantisipasi para pemimpin universitas/institut dan fakultas dewasa ini. Salisbury (1996) berpendapat bahwa lembaga pendidikan perlu belajar untuk tumbuh subur (thrive) dalam suatu lingkungan yang kompetitif dan peningkatan mutu berkelanjutan (total quality improvement). Kreativitas, inovasi, modernisasi dan pelayanan pelanggan (mahasiswa/pelajar dan masyarakat) menjadi kunci untuk berhasil di masa depan.[3]
Tuntutan atau pengharapan masyarakat terhadap mutu output fakultas, program studi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat semakin keras terdengar, sementara pelaksanaan program pendidikan tinggi masih dihadapkan pada keterbatasan Sumber Daya manusia (SDM) dosen dan pegawai, sumber daya material, manajemen dan kepemimpinan yang kurang ampuh.
Manajemen dan kepemimpinan yang diperlukan fakultas untuk masa depan. Perlu kepemimpinan yang dapat mengarahkan perubahan yang diharapkan oleh warga fakultas setiap perguruan tinggi.
Organisasi merupakan wadah bagi manajemen. Sebagai organisasi pendidikan, fakultas memiliki manajemen yang dijalankan pimpinannya. Manajemen fakultas merupakan proses atau upaya menggerakkan dan mengerahkan seluruh sumber daya (manusia & material) secara optimal untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien. Terry (1973) berpendapat manajemen memberikan efektivitas usaha-usaha manusia. Hal itu membantu penggunaan lebih baik peralatan, kantor, produk, pelayanan dan hubungan manusia.[4]
Dekan bertanggung jawab mengatur staf akademik, staf administratif, dosen dan pegawai bekerja secara optimal dengan mendayagunakan sarana/prasarana yang dimiliki serta potensi masyarakat demi mendukung pencapaian tujuan. Perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengkomunikasian, kepemimpinan dan pengawasan diimplementasikan dalam bidang akademik, ketenagaan, material, sarana dan prasarana, katatusahaan, kemahasiswa, dan hubungan dengan masyarakat.
Dekan sebagai pimpinan fakultas harus orang yang visioner, memiliki pandangan yang jelas ke mana arah perubahan fakultas yang diinginkan dan mampu menyampaikan visi sehingga mendorong kerjasama yang baik. Adalah naif dan jauh ketinggalan, kalau ada fakultas pada abad ke-21 sebagai komponen universitas yang tidak memiliki visi untuk mengarahkan organisasinya.
Personil fakultas mengetahui visi pimpinan fakultas kalau komunikasi miskin, konseptual kurang terarah, karena perencaaan strategiknya tidak juga muncul ke permukaan. Sementara perguruan tinggi, fakultas dan jurusan dan orang-orang di dalamnya adalah agen perubahan. Menurut Lucas and Associates (2000), dalam buku "Leading Academic Change" menjelaskan "Change is planned, resistance is predictable. Faculty are fear ful that they will lose what power they have or that their resources will be reduced".[5] Jadi setiap perubahan perlu direncanakan dan penolakan dapat diperkirakan. Maka fakultas janganlah sampai takut kehilangan kekuasaannya atau sumberdaya akan dikurangi. Justru dengan kemampuan merancang perubahan, fakultas semakin mampu memberdayakan diri untuk memperbanyak peluang dan memanfaatkan peluang bagi kemajuan fakultas.
Dalam The Daakar Frame Work for Action yang dihasilkan dari World Education Forum yang membahas Education for all Meeting our collective Commitments, dijelaskan bahwa: "The improvement of quality and equity of education is closely related to improvement in management at all levels of the education system".[6]
Perubahan organisasi mungkin terjadi melalui proses dari atas (top down) dimulai dengan manajemen puncak. Upaya ini dapat berjalan cepat dan efektif tetapi hal itu dapat diterima dengan insentif yang diterima oleh pegawai tingkat rendah dan dapat pula ditolak karena kurangnya komitmen. Perubahan dari bawah (bottom up) dapat berawal dari keseluruhan organisasi dan hal ini esensial bagi inovasi organisasi, mengadaptasi pekerjaan dan teknologi. Hal ini akan terjadi khususnya karena kekuatan dalam kreativitas keunggulan persaingan dari partisipasi. Keberhasilan organisasi mungkin dimulai dari atas dan dari bawah dengan mengalirnya proses perubahan itu.
Manajemen efektif tampil dengan kinerja tinggi (high performance). Dengan lain perkataan, manajemen berbasis kinerja (Performance-based management) mengandung makna bahwa kinerja lebih penting daripada sekedar kompetensi. Namun untuk mengejar kinerja yang baik bagi organisasi, disyaratkan adanya kompetensi baik teknikal, kompetensi hubungan manusia dan kompetensi konseptual.
a) Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain mau melakukan tindakan secara sukarela untuk mencapai tujuan. Karena itu, pemimpin yang membuat perubahan "Leader makes difference" Dekan dan Para pembantu dekan adalah pimpinan fakultas. Kepemimpinan dekan yang akan menentukan berhasil-tidaknya organisasi fakultas, efektif–tidaknya, efisien tidaknya, atau bahkan hidup-matinya fakultas dan jurusan/program studi. Perubahan fakultas banyak bersumber dari dekan, sebagai pimpinan dan kepemimpinannya. Frances Hesselbein, dalam buku The Leader of The Future menjelaskan: "It must turn aspirations into actions. Aspirations come in many forms: strategies, goals, missions, visions, foreinsight and plans. Regardless of the term, leaders treat aspirations."[7]
Ditambahkannya, bahwa tugas pemimpin tidak hanya memberikan inspirasi tetapi juga membumikannya. Mengusahakan aspirasi kedalam tindakan, menerjemahkan suatu pernyataan tentang maksud 'kedalam berbagai perilaku. pemimpin masa depan tidak hanya, menginginkan menjadi orang yang unggul dalam segala hal atau mengantisipasi perubahan nilai-nilai pelanggan melalui pengabdian pegawai. Para pemimpin memiliki tujuan dan maksud sepenuhnya menciptakan tindakan yang menyebabkan aspirasi-aspirasi diwujudkan. Karena itu, untuk masa depan manajemen dan kepemimpinan yang diperlukan adalah yang memiliki visi, kredibel dan kapabilitas. Profit seperti ini yang merupakan admired leader (pemimpin yang didambakan).
Lucas dan Associates (2000:4) berpendapat untuk menjadi efektif, dekan harus memperoleh pengetahuan dan belajar bagaimana mengembangkan keterampilan untuk kepemimpinan tim, yang menjadi pondasi bagi keberhasilan proyek perubahan atau pembangunan. Untuk memelihara stabilitas dalam merespon perubahan, dekan memerlukan suatu kesadaran peranan mereka sebagai pimpinan tim.[8]
Pemimpin masa depan disyaratkan memiliki kredibilitas dan kapabilitas sehingga dapat diterima dan mampu mengantarkan organisasi pada perubahan, peningkatan mutu dan akuntabel. Kecuali dalam organisasi fakultas diisi oleh civitas akademika atau senat yang status qou, takut perubahan yang akan terjadi. Frances Hesselbein (1996) menjelaskan: "Successful leaders of the future must be personally credible. Credible leaders have the personnel habits, values, traits and competencies to engender trust and commitment from those who take their direction" Ditambahkannya: "Successful leaders of the future must also be able to create organizational capability. Capability comes from leaders who are able to shape, structure, implement and improve organizational processes to meet business goals. Many great leaders have ability to shape organization".[9]
Kredibilitas pimpinan fakultas adalah kepercayaan yang komprehensif diberikan oleh staf akademik dan staf administratif. Sebuah perspesi Para anggota terhadap pimpinannya. Apa akibatnya jika pimpinan fakultas tidak kredibel? pimpinan yang tidak kredibel cenderung kurang dipatuhi, tidak dihargai atau tidak dihormati oleh anggota organisasi, atau staf bersikap cuek.
Kouzes dan Posner (1993:22) menjelaskan: "Credibility is the foundation of leadership" Dan kualitas kejujuran, kemampuan memberikan inspirasi, memiliki kompetensi sebagai sumber dari kredibilitas pimpinan. pimpinan yang kredibel, yaitu: "They practice what they preach; they walk they talk; their actions are consistent with their words;there is a consistency between word and deeds" Jadi kredibiliti tidak semata-mata kejujuran, tetapi keterpercayaan juga dibangun oleh kemampuan dan kemauan memberikan inspirasi kepada bawahan untuk melakukan yang terbaik bagi organisasi, disamping kompetensi konseptual, keterampilan hubungan manusia/komunikasi interpersonal dan kemampuan teknis/mengikuti iptek dalam dunia pendidikan.[10]
[1]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputut Press, 2005), h. 321.
[2]A. Tucker dan Bryan, RA. The Academic Dean: Dove, Dragon, and Diplomat, (New York: American Council on Education, 1991), h. 309.
[3]D.F. Salisbury, Five Technologies Educational Chonge, (New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs, 1999), h. 310.
[4]George. R. Terry, The Principles of Management, (Illionis: 1973), h. 11.
[5] A.F Lucas and Associates, Leading Academic Change. (San Francisco: Jossey-Bass, 2000), h. 5.
[6] Ibid, h. 41.
[7]Frances Hesselbein, The leader of The Future, (San Francisco: Jossey Bass Publishers, 1996), h. 210.
[8] Lucas dan Associates, Op Cit, h. 4.
[9] Frances Hesselbein, The Leader of The Future, (San Francisco: Jossey Bass Publishers, 1996), h. 215.
[10] J.M Kouzes dan Posner, B.Z. Credibility, (San Francaisco: Jossey-Bass Publishers, 1993), h. 22.
2 Komentar
ayo dicopas...dicopas....
BalasHapusQori: wew
BalasHapus