PENDAHULUAN
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk mengambil atau memiliki sendiri keperluan-keperluan hidup, namun tidak memberikan hak itu secara absolut.
Al-Qur’an dengan jelas mengkritik tindakan merusak, seperti merusak tanaman, binatang dan tenaga kerja, penekanan pembatasan hak milik absolute. Al-Qur’an menunjukkan pada manusia masalah penciptaan sumber-sumber ekonomi bagi Allah terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Disamping itu, Al-Qur’an juga mengakui hak milik bagi manusia atas sumber daya ekonomi. Hal ini sering disampaikan dengan prase berikut :
- Kekayaannya
- Kekayaan mereka
- Kekayaanmu
- Hak milik orang lain
- Harta anak yatim
Konsep Islam adalah membahas tentang kemajemukkan mengenai barang konsumsi dan alat-alat produksi. Hubungan hal tersebut digambarkan dengan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut beberapa ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia adalah wakil Allah di muka bumi dianjurkan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai suatu kepercayaan karena kasih saying Allah.
Keadaan seperti ini sering di ulang-ulang dalam Al-Qur’an baik secara langsung maupun tidak langsung, dan manusia dianjurkan untuk mempertanggunjawabkan atas perbuatannya dan mengelola sumber-sumber itu sebagai suatu kepercayaan.
Kepemilikan adalah suatau ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan seajuh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah. Untuk lebih jelasnya, masalah kepemilikan atau hak milik ini akan diterangkan pada bagian selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
KEPEMILIKAN
A. PENGERTIAN
Istilah milik berasal dari bahasa arab yaitu milk. Dalam kamus Al-Munjid, kata yang bersamaan artinya dengan milk (yang berakar dari kata kerja malaka) adalah malkan, milkan, malakatan, mamlakatan, mamlikatan, dan mamlukatan.
Milk secara bahasa dapat diartikan ”memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya”. (Hasbi As-Shiddieqy, 1989 : 8).
Menurut istilah, milik dapat didefinisikan “suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syariat yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang”.[1]
Sedangkan pengertian kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah. Menurut hukum dasar yang namanya harta, sah dimiliki kecuali harta-harta yang telah disiapkan untuk kepemilikan umum, misalnya wakaf dan fasilitas umum.[2]
B. SEJARAH
Al-Qur’an telah memberikan gambaran tentang asal-usul harta atau hak milik, yang pertama kali diberikan Allah kepada manusia pertama kemudian turun-temurun kepada generasai berikutnya. Dengan demikian, awal sejarah kepemilikan sama dengan awal manusia itu sendiri. Akhirnya banyak berkembang teori untuk memahami tentang asal mula terjadi kepemilikan. Selama hidup manusia tidak pernah lepas dari masalah kepemilikan. Dengan kepemilikan manusia dapat menyambung kelangsungan hidupnya.
Praktek kehidupan manusia di awal fase sejarah bersifat kelompok dalam mencari kehidupan. Manusia satu dengan yang lain memang tidak dapat lepas pada fase ini, kepemilikan pribadi berarti juga milik keluarga.
Pada awalnya, kepemilikan menyangkut kebutuhan pribadi, alat buru, dan pakaian. Kemudian bergulirlah suatu peradaban di mana mulai tampak hak milik individu sedikit demi sedikit, dan mulai pudar sistem kepemilikan kolektif. Masyarakat yang mulai peradaban ini adalah masyarakat Romawi dan Yunani yang sangat menghargai hak miliknya dengan sepenuh jiwa sebagai perlambang kebesaran warisan leluhur nenek moyangnya.
Berawal dari sinilah maka setelah muncul kepemilikan filsafat, maka falsafah Yunani yang menegaskan kebutuhan manusia akan memiliki. Kepemilikan harus ada, baik bagi individu maupun bagi masyarakat (kolektif). Aristoteles, berpendapat : pribadi yang memiliki adalah faktor utama untuk terwujudnya masyarakat ideal. Denagn memiliki, manusia bergairah untuk berkreasi. Lebih jauh, Aristoteles menentang gurunya Plato, yang berpendapat kepemilikan kolektif melibatkan anak-anak dan perempuan.[3]
Menurut Aristoteles, pendapat gurunya (Plato) dapat menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Bagi Aristoteles, kebahagiaan masyarakat tergantung pada individu-individu yang bahagia. Seseorang dalam masyarakat tanpa bahagia, jika tanpa rasa memiliki, sebab dengan hak milik manusia bergairah untuk berkarya.[4]
C. JENIS-JENIS HAK MILIK
Hak milik dalam pandangan hukum Islam dapat dibedakan kepada (HastAllah Thaib, 1992 6)
1. Milik Yang Sempurna (Milkut Tam)
Yaitu hak milik yang sempura, sebab kepemilikannya meliputi penguasaannya terhadap bendanya (zatnya) dan manfaatnya (hasilnya) benda secara keseluruhan.
2. Milik Yang Kurang Sempurna (Milkun Naqish)
Penyebutan tersebut karena kepemilikan tersebut hanya meliputi bendanya saja atau manfaatnya saja
a. Kepemilikan yang hanya menguasai bendanay saja, seperti si tuan Amat berwasiat bahwa selama hayat si tuan Rahman berhak menempati rumah yang ditinggalkan oleh si tuan Amat tersebut. Dalam hal ini si tuan Rahman hanya menguasai bendanya saja dan apabila si tuan Rahman meninggal dunia, rumah tersebut berpindah kepemilikan kepada ahli waris si tuan Amat (bukan kepada ahli waris si tuan Rahman).
b. Pemilikan yang hanya menguasai manfaat/hasil benda itu, misalnya si tuan Amat mengemukakan bahwa si tuan Rahman hanya boleh menempati atau mendiami rumah tersebut. Dengan demikian, si tuan Rahman berhak terhadap manfaatnya saja dan ia tidak boleh mengalihtangankan benda tersebut kepada orang lain, sebab hal tersebut bukan haknya (dia hanya berhak atas hasil benda bukan bendanya).[5]
Adapun yang membedakan antara tiga kategori umum dan kategori hak milik, yaitu :
1. Hak Milik Pribadi (Private Property)
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan insting-insting social yang merupakan fitrah. Diantara insting adalah insting memiliki dan menyukai harat benda yang mendorong manusia melakukan usaha, membangun dan merasa ingin kekal.
Islam mengakui dan menghormati hak milik dan mengatur tentang hak milik tersebut. Penghormatan Islam terhadap hak milik tampak jelas dalam penghormatannya terhadap harta benda yang merupakan tumpuan hak milik ini.
Penghormatan terhadap harta ini tampak sebagai berikut :
a. Syariat menganggap harta termasuk lima tujuan wajib dijaga dan dipelihara. Lima tujuan ini adalah : agama, jiwa, akal, kehormatan, harta.
b. Syariat melarang orang melanggar ketentuan atas harta ini dengan bentuk apapun dari bentuk pelanggaran.
Islam mengatur hak milik sebab ia ingin memusnahkan dua hal yang sangat berbahaya, yaitu :
a. Kedurhakaan harta dan adanya sikap berlebihan terhadap harta yang dimiliki sehingga mempengaruhi psikologis pemiliknya.
b. Kemelaratan dan pengaruh-pengaruh yang sanggup mengharuskan seseorang dan orang banyak.
Untuk menanggulangi kedua macam yang berbahaya ini, Islam mengatur diantaranya sebagai berikut :
a. Terlebih dahulu meletakkan norma-norma yang benar bagi nilai-nilai keluhuran.
b. Menetapkan bahwa kepentingan manusia hanya dalam mempertumbuhkan harta dan menedermakannya.
c. Menetapkan sumber-sumber penghasilan harta dari yang halal dan baik.
d. Mewajibkan dalam harta hak-hak yang harus disampaikan kepada selain pemiliknya (menafkahi keluarga, mengeluarkan zakat, dan sebagainya).
e. Menegakkan sistem yang teratur dalam muamalah (transaksi) sehingga manusia tidak saling menganiaya.[6]
2. Hak Milik Umum (Public Property)
Hak milik umum adalah harta yang dikhususkan untuk kepentingan umum atau kepentinagn jamaah kaum muslimin.
Hak milik ini biasanya meliputi milik-milik umum yang ada di Negara, seperti jalan-jalan, aliran-aliran sungai, dan sebagainya.
Negara Islam telah mengakui macam hak milik ini sejak awal sejarahnya dalam berbagai macam bentuk. Secara ringkas adalah dalam dua bentuk ini yang mempunyai urgensi, karena pengaruhnya atas ekonomi Negara.
a. Tanah Suaka(Ardu-Hima)
Tanah suaka adalah sebidang tanah yang diurus oleh pemerintah, yang khusus dimanfaatkan untuk kaum muslimin. Dengan demikian, tanah ini menjadi hak milik umum, dan tidak diperbolehkan baik seluruhnya atau sebagian, menjadi milik khusus.
Dalam Negara, Rasulullah SAW, dulu pernah disuakakan tanah naqi’ yang digunakan untuk tempat pengumpulan kuda-kuda kaum muslimin.
b. Tanah-Tanah Lapang Terbuka
Hal ini dapat terlihat pada zaman Rasulullah SAW, pada saat peperangan dan berakhir pada perampasan tanah milik dari kaum penentang Islam.
Para ulama masih berselisih paham tentang tanah yang dibuka secara kekerasan yang terbagi atas tiga pendapat yaitu :
1) Mazhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa tanah iniwajib dibagi (ghanimah). Mereka beralasan dengan penaklukan Rasulullah terhadap tanah khibar.
2) Mazhab Imam Malik berpendaapt bahwa tanah ini termasuk rampasan tanpa pertempuran (fa’i), sehingga wajib ditahan. Mereka beralasan dengan surat Al-Hasyr. Dan bahwa tanah itu bukan termasuk ghanimah.
3) Pendapat yang termasyhur dari Imam Ahmad dan merupakan Mazhab Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya Imam As-Tsauri dan Abu Ubaid, dan ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama,. Pendapat ini menyatakan bahwa terhadap tanah ini pemerintah harus mendahulukan kemaslahatan umat muslim, apakah akan membagi-bagikannya atau menahannya.
c. Wakaf
Wakaf berarti memberikan sumber daya milik pribadi dan mengalokasikan unutk memberikan manfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya dari proyek wakaf tersebut.[7]
D. HAK MILIK DALAM EKONOMI ISLAM
Menurut pengertian umum, hak ialah : “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”.
Hak milik dalam buku pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalamm Islam, didefinisikan sebagai berikut : “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.”
Hak milik dalam ekonomi Islam, baik hak milik khusus maupun hak milik umum, tidaklah mutlak, tetapi terikat oleh ikatan-ikatan untuk merealisasikan kepentingan orang banayk dan mencegah bahaya, yakni hal yang membuat hak milik menjadi tugas masyarakat.
Bagi orang yang mengamati nash-nash Al-Qur’an akan menemukan dasar pokok tentang harta dengan segala bentuk dan macamnya bahwa semua itu adalah milik Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini :
Artinya :
“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”. (QS.Taahaa : 6)
Artinya :
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”.(QS. An-Nur : 33)
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk menjadi khalifah. Hak menjadi khalifah Allah dalm harta disimpulkan dari pengertian hak khilafat umum yang diperuntukkan bagi manusia, sesuai dengan firman-Nya :
Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."(QS. Al-Baqarah : 30)
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dalam harta, pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil atau petugas yang bekerja pada Allah demi kebaikan seluruh masyarakat Islam.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban manusia sebagai khalifah-khalifah Allah untuk merasa terikat dengan perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah tentang harta ini serta mau menempatinya, inilah landasan syariat.
E. PEMBAGIAN HAK
Dalam pengertian umum, hak di bagi menjadi dua bagian, yaitu mal dan ghair mal.
Hak mal ialah :“sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang.”
Hak ghair mal terbagi dari dua bagian, yakni hak syakhsyi dan hak ‘aini.
Hak syakhsyi ialah :“suatu tuntutan yang ditetapkan syara’dari seseorang terhadap orang lain.”
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai berikut :
- Haq al-malikiayah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
- Haq al-intifa’ ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
- Haq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama . misalnya air.
- Haq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan.
- Haq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda.
- Haq gharar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetap atas tanah wakaf ialah :
a. Haq al-haqr, ialah hak menetap diatas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim.
b. Haq al-ijaratain, ialah hak yang diperoleh karena ada akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atas tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula. Misalnya karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar tiap tahun.
c. Haq al-qadar, ialah hak menambah bangunan yang dibangun oleh penyewa.
d. Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
- haq al-murur ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya diatas bangunan orang lain.
- Haq ta’alli ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya diatas bangunan orang lain.
- Haq al-jiwar, ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik asli dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
- Haq syafah atau haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum dan untuk diminum binatangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya.
F. SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Kepemilikan yang sah menurut islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang disahkan islam. kepemilikan menurut pandangan fiqh islam terjadi karena: (1) menjaga hak umum; (2) transaksi pemindahan hak; (3) penggantian posisi pemilikan.[8]
Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan seseorang atas sesuatu barang dapat diperoleh melalui lima sebab, yaitu:[9]
- Bekerja
a. Menghidupkan tanah mati
b. Menggali kandungan bumi
c. Berburu
d. Mudharabah
e. Musaqat
f. Ijarah
- Warisan
- Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
- Harta pemberian yang diberikan kepada rakyat
- Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun, meliputi:
a. Hubungan pribadi (hibah atau hadiah)
b. Pemilikan harta sebagai ganti rugi dari kemudharatan
c. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah
d. Luqathah (barang temuan)
e. Santunan yang diberikan kepada khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya (melaksanakan tugas pemerintahan).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan al-Hadits sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk mengambil atau memiliki sendiri keperluan-keperluan hidup, namun tidak memberikan hak itu secara absolut.
Milk secra bahasa dapat diartikan “memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.”(Hasbi As-Shiddieqy, 1989:8)
Menurut istilah, milik dapat didefinisikan. “suatu ikhtisar yang menghalangi yang lain, menurut syariat yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang.”
Hak milik dalam pandangan hukum Islam dapat dibedakan kepada (hastallah thaib,1992:6)
a. Milik yang sempurna (milkut tam)
b. Milik yang kurang sempurna (milkut naqish)
Adapun yang membedakan antara tiga kategori umum dan kategori hak milik, yaitu:
a. Hak milik pribadi (private property)
b. Hak milik umum (public property)
c. Wakaf
Menurut Taqiyuddin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan seseorang atas suatu barang dapat diperoleh melalui lima sebab, yaitu:
1. bekerja
2. warisan
3. kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4. harta pemberian negara ynag diberikan kepada rakyat
5. harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Suhrawandi K, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, BPFE-Yogyakarta Yogyakarta, 2004.
M. Faroq, An-Nabahan, Al-Iqtisod, Al-Islami, Darul Fikri.
Shabah Kan`an, Tarikhu al-Milkiyah wa Tarmajaku, Da Al Fikri, tt.
Al-Assal, Ahmad Muhammad, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, CV. Pustak Setia, Bandung, 1999.
M.Farun An-Nababan, Sistem Ekonomi Islam, pilihan setelah kegagalan system kapitalis dan sosialis, alih bahasa: Muhedi Zainuddin, UUI Press, Yogyakarta, 2000.
Taqyuddin an-Nabani, system ekonomi alternative perspektif islam, Penterjemah: Moh.Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya,1999.
[1] Lubis, Suhrawandi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 5.
[2] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2004, hlm, 1001.
[3] M. Faroq, An-Nabahan, Al-Iqtisod, Al-Islami, Darul Fikri, hlm. 37.
[4] Shabah Kan`an, Tarikhu al-Milkiyah wa Tarmajaku, Da Al Fikri, tt, hlm. 27.
[5] Lubis, Op Cit, hlm. 47-53.
[6] Al-Assal, Ahmad Muhammad, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung : CV. Pustak Setia, 1999, hlm. 47.
[7]Al-Assal, Ahmad Muhammad, Fathi Ahmad Abdul Karim, Op cit, hlm. 105.
[8] M.Farun An-Nababan, Sistem Ekonomi Islam, pilihan setelah kegagalan system kapitalis dan sosialis, alih bahasa: Muhedi Zainuddin, Yogyakarta, UUI Press, 2000
[9] Taqyuddin an-Nabani, system ekonomi alternative perspektif islam, Penterjemah: Moh.Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti,1999