ALAT BUKTI IKRAR ( PENGAKUAN )

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.

Dari jawab menjawab antara penggugat dan tergugat akhirnya akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya yang disengketakan oleh mereka: peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa.

Meskipun peristiwa atau faktanya itu disajikan oleh para pihak, hakim harus pasti akan peristiwa yang diajukan itu. Ia harus mengkonstatirnya, yang berarti bahwa ia harus mengekui kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Dan kebenaran peristiwa itu hanya dapat diperoleh melalui pembuktian. Untuk dapat menjatuhkan putusan yang adil maka hakim harus mengenal peristiwanya yang telah dibuktikan kebenarannya.

Salah satu cara untuk dapat membuktikan benar atau salah adalah dengan alat bukti berupa pengakuan ( ikrar ).

Ikrar merupakan salah satu bukti yang amat penting sekali, karena dengan ikrarlah dapat diketahui apakah si terdakwa bohong atau tidak, dipaksa atau kemauan sendiri, dan lain-lain.

B. BATASAN MASALAH

Untuk memahami isi atau pokok masalah yang kami angkat di dalam makalah ini, maka kami akan membatasi permasalahannya, yaitu hanya berkaitan dengan:

1. Arti dan dasar pengakuan ( ikrar ) sebagai alat bukti.

2. Jenis-jenis pengakuan ( ikrar ).

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk memperoleh ridha dari Allah SWT.

2. Untuk memenuhi tugas berstruktur yang diperintahkan dosen pengasuh mata kuliah peradilan Islam.

3. Supaya kita mengetahui apa itu alat bukti ikrar ( pengakuan ) serta permasalahannya.

D. METODE DAN TEKHNIK PENULISAN

Metode atau tekhnik yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan mengumpulkan buku-buku atau bahan bacaan lain baik itu di perpustakaan ataupun di luar perpustakaan yang berhubungan dengan masalah hukum acara dan alat bukti ikrar.

E. SISTEMATIKA PENYAJIAN

Dalam makalah ini terdiri atas 3 bab, yang masing-masing bab mempunyai sub bab tersendiri:

1. Bab I ( Pendahuluan ) berisi : latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, metode atau tekhnik penulisan, dan sistematika penyajian

2. Bab II ( Pembahasan ) berisi : arti dan dasar pengakuan ( ikrar ) sebagai alat bukti, jenis-jenis ikrar ( pengakuan ).

3. Bab III berisi : Analisis

4. Bab IV ( Penutup ) berisi : kesimpulan

5. Daftar Pustaka

BAB II

PEMBAHASAN

ALAT BUKTI IKRAR ( PENGAKUAN )

A. ARTI DAN DASAR PENGAKUAN SEBAGAI ALAT BUKTI

Alat bukti pengakuan dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al-iqrar dan dalam bahasa Acara Peradilan Umum disebut bekentenis ( Belanda ), confession ( Inggris ), yang artinya ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat “di muka persidangan” bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar.[1]

Yang dimaksud dengan pengakuan adalah mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang, untuk memasukkan kemungkinan apabila seseorang telah mengakui di hadapan sidang pengadilan, bahwa rumah yang dikuasai oleh si Fulan itu adalah milik orang lain, maka apabila ternyata di masa mendatang rumah tersebut dikuasai oleh pengaku tersebut di atas, maka terkenalah dirinya akibat pengakuannya sendiri.[2]

Dasar pengakuan itu adalah :

1. Al-Qur’an Al-Karim, Surah An-Nisa ayat 135:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُونُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ قلى ....[3]

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…”. ( QS. An-Nisa: 135 ).

2. Hadits Rasulullah SAW.

اَتَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنِّيْ زَنَيْتُ فَاَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنِّيْ زَنَيْتُ فَاَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَّى ذَلِكَ عَلَيْهِ اَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اَبِكَ جُنُوْنٌ ؟ قَالَ : لَا, فَقَالَ : فَهَلْ اَحْصَنْتَ ؟ نَعَمْ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذْهَبُوْابِهِ فَارْجُمُوْهُ. ( رواه البخارى و مسلم ).

Artinya :

“Sewaktu Rasulullah SAW di dalam Mesjid, telah datang seorang laki-laki muslim. Ia berseru kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah SAW berpaling daripadanya. Orang itu berputar menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah berzina. Rasulullah berpaling daripadanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan ( kesalahan )dirinya empat persaksian ( maksudnya empat kali mengaku ), Rasulullah panggil ia dan Rasulullah SAW bertanya. Apakah anda tidak gila ? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin ? Orang itu menjawab, sudah. Maka Rasulullah SAW bersabda. Bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.[4]

3. Dasar pengakuan sebagai alat bukti untuk Peradilan umum Perdata, ditemukan dalam HIR ( Herzien Indonesis Reglement ) pasal 174 – 176, RBg ( Rechtsglement Buitengewesten ), pasal 311 – 313 dan BW ( Burgerlijk Wetboek ), pasal 1923 – 1928.

B. JENIS-JENIS PENGAKUAN ( IKRAR )

1. Pengakuan di muka hakim di persidangan

Pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.[5]

Pengakuan di depan persidangan bukan hanya berlaku bagi pihak yang mengaku itu sendiri, tetapi juga berlaku bagi ahli warisnya. Misalnya, ahli waris bukan hanya berhak mendapat harta warisan, tetapi juga wajib menunaikan / membayar segala kewajiban atau utang si mayit yang belum dipenuhinya.[6]

Menurut pasal 1926 BW bahwa pengakuan di muka hakim di persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi. Dengan alasan seolah-olah orang yang melakukan pengakuan keliru tentang hal hukumnya, suatu pengaluan tidak dapat ditarik kembali ( ps. 1926 ayat 2 BW ).

2. Pengakuan di luar persidangan

Pengakuan di luar persidangan, hakim bebas untuk menilai, tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna kecuali kalau pengakuan di luar sidang dulunya itu diulangi diucapkan di depan sidang, sekalipun pengakuan di luar sidang dahulunya itu diberikan di muka orang yang kini sebagai hakim yang menyidangkan perkara.[7]

Pengakuan di luar persidangan diatur dalam pasal 175 HIR ( ps. 312 Rbg, 1927, 1928 BW ), yang mengatakan bahwa kekuatan pembuktian daripada pengakuan lisan di luar persidangan diserahkan kepada pertimbangan hakim ( ps. 1928 BW ). Sedang pasal 1927 BW menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal di mana diizinkan membuktikan dengan saksi.

Pengakuan di luar persidangan ini dapat ditarik kembali.

3. Pengakuan dengan tulisan atau bahasa isyarat

Pengakuan dengan tulisan dibenarkan, meskipun sebagian fuqaha tidak dapat menerimanya, dengan alasan bahwa tulisan-tulisan itu dapat serupa dan mungkin dapat dihapuskan.

As Syafi’i dan mazhab Maliki mengatakan: bahwa semata-mata tulisan tidak dapat dijadikan alat bukti, dengan alasan tulisan dapat dipalsukan.

Ibnu Qayim membolehkan, dengan alasan Allah SWT telah menciptakan pada tulisan masing-masing orang berbeda-beda antara tulisan yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana perbedaan bentuk yang satu dengan yang lainnya, dan memang inilah dasar pengetahuan ahli tentang tulisan dan perbedaan antara satu macam tulisan dan yang lainnya.

Dasar bolehnya pengakuan secara tertulis ini sebagaimana kita dapatkan petunjuk dari Al-Qur’an, seperti kita disuruh menuliskan dalam bidang mu’amalah yang tidak tunai, firman Allah SWT :

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اََمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ إِلَى أَجَلِ مُّسَمَّى فَاكْتُبُوْهُ ج....

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah menuliskannya…. ( QS. Al-Baqarah : 282 ).

Juga sabda Rasulullah SAW riwayat Bukhari-Muslim supaya orang yang akan berwasiat harta tidak menunda sampai lebih dari dua malam melainkan sudah siap tertulis di sisinya.

Surat-surat Rasulullah SAW kepada beberapa orang raja mengajak mereka untuk beriman, antara kepada Raja Persia, Raja Rum, Raja Najjasy ( Nigeria ), dan lain-lain, semuanya ditulis oleh juru tulis Nabi.[8]

Dan Undang-Undang Perdata menetapkan, bahwa tulisan dapat dijadikan alat bukti, seperti pasal-pasal 390 – 399 memuat tulisan sebagai alat bukti adakalanya dalam bentuk catatan-catatan otentik ( pasal 391 ), dan catatan biasa dianggap sebagai dikeluarkan oleh pihak yang memegangi, sepanjang tidak ditentang oleh pihak lawan maka diakui sebagai alat bukti dan tanda tangan dianggap sah ( pasal 394 ), dan catatan yang tidak resmi termasuk catatan biasa yang tercantum tanggal dimuatnya dan catatan-catatan khusus lainnya, demikian juga daftar-daftar perdagangan.[9]

Pengakuan orang yang bisu tidak ada larangan dengan bahasa isyarat asal jelas dimengerti. Caranya diambilkan juru penterjemah isyarat dari kawan terdekat sehari-hari dari si bisu tersebut dengan disumpah terlebih dahulu. [10]

4. Pengakuan secara diam-diam

Kebalikan dari pengakuan adalah penyangkalan. Jadi terhadap hal-hal yang dituntut oleh pihak lawan tetapi tidak tegas-tegas disangkal, pengertiannya sama dengan mengaku secara diam-diam, walaupun tidak secara mutlak begitu saja hakim memutus berdasarkan pengakuan secara diam-diam itu.

Yurisprudensi di Peradilan Umum nampaknya tidak tegas dalam hal ini. Kadang-kadang pengakuan semacam ini diterima dan kadang-kadang ditolak.[11]

Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. Dalm hal ini HR tidak selalu menunjukkan pendirian yang tetap: pada suatu ketika pengakuan secar diam-diam diterima.[12]

5. Pengakuan yang tidak boleh dipecah-pecah.

Acara Perdata Peradilan Umum mensyaratkan bahwa pengakuan tidak boleh dipecah-pecah lalu diterima sebagian dan ditolak sebagian yang lainnya. Pengakuan haruslah bersifat murni, tidak berklausula, dan tidak berkualifikasi.

Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya: penggugat menyatakan bahwa tergugat membeli rumah dari penggugat dengan harga 5 milyar, tergugat memberi jawaban bahwa ia membeli rumah penggugat dengan harga 5 milyar. Dalam hal ini tidak ada alasan bagi hakim untuk memisah-misahkan pengakuan, karena tidak ada yang perlu dipisahkan. Oleh karena itu pasal 176 HIR ( ps. 313 Rbg, 1924 BW ) tidak berlaku bagi pengakuan murni.[13]

Pengakuan yang berklausula artinya pengakuan yang disertai membebaskan. Misalnya: tergugat mengakui telah membeli rumah dari penggugat dengan harga 5 milyar tetapi harga tersebut telah dibayar lunas, hanya saja tidak memakai kuitansi. Pengakuan ini tidak merupakan alat bukti pengakuan.

Pengakuan berkualifikasi artinya pengakuan yang disertai penyangkalan dari apa yang dituntut. Misalnya: tergugat mengakui telah membeli rumah dari penggugat tetapi bukan dengan harga 5 milyar, melainkan dengan harga 3 milyar. Pengakuan ini tidak merupakan alat bukti pengakuan. [14]

BAB III

ANALISIS

Setelah kami membaca dan menghayati serta memikirkan alat bukti ikrar ( pengakuan ) ini, kami mencoba mengomentari atau menganalisa alat bukti ikrar tersebut.

Al-Qur.an telah menjelaskan di dalam surat An-Nisa ayat 135 bahwa kita disuruh untuk menjadi saksi karena Allah SWT, menjadi seorang penegak keadilan di manapun kita berada.

Agama Islam telah mengatur proses pengakuan ( ikrar ) dengan sangat rapi dan teliti sekali artinya pengakuan seseorang tidak langsung diterima atau ditolak, tetapi terlebih dahulu dianalisa atau diteliti dengan matang agar tidak terjadi kesalahan dalam memutuskan suatu perkara. Sebagai pedoman seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah pada hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, ketika Nabi sedang berada di dalam mesjid , datang seorang laki-laki yang mengaku telah berzina. Tetapi Rasulullah SAW berpaling sampai 4 kali. Artinya Rasulullah SAW tidak langsung percaya tetapi beliau berpikir dahulu, kemudian setelah 4 kali pengakuan Rasulullah SAW bertanya pada orang itu, apakah yang berzina itu gila atau tidak, orang itu menjawab tidak. Di sini jelas mengandung isyarat bahwa orang yang mengaku itu haruslah berakal, artinya dia dalam keadaan sadar, atas kehendak sendiri, tidak dalam keadaan terpaksa, pikirannya tidak terganggu, dan lain-lain. Kemudian Rasulullah SAW bertanya lagi, apakah orang yang berzina itu muhshan ( sudah kawin ) atau tidak, orang itu menjawab ya, saya sudah kawin. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh orang untuk merajamnya. Jadi pengakuan bersalah seseorang dengan yang lainnya itu berbeda-beda hukumannya sesuai dengan tingkat kesalahannya .

Dari peristiwa ini kita dapat mengambil kesimpulan atau analisis bahwa pengakuan ( ikrar ) dari seseorang itu harus terlebih dahulu disaring, diteliti, dipikirkan, dipelajari, dan lain-lain, jangan langsung mengambil keputusan. Kenapa demikian ? karena kita harus lebih dahulu menyelidiki apakah seseorang itu mengaku atas kehendak dirinya sendiri atau dipaksa atau diancam, dan lain sebagainya. Karena bisa saja orang yang benar mengaku salah oleh sebab ada salah satu kelurganya yang disandra, atau kalau dia tidak berbuat demikian ia akan dicelakakan.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

1) Pengakuan adalah mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang, untuk memasukkan kemungkinan apabila seseorang telah mengakui di hadapan sidang pengadilan, bahwa rumah yang dikuasai oleh si Fulan itu adalah milik orang lain, maka apabila ternyata di masa mendatang rumah tersebut dikuasai oleh pengaku tersebut di atas, maka terkenalah dirinya akibat pengakuannya sendiri.

2) Dasar pengakuan itu adalah :

1. Al-Qur’an Al-Karim, Surah An-Nisa ayat 135:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُونُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ قلى ....

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…”. ( QS. An-Nisa: 135 ).

2. Hadits Rasulullah SAW.

اَتَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنِّيْ زَنَيْتُ فَاَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنِّيْ زَنَيْتُ فَاَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَّى ذَلِكَ عَلَيْهِ اَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اَبِكَ جُنُوْنٌ ؟ قَالَ : لَا, فَقَالَ : فَهَلْ اَحْصَنْتَ ؟ نَعَمْ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذْهَبُوْابِهِ فَارْجُمُوْهُ. ( رواه البخارى و مسلم ).

Artinya :

“Sewaktu Rasulullah SAW di dalam Mesjid, telah datang seorang laki-laki muslim. Ia berseru kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah SAW berpaling daripadanya. Orang itu berputar menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah berzina. Rasulullah berpaling daripadanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan ( kesalahan )dirinya empat persaksian ( maksudnya empat kali mengaku ), Rasulullah panggil ia dan Rasulullah SAW bertanya. Apakah anda tidak gila ? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin ? Orang itu menjawab, sudah. Maka Rasulullah SAW bersabda. Bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.

3. Dasar pengakuan sebagai alat bukti untuk Peradilan umum Perdata, ditemukan dalam HIR ( Herzien Indonesis Reglement ) pasal 174 – 176, RBg ( Rechtsglement Buitengewesten ), pasal 311 – 313 dan BW ( Burgerlijk Wetboek ), pasal 1923 – 1928.

3) Jenis-jenis pengakuan itu adalah:

1. Pengakuan di muka hakim di persidangan

2. Pengakuan di luar persidangan

3. Pengakuan dengan tulisan atau bahasa isyarat

4. Pengakuan secara diam-diam

5. Pengakuan yang tidak boleh dipecah-pecah

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an Al Karim.

2. As San’any, Subulus Salam, Dahlan, Bandung, tt., jilid IV,.

3. As Sayuty, Jalal ad Din, 1951, Muwata Al Imam Malik Jilid II, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir.

4. HR 29 Jan. 1886, W 5268; 7 Nop. 1982, W 6273; Asser-Anema-Verdam, Mr. C. asser’s Handleiding tot

5. HIR, pasal 174; RBg, pasal 311; BW, pasal 1925 dan 1927.

6. Ibnu Rusyd, 1960, Bidayah Al Mujtahid Jilid II, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir.

7. Madkur, Muhammad Salam, 1993, Peradilan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

8. Natsir, Muhammad, 1969, Fiqhud Da’wa, Kiblat, Jakarta.

9. Rasyid, H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Dr., 2002, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

10. Sudikno Mertokusumo S.H, Prof. Dr., 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.



[1] Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 170.

[2] Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993, hal. 100.

[3] Al-Qur’an Al Karim, Surah An-Nisa ayat 135.

[4] As San’any, Subulus Salam, Dahlan, Bandung, tt., jilid IV,. Hal. 6. Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid Jilid II, Mustafa Al Baby Al halaby, Mesir, 1960., hal. 438. Jala ad Din As Sayuty, Muwata Al Imam Malik Jilid II, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir, 1951, hal. 166 – 167.

[5] HR 29 Jan. 1886, W 5268; 7 Nop. 1982, W 6273; Asser-Anema-Verdam, Mr. C. asser’s Handleiding tot

[6] Dr. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A, Op. Cit, hal. 173.

[7] HIR, pasal 174; RBg, pasal 311; BW, pasal 1925 dan 1927. yang sejalan saja dengan Peradilan Islam.

[8] M. Natsir, Fiqhud Da’wa, Kiblat, Jakarta, 1969, hal. 278 – 285.

[9] Muhammad Salam Madkur, Op. Cit, hal. 101 – 103.

[10] Dr. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A, Op. Cit, hal. 174.

[11] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 142.

[12] HR 29 Jan. 1886, W 5268; 7 Nop. 1982, W 6273; Asser-Anema-Verdam, Mr. C. asser’s Handleiding tot

[13] Ibid, hal. 176.

[14] Dr. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A, Op. Cit, hal. 175.

Posting Komentar

0 Komentar