PENDAHULUAN
Dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai-partai Islam di Indonesia ada dua alasan penting mengapa studi ini dilakukan. Pertama, sekalipun mayoritas rakyat Indonesia memeluk Islam, secara serius atau sebaliknya, posisi politik Islam selama periode yang dikaji ini relative lemah. Partai-partai Islam pada waktu itu merupakan kelompok politik minoritas dan lembaga-lembaga kenegaraan. Sebagai kelompok minoritas, mereka hanya melakukan peran pinggiran dalam memberi corak Islam pada perkembangan politik Indonesia . Peranan politik sentral selama periode itu berada di tangan Presiden Soekarno dengan bantuan pihak komunis, dan di tangan tentara khususnya Angkatan Darat, dengan Jenderal A.H. Nasution dan kawan-kawan sebagai tokoh utama.
Sebagai konsekuensi logis dari posisi politik yang lemah, partai-partai Islam tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan system dan tata politik yang baru diciptakan. Langkah ini ditempuh terutama agar tetap dapat hidupdi bawah sistem politik yang otoriter. Demokrasi Terpimpin Soekarno memang tidak memberi peluanguntuk perbedaan pendapat dalam menghadapi isu-isu politik penting. Politik harus berada di bawah satu komando.
Pendekatan akomodatif partai-partai Islam terhadap sistem politik Demokrasi terpimpin ditafsirkan oleh sebagian pemimpin muslim sebagai penyimpangan dari prinsip-prinsip perjuangan dalam Islam. Tapi pemimpin muslim yang turut dalam sistem tersebut berpendapat bahwa partisipasi mereka bila dilihat dari sisi pandangan politik, hanyalah suatu sikap realistis dan pragmatis dalam menghadapi sistem otoriter.
Perbedaan sisi pandang para pemimpin muslim dan perjuangan partai-partai Islam lewat sistem politik yang baru itu jelas merupakan tema yang penting untuk dikaji lebih jauh, khususnya bila ditempatkan dalam persepektif Islam dalam kaitannya dengan politik praktis sesudah periode itu, yaitu Orde Baru sebagai antitesis Orde Lama.
Kedua, alasan mengkaji masalah ini, ialah karena sepanjang pengetahuan penulis belum ada kajian khusus yang dilakukan dengan topik Islam dalam kaitannya dengan politik praktis selama periode Demokrasi Terpimpin. Kajian-kajian yang dilakukan selama periode itu lebih ditekankan pada corak hubungan antara soekarno dengan militer atau komunis, bukan pada tingkah laku politik partai-partai Islam. Hal ini mungkin disebabkan kenyataannya bahwa partai-partai Islam dinilai sebagai partisipan yang kurang menentukan dalam permainan politik selama periode itu. B.J. Boland, sarjana dan teolog Belanda, memang telah mencoba mendiskusikan situasi politik Islam pada periode ini, tapi pada hemat saya pembicaraan lebih bercorak deskriptif ketimbang analisis kritis terhadap tingkah laku dan posisi partai-partai Islam. Dengan demikian, kajian ini barangkali merupakan usaha pertama terhadap topik yang saya pilih ini.
Secara resmi, periode Demokrasi Terpimpin bermula dengan dikeluarkannya Dikret Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dikret itu menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950 yang dinyatakan telah habis masa berlakunya. Juga melalui dikret itu, Majelis Konstituante yang dibentuk pada 1956 dinyatakan bubar karena dinilai tidak mampu merampungkan tugas, terutama dalam menetapkan dasar Pancasila atau pun Islam.
BAB II
I S I
Dengan segala keterbatasannya, umat Islam Indonesia pada tahun-tahun sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mencoba merumuskan corak masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan dalam rangka mengisi kemerdekaan nasional yang telah dibayar dengan harga sangat mahal. Dalam kaitan dengan masyarakat Islam Indonesia , konsep umat Islam selalu dihubungkan dengan pelaksanaan syari'at dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif mereka. Oleh sebab itu, konsep tentang umat dan syari'at perlu kita bicarakan lebih dahulu.
Konsep umat menggambarkan suatu masyarakat beriman yang bercorak universal. Setiap muslim yang sadar, merasakan benar bahwa ia adalah anggota umat. Indetitasnya sebagai muslim banyak ditentukan oleh keterkaitannya dengan spiritualnya dengan persaudaraan universal itu. Secara teori, umat percaya bahwa ajaran Islam meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain, apa yang disebut secular, di mata seorang muslim, tidak dapat dilepaskan dari persolan imanannya. Dari sudut pandang ini, cita-cita kekuasaan (politik) muslim. Politik, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu. Bahkan kekuasaan politik merupakan kendaraan untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu.
Bila konsep teoritis di atas diturunkan ke dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, kita akan dihadapkan pada dua fenomena sosiologis yang tidak saja berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan. Umat yang menjadi pendukung partai dan organisasi dengan label Islam atau dengan label lain yang menunjuk kepada makna yang sama, menerima konsep teoritis tentang umat dan ajaran Islam secara penuh. Fenomena lain, kelompok umat Islam Indonesia – mungkin karena pengaruh cita-cita politik Barat secular – berpandangan bahwa kegiatan politik adalah semata-mata kegiatan diniawi, sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan dengan masalah politik.
Konsep umat hampir selalu dikaitkan dengan pelaksanaan ajaran syari'at, yakni ajaran yang – sebagaimana didefinisikan oleh sarjana-sarjana muslim – mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak satu pun dimensi kegiatan manusia yang lepas dari tilikan syari'at. Dalam definisi ini, syari'at adalah agama itu sendiri. Menurut mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam; "Aqidah wa Syari'ah, syari'at adalah "sistem-sistem atau prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan agar manusia punya genggaman kokoh dalam hubungannya dengan Tuhan, saudaranya sesame muslim, manusia lain, alam semesta, dan kehidupan. Definisi Syaltut ini sebenarnya lebih dekat kepada hakikat agama. Jadi tidak hanya dibatasi pada pengertian hukum.
Pemimpin-pemimpin dan pemikir-pemikir muslim dalam sejarah kontemporer Indonesia tampaknya mempunyai persepsi dan pengertian yang sama tentang syari'at. Karena itu sebagai muara logis persepsi ini, mereka berpandangan bahwa tanpa kekuasaan politik, tidak mungkin sistem hukum Islam dapat berfungsi secara wajar dalam suatu masyarakat muslim.
Sekalipun proses Islamisasi dalam arti kualitatif terus menampakkan gerak laju di permukaan sejarah Indonesia modern, di bawah arus sebenarnya terdapat masalah penting yang belum kunjung terpecahkan. Masalah itu adalah, posisi syari'at dalam masyarakat dan sistem politik. Al-Qur'an sebagai sumber utama syari'at telah memberikan petunjuk kepada umat Islam dalam kehidupan fananya. Tetapi, petunjuk itu dalam banyak kasus hanya bersifat garis besar. Karena itu, menjadi kewajiban sarjana dan ulama untuk merumuskan secara kreatif petunjuk Al-Qur'an sesuai dengan realitas social-kultural dan histories umat untuk menghadapi masa dan ruang tertentu. Hal itu dimaksudkan agar tujuan syari'at – yakni terciptanya tata sosio-politik yang ditegakkan di atas fondasi moral yang kokoh – dapat tercapai demi kebaikan manusia sendiri.
Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak kesatuan dalam bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia .
Didorong oleh kesadaran perlu diciptakan suasan hubungan yang baik antara partai-partai dan organisasi-organisasi Islam, maka KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH Abdul Wahab Chasbullah (NU), dan KH Achmad Dahlan (nonpartai) berhasil mendirikan MIAI di Surabaya pada 21 September 1937. Ada dua alasan pokok mengapa MIAI dipandang urgen untuk didirikan.
1. Usaha-usaha politik Islam pada waktu itu masih belum mantap seperti yang diharapkan.
2. Landasan spiritual dari seluruh bentuk persatuan umat, panggilan Al-Qur'an dalam Ali Imaran: 103 yang mendesak agar umat Islam jangan bertikai
Tujuan lain adalah untuk saling mengenal lahir batin antara ulama dan pemimpin Islam Indonesia . Mendirikan MIAI dapat dikategorikan sebagai ulama yang mempunayi kepekaan nurani sekalipun fokus perhatian mereka masih berkisar pada masalah-masalah fiqih yang dipandang sebagai penyebab perpecahan umat.
Dalam masalah fiqih (yurisprudensi Islam), memang tidak mungkin dicapai kata sepakat yang bulat. Ini adalah masalah khilafiah yang sudah muncul sejak zaman klasik, dan tampaknya akan tersu muncul pada masa-masa yang akan dating. Tapi dalam pengalaman empiris kita, justru masalah khilafiah inilah yang mengundang perselisihan yang membawa rusaknya persaudaraan umat, tidak terkecuali umat Islam Indonesia .
Dalam sejarah islam Indonesia kontemporer, fenomena ini sekaligus dapat ditafsirkan sebagai kurang dewasanya kita sebagai umat dalam memahami agama yang memerintahkan tegaknya persaudaraan Islam yang mantap. Dengan MIAI, diharapkan penyakit perpecahan umat dapat disembuhkan.
Pada Maret 1942 kekuasaan kolonial Belanda terusir dari Indonesia oleh pasukan Jepang. Pihak Jepang berusaha membujuk pemimpin-pemimpin umat untuk bekerjasama dengannya. Maksudnya ialah untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam dukungan terhadap tujuan-tujuan perang yang langsung dan mendesak. Jepang membiarkan MIAI terus hidup untuk sementara, karena sangat memerlukan sokongan umat.
Manfaat lain pendudkan Jepang bagi umat Islam ialah terbukanya kesempatan membentuk lasykar Hizbullah pada akhir 1944. hizbullah adalah semacam kesatuan militer bagi pemuda-pemuda muslim. Lewat Hizbullah, para pemuda dilatih militer secara teratur. Hizbullah semula berasal darim lingkungan pesantren NU, kemudian menjadi milik umat secara keseluruhan. Di samping Hizbullah dibentuk pula barisan sabilillah; pasukan militer bagi ulama. Sabilillah merupakan induk atau pengayom Hizbullah.
Lewat Hizbullah dan Sabilillah umat Islam di bawah para pemimpin mereka mulai belajar berurusan dengan senjata-senjata modern yang pada saatnya sangat berguna dalam memperjuangkan mempertahankan kemerdekaan.
Wahid Hasjim melihat tiga tipe pemimpin dengan kelompoknya masing-masing mempunyai strategi yang berbeda, bila bukan bertentangan, dalam usaha mencapai kemerdekaan yang sudah di ambang pintu.
1. kaum nasionalis oportunitis yang menyertai Jawa Hokokai dan berusaha mendapatkan kemerdekaan lewat Tokyo .
2. Pemuda Indonesia yang memilih caranya sendiri untuk mencapai kemerdekaan, dan bila perlumerebutnya dengan kekerasan dari pihak Jepang.
3. Kaum nasionalis muslim dan Masyumi yang terdiri dari dua subkelompok :
a. Golongan Islam yang bersikap moderat terhadap Jepang dan memandang Tokyo sebagai tuan yang akan memberikan kemerdekaan.
b. Pemuda Islam noinakademis yang juga menginginkan kemerdekaan atas dasar usaha sendiri.
Peristiwa penting yang terjadi pada 18 Agustus ialah bersidangnya PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) yang bertujuan menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. UUD dasar yang ditetapkan adalah UUD 1945, tapi embrionya berasal dari pembukaan dan batang tubuh UUD yang telah dirancang jauh sebelumnya, termasuk di dalamnya piagam Jakarta .
Dalam proses menetapkan UUD, terjadilah peristiwa pencoretan anak kalimat pengiring sila Ketuhanan, baik dalm pembukaan UUD maupun pasal 29 ayat 1. istialh-istilah islam yang semula dicantumkan pada pasal UUD juga dihapuskan.
Wahana perjuangan politik Islam
Bila selama ini kesatuan gerak politik dikalangan organisasi dan partai-partai Islam dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat mendapatkan barisan dalam satu partai politik, partai itu adalah Masyumi.. masyumi berdiri pada 7 – 8 Nopember 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam.
Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai baru ini adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI, tapi kali ini mengkhususkan perjuangan dibidang politik dalam rangkla menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU hamper semua organisasi Islam local maupun nasional – kecuali Perti mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.
Partai baru ini dalam tempo singkat telah muncul sebagai partai yang sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia . Ulama dan para pemimpin politik Islam dari seluruh tanah air segera bergabung dengan partai ini.
Masyumi telah merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hokum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan Negara RI menuju keridhaan Ilahi. Dengan rumusan tujuan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokratis ingin menciptakan Indonesia yang bercorak Islam, tapi dengan mmemberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing.
Selama 4 tahun lebih Masyumi bersama golongan lain memusatkan perhatian pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang masih dirongrong keinginan Belanda untuk meneruskan penjajahan kembali. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan baru berakhir pada Desember 1949, setelah perjanjian KMB (Konfrensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda. Bagi umat Islam perjuangan itu merupakan jihad di jalan Allah. Masyumi dalam periode yang sangat kritis itu tetap mempertahankan kemurnian cita-cita kemerdekaan.
Secara umum dapat dikatakan perilaku politik Masyumi selama periode kritis itu hampir-hampir tanpa cacat. Pemihakannya kepada martabat Republik begitu jelas, konsisten dan penuh perhitungan.
Dalam konteks perjalanan sejarah Islam Indonesia , para pemimpin dari berbagai subgolongan umat telah berusaha melakukan terobosan-terobosan untuk mengatasi dan melawan sengketa tersebut, misalnya dengan membentuk MIAI dan Masyumi. Tapi hasilnya – seperti yang telah dan akan kita lihat – belum sesuai dengan kehendak agama. Fakta menunjukkan sengketa itu pada mulanya berasal dari sengketa pemimpin yang juga sekaligus penganjur persatuan umat. Dengan kata lain, agama telah dipakai untuk tujuan-tujuan yang pragmatis berjangka pendek, hingga tujuan jangka panjang.
Pada awal demokrasi Parlementer
Pada 29 September 1955 Pemilhan umum dengan asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) diselenggarakan dalam iklim yang sepenuhnya demokratis. Pemilu 1955 dilaksanakan sebagai realisasi sistem demokrasi yang dianut Indonesia . Bila dilihat dari konsep aliran pemilu ini tidak memberikan suara mayoritas mutlak kepada salah satu dari 3 aliran politik utama itu. Aliran Islam hanya mampu meraih suara 45,2 % (116 dari 257 kursi dalam DPR hasil pemilu); aliran nasionalis 27,6 % ( 71 dari 257 kursi); dan aliran sosialis kiri (komunis) 15,2 % (39 dari 257 kursi); selebuhnya dibagi antar partai-partai kecilaliran nasionalis atau sosialis/Marxist.
Dari data di atas, terlihat bahwa pemilu 1955 telah melahirkan 4 partai besar dengan perimbangan kekuatan dalam DPR sebagai berikut: PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (49 kursi).
Setelajh Kabinet Ali-Roem-Idham lenyap dari peredaran, dalam Majelis Konstituante masih berlangsung perdebatan sengit, khususnya tentang dasar Negara.
Majelis Konstituante setelah berhasil merampungkan 90 % tugas konstitusionalnya akhirnya terpaksa menempuh jalan pintas. Yaitu dibubarkan lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan memasuki pertengahan 1959, kita sebenarnya telah menginjak era Demokrasi Terpimpin ciptaan Soekarno. Melaui dekrit, pancasila sebagai dasar Negara telah dikukuhkan dengan "mengorbankan" dasar Islam, tapi cita-cita untuk melaksanakan ajaran Islam dalam Negara Pancasila tidaklah tertutup. Yang tidak dibenarkan adalah menempatkan Islam sebagai dasar Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Syaltut, Aqidah Wa Syari'ah,
0 Komentar