PENDAHULUAN
Tema "Islam Politik" dipakai untuk membedakan dengan tema "Islam Idiologis" atau "Islam Kultural". Islam politik menunjuk pada satu komunitas atau paradigma di kalangan Islam yang memandang bahwa yang diperlukan bukanlah membangun negara Islam (Islamic State), melainkan memperjuangkan semacam masyarakat Islam (Islamic Society) yang didirikan oleh representasi politik kalangan Islam yang tinggi serta mengacunya berbagai kebijakan negara pada kepentingan-kepentingan kalangan Islam. Sementara itu Islam Idiologis manunjuk pada satu komunitas atau paradigma di kalangan Islam yang memandang bahwa membangun masyarakat Islam saja tidak cukup, yang mesti dibangun adalah pembentukan negara Islam yang memungkinkan tidak saja terjadinya representasi dan akomodasi kalangan Islam dalam negara, melainkan juga tegaknya ideologi Islam beserta perangkat-perangkat sosiologi-ekonomi-politiknya. Sementara Islam Kultural menunjuk pada satu komunitas atau paradigma di kalangan Islam yang menargetkan sekedar tercapainya akomodasi Kultural dalam pemerintahan atau politik, mereka memandang sudah terwakilnya simbol-simbol Islam sebagai pencapaian yang memadai dari perjuangan politik kalangan Islam.[1]
BAB I I
Islam dan Politik
Saya merasa wajib mengumumkan secara terus terang bahwa Islam yang sebenarnya – sebagaimana yang disyari'atkan allah – tidak mungkin tidak politis. Jika anda hendak melucuti dan menelenjangi Islam dan politik, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Hal itu hanya dapat anda lakukan terhadap agama lain, mungkin Budha, Nasrani, atau yang lainnya.[2]
Hal ini dikarenakan 2 alasan yang mendasar :
1. Bahwa Islam memiliki sikap yang jelas dan hukum yang terang mengenai berbagai masalah yang dianggap sebagai pilar politik.
Dengan demikian, Islam bukanlah melulu akidah teologis atau syi'ar-syi'ar peribadatan, ia bukan semata-mata agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara.[3]
Tidak, tidak demikian – Islam adalah akidah dan ibadah, akhlak dan syari'at yang lengkap. Dengan kata lain, Islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan, karena ia telah meletakkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah, tasyri' dan pengarahan-pengarahan yang berhubungan dengan kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan, dan hubungan internasional.
Barangsiapa yang membaca Al Qur'anul Karim dan sunnah Muthahharah serta kitab-kitab fiqih dan berbagai mazhabnya, niscaya ia akan menjumpai hal ini dengan sejelas-jelasnya.
Bahkan bagian ibadah dalam fiqih itu pun tidak lepas dari politik. Kaum muslim telah sepakat bahwa meninggalkan shalat, enggan membayar zakat, terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, dan tidak mau menunaikan haji, semua itu mengharuskan yang ebrsangkutan dijatuhi hukuman dan ta'zir, bahkan kadang-kadang perlu diperangi jika ada kelompok yang memiliki kekuatan yang mendukungnya, seperti yang dilakukan Abu bakar ra terhadap orang-orang yang enggan membayar zakat. Bahkan kaum muslim mengatakan bahwa penduduk suatu negeri apabila meninggalkan sebagian Sunnah yang merupakan syi'ar Islam seperti azan, khitan bagi laki-laki, atau shalat 'Id, maka mereka wajib diseru untuk menunaikannya dan dikemukakan hujjah terhadap mereka jika mereka masih terus membandel. Mereka wajib diperangi sehingga mereka kembali kepada jamaah yang mereka tinggalkan.
Islam memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan pengarahan-pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan, dans egala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau Islam dianggap nihil dan pasif, bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayanai.
Bahkan Islam tidak menerima apabila sistem kehidupan dibagi antara dia dengan tuan yang lain, yang bersama-sama dia membagi pengarahan atau perundang-undangan. Islam juga tidak rela terhadap perkataan yang dinisbatkan kepada Almasih as.., "Berikanlah kepada kaisar apa yang untuk kaisar dan kepada Allah apa yang untuk Allah." Sebab menurut falsafah Islam, kaisar dan apa yang untuk kaisar itu hanyalah kepunyaan Allah Yang Maha Esa Dzat yang memiliki makhluk yang ada di langit dan makhluk yang ada di bumi, baik kepemilikan maupun kekuasaan.
2. Bahwa keperibadian Muslim – sebagaimana yang dibentuk Islam dan diciptakan oleh akidah, syari'at, ibadah, dan pendididkannya – tidak mungkin kosong dari muatan politik, kecuali jika pemahamannya yang buruk terhadap Islam atau penerapannya yang keliru. [4]
Islam telah meletakkan kewajiban dipundak setiap muslim yang disebut amar bil ma'ruf dan nahyu 'anil munkar, yang kadang-kadang diungkapkan dengan istilah: "Memberi nasehat kepada para pemimpin kaum muslim dan kepada kaum muslim secara umum'. Yang di dalam suatu hadits sahih diistilahkan sebagai agama secara keseluruhan. Kadang-kadang juga diistilahkan dengan "at-Tawashi bil-haq wat-twashi bish-shabr" (saling berpesan dengan kebenaran dan saling berpesan dengan kesabaran), yang merupakan syarat pokok keselamatan dan kerugian dunia dan akhirat sebagaimana dijelaskan oleh surat al-Ashr.
Selain itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada manusia muslim untuk memerangi kerusakan di dalam tubuh umat Islam, dan hal ini dianggap sebagai jihad yang lebih utama daripada perang terhadap orang luar, maka ketika ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau menjawab :
افضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
"Jihad yang paling utama ialah mengucapkan perkataan yang benar terhadap penguasa yang zalim.
BAB III
Apakah Politik itu Buruk ?
Siyasah (politik) – dilihat secara teoritis – merupakan ilmu yang penting dan memiliki kedudukan tersendiri. Sedangkan dilihat dari segi praktis merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat, karena ia berhubungan dengan pengorganisasian urusan makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Imam Ibnu Qayyim mengutip perkataan Imam Abu wafa' ibn 'aqil al-Hambali bahwa siyasah merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat pada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara'.
Ibnu qayyim mengatakan, "Sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara', bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal ini kami menyebutkan dengan "politik" (siyasah) karena mengikuti istilah anda. Padahal, sebenarnya di adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya.[5]
Ulama-ulama kita terdahulu mengagungkan nilai politik dan keutamannya sehingga Imam Ghazali mengatakan. "Sesungguhnya dunia itu merupakan ladang untuk akhirat, dan tidaklah sempurna agama tanpa dunia. Kekuasaan dan agama merupakan saudara kembar; agama sebagai fondasi dan kekuasaan sebagai penjaga. Sesuatu yang tidak ada fondasinya akan runtuh, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan lenyap.[6]
Sementara itu, para ulama menta'rifkan imamah dan khilafah (kekhalifahan) sebagai penggantian umum terhadap pemilik syari'at yakni Rasulullah SAW – untuk memelihara atau menjaga agama dan menyiasati dunia.[7] Maka khilafah adalah pemeliharaan dan siasat (politik).
Nabi SAW adalah seorang politikus di samping sebagai mubalig, mu'allim (pengajar), dan hakim. Demikian pula khalifah-khalifah beliau yang lurus dan mendapat petunjuk sepeninggal beliau adalah politikus-politikus yang mengikuti manhaj dan sistem Rasul. Mereka memmimpin umat dengan adil dan ihsan, dan membimbing mereka dengan ilmu dan iman.
Namun, orang-orang pada zaman kita dan dikawasan kita khususnya, karena seringkali mereka bergelut dengan politik, baik politik penjajahan maupun politik penguasa yang khianat dan zalim, maka mereka membenci politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Lebih-lebih setelah filsafat Machiavella (yang memperbolehkan segala cara untuk mencapai tujuan; pen) mendominasi politik dan mengarahkannya, sehingga diriwayatkan dari Syekh Muhammad Abduh – setelah merasakan tipu daya politik dan permaianannya – beliau mengucapkan perkataannya yang terkenal. "Aku berlindung kepada allah dari politik, dari orang yang sudah, sedang, serta akan berpolitik, dan dari menjadi politikus."
Karena itu musuh-musuh fikrah dan harakah Islam memanfaatkan ketidak pedulian orang terhadap politik ini untuk menyifati Islam yang komprehensif dan sempurna – yang dikumandangkan orang-orang islam sekarang ini – sebagai "Islam Politik".
Demikian pula, kini orang telah terbiasa menyifati segala sesuatu yang membedakan antara orang muslim yang konsisten dan yang opurtunitis sebagai "politikus". Padahal yang demikian merupakan penghinaan terhadap Islam dan untuk menjauhkan orang dari Islam.
Beberapa wanita muslimah yang berjilbab di suatu negara Arab kawasan Barat pernah datang kepada seseorang yang terpandang dalam masalah agama dan politik. Mereka mengadu kepadanya bahwa beberapa fakultas mensyaratkan untuk melepaskan hijab (busana muslimah) mereka untuk dapat diterima di fakultas tersebut. Mereka meminta bantuan kepada orang tersebut agar dapat membebaskan mereka dari persyaratan membuka kepala dan berpakaian mini, yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi betapa terkejut pelajar-pelajar muslimah yang komitmen dan konsisten pada agama ini ketika orang yang mereka pintai ini mengatakan, "Sesungguhnya apa yang kalian pakai ini bukan semata-mata hijab (penutup aurat), tetapi ia merupakan pakaian politis."
BAB IV
Isu Islam Dan Politik
Kita tolak istilah ini karena merupakan pelaksanaan program yang dirancang musuh-musuh Islam, untuk memecah-mecah dan membagi-bagi Islam menjadi beberpa bagian yang berbeda-beda, sehingga ia bukan lagi islam yang utuh sebagaimana yang diturunkan allah dans ebagai agama yang dianut oleh kaum muslim. Ia hanylah islam parsial yang beraneka ragam dan berbeda-beda sebagaimana yang mereka sukai.
Adakalanya mereka membagi islam secara teritorial atau secara geografis, sehingga da Islam Asia, Islam Afrika dan sebagainya. Kadang-kadang mereka juga membagi Islam menurut zaman atau masa sehingga ada Islam Nabawi, islam rasyidi, islam Umawi, Islam abbasi, Islam Utsmani, dan Islam masa kini. Adakalanya mereka bagi menurut kebangsaan sehingga ada Islam Arabi, Islam Hindi (India ), Islam Turki, Islam Malaysia , dan sebagainya. Bahkan terkadang mereka bagi juga menurut mazhab sehingga ada Islam Sunni dan Islam Syi'i. kemudian Islam Sunni mereka bagi lagi menjadi beberapa macam, demikian pula dengan Islam Syi'i.
Lalu mereka tambah lagi dengan bentuk pembagian yang lebih baru sehingga muncul istilah Islam revolusioner, Islam konservatif, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam klasik, Islam kanan, Islam kiri, Islam yang kaku, dan Islam yang fleksibel.
Pada akhirnya, ada Islam politik, Islam rohani (spiritual), Islam temporal, dan islam teologis. Kita tidak tahu pembagian Islam macam apa lagi yang akan mereka lontarkan kepada kita pada masa mendatang.
Sebenarnya seluruh pembagian ini tertolak menurut pandangan Islam. Di dunia Islam hanya ada satu, tidak bersekutu tidak mengakui yang lain, yaitu islam sejak pertama kali, Islamnya Al-Qur'an dan As-Sunnah (yakni Islam yang menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah). Islam menurut pemahaman generasi umat yang paling utama dan sebaik-baik angkatan dari kalangan sahabat dan o5rang-orang yang mengikuti mereka dengan baik yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya.
Inilah Islam yang sebenarnya, sebelum dicoreng tangan-tangan hitam, dan sebelum kejernihannya dikotori oleh kebohongan-kebohongan agama lain dan ekstremis berbagai aliran, sebelum dinodai igauan para filsuf dan bid'ah-bid'ah firqah, hawa nafsu kaum pembantah dan pemikiran ahli kebatilan, kepercayaan kaum ekstremis dan pemutarbalikkan tukang-tukang takwil yang dungu.
PENUTUP
KESIMPULAN
1) Islam politik menunjuk pada satu komunitas atau paradigma di kalangan Islam yang memandang bahwa yang diperlukan bukanlah membangun negara Islam (Islamic State), melainkan memperjuangkan semacam masyarakat Islam (Islamic Society) yang didirikan oleh representasi politik kalangan Islam yang tinggi.
2) siyasah merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat pada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara
3) Bahwa Islam memiliki sikap yang jelas dan hukum yang terang mengenai berbagai masalah yang dianggap sebagai pilar politik.
4) Sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara', bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya.
5) Di dunia Islam hanya ada satu, tidak bersekutu tidak mengakui yang lain, yaitu islam sejak pertama kali, Islamnya Al-Qur'an dan As-Sunnah (yakni Islam yang menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah).
DAFTAR PUSTAKA
-Abbu Zahra, Politik demi Tuhan "Nasionalisme Religius Di Indonesia, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999.
-DR. Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
-Ath Thuruq hukmiyyah fis Siyasaasi Syar'iyyah, karya Ibnul Qayyim, terbitan as-Sunnah al-Muhammadiyah.
-Ihya Ulumuddin, terbitan Darul Ma'rifah, Beirut .
-An-Nazhariyatus Siyasiiyah al-Islamiyyah, Dr. Dhiyauddin ar-
[1] Abbu Zahra, Politik demi Tuhan "Nasionalisme Religius Di Indonesia, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999.
[3] Ibid
[4] Ibid, hlm. 899
[5] Ath Thuruq hukmiyyah fis Siyasaasi Syar'iyyah, karya Ibnul Qayyim, hlm 13 – 15, terbitan as-Sunnah al-Muhammadiyah.
[6] Ihya Ulumuddin, juz I hlm. 17 "Bab al-Ilm al-Ladzi Huwa fardhu kifayah, terbitan Darul Ma'rifah, Beirut .
[7] An-Nazhariyatus Siyasiiyah al-Islamiyyah, Dr. Dhiyauddin ar-Rais hlm. 125, cetakan keenam.
0 Komentar