BAB I
PENDAHULUAN
Pergaulan bebas pemuda pemudi seperti yang terjadi zaman sekarang, sering membawa kepada hal-hal yang tidak kita kehendaki, yaitu terjadinya hamil di luar nikah. Banyak mass media yang meliput hal seperti ini, yang sangat menarik untuk kita telaah bersama sebagai bahan intropeksi diri agar kita tidak terjerumus kepada hal-hal yang demikian.
Apalagi dengan banyaknya hiburan-hiburan malam yang di
Hamil sebelum nikah adalah menjadi sebuah problema yang sangat banyak zaman sekarang dan membutuhkan solusi yang tepat, karena hal ini dapat membawa kegelisah di masyarakat terutama orang tua, guru, tokoh-tokoh agama dan lainnya.
Ditinjau dari sudut sosiologis, karena merasa malu orang tua yang mempunyai anak perempuan yang hamil di luar nikah tentu tidak mau membiarkan anaknya melahirkan tanpa seorang suami, karena hal itu akan menjadi cemoohan dikalangan masyarakat. Untuk itu mereka berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang telah menghamilinya ataupun bukan, yang penting ketika bayi itu lahir ada ayahnya.
Pada Bab II akan dibahas tentang yang berhubungan dengan permasalahan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANJURAN UNTUK MENIKAH DAN HARAMNYA ZINA
1. Anjuran Untuk Menikah
Islam tidak menyuruh umatnya untuk menjadi ‘abid (ahli ibadah), tetapi Islam mengajarkan agar manusia menjadi takwa. Maha Besar Allah yang telah menurunkan Islam sebagai agama yang sempurna dan rahmatal lil ‘alamin. Allah Maha Tahu bahwa manusia mempunyai kebutuhan biologis (seksual) yang secara psikologis apabila tidak dipenuhi akan mengakibatkan ketegangan jiwa, jalan untuk memenuhi kebutuhan seksual itu diatur di dalam Islam yaitu melalui satu pintu yang bernama nikah.
Nikah atau Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [1]
Firman Allah SWT :
فانكحوا ماطاب لكم من النساء....( النساء : 3 )
"Nikahilah sebagian wanita yang baik-baik yang kamu senangi (QS. An-Nisa : 3).
Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk menikah dengan sabda beliau :
حديث أنس بن مالك رضى الله عنه قال جاء ثلاثة رهط الى بيوت ازواج النبي صلى الله عليه وسلم يسألون عن عباده النيى صلى الله عليه وسلم فلما اخبروا كأنهم تقالوها فقالوا : واين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد غفر له ماتقدم من ذنبه وماتأخر قال احدهم : اما انا فإنى اصلى الليل ابدا وقال اخر : انا اصوم الدهر ولاافطر فقال اخر : انا اعتزل النساء فلا اتزوج ابدا. فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : انتم الذين قلتم كذا وكذا اما والله انى لأخشاكم لله واتقاكم له لكنى اصوم وافطر واصلى وارقد واتزوج النساء فمن رغب عن سنتى فليس منى.
اخرجه البخارى فى : 67 كتاب النكاح : 1 باب الترغيب فى النكاح.
Artinya :
Hadits Anas bin Malik ra di mana ia berkata :
Kemudian Rasulullah SAW datang, lalu bersabda : kamu yang berkata begini dan begini ? ingatlah, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah di antara kamu sekalian, namun aku berpuasa dan tidak berpuasa, shalat malam dan tidur, serta aku kawin dengan wanita, siapa yang tidak senang dengan sunnahku maka ia tidak termasuk umatku.
Al Bukhari mentakhrij hadits ini di dalam "Kitab Nikah" bab tentang anjuran untuk nikah.
Dalam sabda beliau yang lain tentang anjuran menikah bagi para pemuda yang sudah dewasa :[2]
يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء.
Artinya :
"Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.
Dalam hadits ini tersirat betapa besarnya rahmat dari perkawinan itu, karena dapat memelihara seseorang dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Dengan kawin nafsu syahwat dapat disalurkan dengan sah. Agama menunjukkan jalan keluar bagi yang belum mampu untuk kawin yaitu dengan berpuasa, karena dengan puasa dapat membersihkan jiwa dan mempunyai daya yang kuat untuk menahan nafsu untuk berbuat haram.[3]
2. Haramnya Zina
Allah SWT mengharamkan zina dengan firman-Nya :
ولاتقربوا الزنا انه كان فاحشة وساء سبيلا...
Artinya :
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk".
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT melarang manusia untuk berbuat zina karena di dalamnya terkandung perbuatan yang sangat keji dan kotor.
Islam menganjurkan nikah dan melarang zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena perzinaan merupakan sumber kehancuran. Zina dapat menimbulkan penyakit, seperti sfilis, gonore, dan sejenisnya.
B. PENDAPAT
الزانى لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك ج وحرم ذلك على المؤمنين. ( النور : 3 )
Artinya :
"Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkanperempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (QS. An-Nur: 3).
Inilah pendapat para ulama tentang maksud ayat di atas :
1. Menurut Ibnu Rusyd para ulama mempertanyakan apakah larangan tersebut (kata-kata la yankihuha tidak menikahi) karena dosa atau haram.[4]
2. Jumhur ulama agaknya cenderung mengartikan sebagai dosa, bukan haram, maka mereka membolehkan menikahinya, berdasarkan kepada hadits:[5]
إن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم فى زوجته إنها لاترديد لامس فقال صلى الله عليه وسلم طلقها, فقال له إنى أحبها فقال له أمسكها.
Artinya :
"
Hadits inilah yang dipegang jumhur ulama, Nabi SAW mencabut kembali perintahnya karena laki-laki itu mengatakan bahwa ia sangat mencintai isterinya.
3. Menurut Sayyid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan bahwa mereka harus bertaubat kepada Allah SWT terlebih dahulu,[6] karena Allah SWT akan menerima taubat hamba-Nya dan memasukkannya ke dalam kalangan hamba-hamba-Nya yang shalih. Sayyid Sabiq berpendapat demikian dengan berargumen pada firman Allah SWT :
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, dia akan mendapat dosa. Akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
4. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat tidak boleh mengawini wanita lacur. Allah SWT hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-baik dari kalangan Islam dan Ahli Kitab. Yang halal dikawini oleh laki-laki ialah wanita yang baik-baik (muhshanat), sebagaimana disebut dalam
والمحصنات من النساء إلا ماملكت أيمانكم صلى كتب الله عليكم ج وأحل لكم ماوراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسفحين ج.....
Artinya :
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah teleh menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina……" (QS. An-Nisa : 34).
Menurut Al-Qardhawi ayat Az Zani la yankihu….( An-Nur: 3) disebutkan setelah ayat yang menyatakan hukuman jilid. Menurutnya hukum ini adalah hukum badaniah. Adapun hukum moral ialah pengharaman mengawini pezina.[7]
Yusuf Qardhawi memberikan jalan keluar yaitu boleh dinikahi wanita pezina dengan syarat ia harus bertaubat, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya, maka ia harus melewati haid sekurang-kurangnya 1 kali.
C. ATURAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG MENIKAHI WANITA YANG HAMIL KARENA ZINA
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.[8]
Dalam KHI itu pada ayat 3 jelas disebutkan bahwa tidak perlu lagi diadakan perkawinan baru setelah anak yang dikandungnya lahir, artinya status anak itu sah, karena perkawinannya juga sah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Islam tidak menyuruh umatnya untuk menjadi ‘abid (ahli ibadah), tetapi Islam mengajarkan agar manusia menjadi takwa. Salah satunya adalah dengan mengikuti sunnah Nabi yaitu menikah. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء.
2. Islam melarang zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena perzinaan merupakan sumber kehancuran. Zina dapat menimbulkan penyakit, seperti sfilis, gonore, dan sejenisnya.
3.
a. Menurut Ibnu Rusyd para ulama mempertanyakan apakah larangan tersebut (kata-kata la yankihuha tidak menikahi) karena dosa atau haram.
b. Jumhur ulama membolehkan menikahi wanita zina
c. Menurut Sayyid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan bahwa mereka harus bertaubat kepada Allah SWT terlebih dahulu.
d. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat tidak boleh mengawini wanita lacur, kecuali bertaubat terlebih dahulu.
4. Tentang perkawinan dengan wanita hamil karena zina ini diatur dalam KHI pasal 53 ayat 1-3.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H, S.H, 2004, Kompilasi Hukum Islam,
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah,
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II,
Sabiq, Sayyid, 1404 H, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham Al-Usrah al-Hudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV.
Undang-Undang Republik
Yusuf Al-Qardhawi, 1978, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami,
Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, 1957, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby.
[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1
[2] Abi Abdullah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz III, Dar Al-Ma'rifah,
[3] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Dar Al-Fikr Al-'Araby, 1957, h. 23
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II,
[5] Ibid.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Jilid II Nidham Al-Usrah al-Hudud wa Al-Jinayat, Dar Al-Fikry, Cet.IV, 1404 H, h 85
[7] Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halal wa Al-haram fi Al-Islam, Maktabah Al-Islami,
[8] H. Abdurrahman, S.H, Kompilasi Hukum Islam,
0 Komentar