Shalat

BAB I

P E N D A H U L U A N

Ibadah shalat merupakan salah satu ibadah pokok dalam syari’at Islam. Shalat dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Ia merupakan tiang agama di mana ia tidak dapat tegak kecuali dengan itu.

Shalat adalah ibadah yang langsung diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tanpa perantara pada peristiwa Isra dan Mi’raj yang penuh berkah. Ia juga merupakan amalan hamba yang mula-mula di hisab pada hari kiamat.

Selain beberapa point di atas pentingnya kedudukan shalat dalam Islam juga tercermin ketika Rasulullah SAW mewasiatkan kepada seluruh umatnya untuk menjaga ( memelihara ) shalat, pada saat-saat terakhir sebelum beliau wafat.

Petunjuk-petunjuk tentang shalat, telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, sebagai sumber pertama dan utama dalam hukum Islam yang dijelaskan lebih detail lagi oleh hadits-hadits Nabi SAW.

BAB II

S H A L A T

A. PENGERTIAN SHALAT.

Asal makna shalat menurut bahasa Arab adalah do’a, tetapi yang dimaksud di sini adalah ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam , dan dengan syarat-syarat yang ditentukan.[1]

واقم الصلاة ان الصلاة تنهى عن الفخشاء والمنكر

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. ( Q.S Al-Ankabut : 45 ).”

B. HIKMAH SHALAT.

Dalam setiap peristiwa, di dalamnya tersirat suatu hikmah dan makna bagi umat manusia, begitu pula dan ibadah tak tekecuali shalat di dalamnya terkandung beberapa hikmah yang sangat besar di antaranya sebagai berikut :

1. Ibadah Shalat menjadikan pelakunya selalu ingat kepada Allah, dan dengan ingat kepada Allah itu, kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar.

2. Dengan shalat kita berserah diri sepenuhnya dan dengan berserah diri akan terasa ringan dalam menghadapi problema hidup, merasa tenang dan tentram, bebas dari keresahan dan kegelisahan.

3. Menjalin hubungan yang tertib kontinue antara makhluk dengan Allah Sang Pencipta.

4. Meningkatkan bakti, kepatuhan, loyalitas, dan rasa syukur atas ni’mat yang dikaruniakan Allah kepada seluruh makhluknya.

5. Membentuk kepribadian manusia yang sabar dan tabah, mendidik kerapian, dan membentuk sikap rendah hati.

6. Mendidik muslim supaya sementara memusatkan usaha, pikiran, akal, moral, perhatian, dan perjuangannya kepada satu titik tujuan.[2]

C. SYARAT SHALAT.

Menurut golongan Syafi’iyah syarat shalat terbagi menjadi dua bagian :

1. Syarat Wajib.

Yang dimaksud syarat wajib adalah syarat yang menjadikan seorang muslim wajib melaksanakan shalat lima waktu. Apabila syarat-syarat tersebut ada atau dimiliki oleh muslim tersebut, seperti :

a. Islam.

b. Baligh.

c. Berakal.

d. Sampai dakwah Nabi.

e. Suci dari haid ( kotoran ) dan nifas.

f. Melihat atau mendengar.[3]

g. Jaga.[4]

2. Syarat Sah.

Yang dimaksud dengan syarat sah ialah syarat yang menentukan sah atau tidaknya shalat yang dikerjakan apabila semua syarat di bawah ini terpenuhi.

a. Islam.

b. Mumayyiz.

c. Mengetahui masuk waktu.

d. Tahu yang wajib dalam sembahyang, sehingga dapat membedakan mana yang wajib dan mana yang sunnat.

e. Suci dari hadats besar dan hadats kecil.

f. Suci badan, pakaian, dan tempat shalat dari najis

g. Menutup aurat.

h. Menghadap kiblat.[5]

D. RUKUN SHALAT.

Yang dimaksud rukun di sini dalah sesuatu yang mesti ada ketika shalat dilaksanakan, apabila kekurangan salah satu bagian, mka shalatnya tidak sah. Golongan Syafi’iyah menyebutkan rukun shalat itu ada tiga belas, yaitu :

1. Niat.

Arti niat ada dua :

- Asal makna niat ialah menyengaja suatu perbuatan, dengan adanya kesengajaan itu, perbuatan dinamakan ikhtiyary ( kemauan sendiri bukan dipaksa ).

- Niat pada syara’ ( yang menjadi rukun shalat dan ibadat lainnya ), yaitu menyengaja suatu perbuatan karena mengikuti perintah Allah semata, inilah yang dinamakan ikhlash. Maka orang yang shalat hendaklah sengaja mengerjakan shalat karena mengikuti perintah Allah semata-mata, agar mendapat keridhaan-Nya.[6]

2. Takbiratul Ihram.

3. Bardiri tegak bagi yang mampu.

4. Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap rakaat.

5. Ruku’ dengan tuma’ninah.

6. I’tidal.

7. Sujud dua kali dengan tuma’ninah.

8. Duduk di antara dua sujud.

9. Duduk tasyahud akhir.

10. Membca tasyahud akhir.

11. Membaca shalawat atas Nabi sesudah tasyahud akhir.

12. Salam yang pertama.

13. Tertib.[7]

BAB III

A. SHALAT KHAUF.

Shalat Khauf yaitu shalat ketika ada bahaya. Umpamanya pada waktu peperangan. Cara yang dijalankan oleh Rasulullah SAW berbeda-beda riwayatnya. Ada yang meriwayatkan tiga cara, 10 cara, bahkan ada yang meriwayatkan 24 cara. Semua pekerjaan itu mungkin telah dikerjakan Rasulullah SAW karena keadaan pada waktu itu berbeda-beda, yang dimaksud sebenarnya ialah shalat shalat dilaksanakan sebaik mungkin, dan penjagaan serta perlawanan terhadap musuhpun tidak dilalaikan.

Di sini hanya digambarkan tiga cara yang dikerjakan beliau ( dengan tak menyalahkan riwayat yang lain ) yang benar-benarmerupakan riwayat yang sah dari Rasulullah SAW.

1. Cara yang pertama ialah cara shalat ketika musuh tidak berada disebelah kiblat, ketika kita tidak merasa aman karena akan digempur oleh musuh, serta tentara kaum muslimin lebih banyak dengan arti hanya dengan sebagian tentara muslimin, musuh dapat dihadapi. Keterangannya dari hadits berikut :

عن صالح بن خوات عمن صلى مع النبي صلى الله عليه وسلام يوم ذات الرقاع ان الطائفة صفت والطائفة وجاه العدو, فصلى بالتى معه كعة ثم ثبت قائما فأتموا لانفسهم, ثم انصرفو وجاه العدو, وجاءت الطائفة الاخرى, فصلى بهم الركعة التى بقيت من صلاته فأتموا لانفسهم فسلم بهم. ( رواه الجماعة الا ابن ماجه )

Dari Shalih bin Khawwaf, dari orang yang shalat bersama-sama Nabi SAW di masa perang Zatur Riqa’. Ia berkata “ Sesungguhnya sebagian berbaris bersama Nabi SAW, dan sebagian lagi menghadapi musuh. Maka Nabi SAW shalat satu raka’at bersama-sama dengan barisan yang dibelakang beliau, kemudian beliau berdiri menunggu. Maka barisan pertama lalu meneruskan shalat, kemudian mereka pergi menjaga musuh, dan datang bagian kedua yang tadinya menjaga musuh.

Nabi SAW shalat bersama-sama mereka satu raka’at pula, menyempurnakan shalat beliau. Kemudian mereka menyempurnakan shalat masing-masing, lalu Nabi SAW, memberi salam bersama-sama mereka. ( H.R Jama’ah, kecuali Ibnu Majjah ).

2. Cara yang kedua ialah ketika musuh ada disebelah kiblat. Berarti apabila musuh datang menyerang ketika mereka sedang shalat niscaya dapat dilihat. Jika hal seperti itu terjadi hendaknya mengatur tentaranya menjadi dua saf. Imam shalat bersama-sama kedua barisan itu, membaca takbiratul ihram, membaca bacaac bersama-sama sampai i’tidal raka’at pertama. Kemudian apabila imam sujud, hendaklah sujud pula salah satu dari kedua saf itu mengikuti imam, sedangkan saf yang lain tetap berdiri menjaga musuh. Apabila imam dan salah satu saf yang mengikuti imam tadi berdiri dari sujud untuk raka’at kedua, maka saf yang menjaga tadi hendaklah sujud dan bangkit segera menyusul imam pada raka’at kedua. Untuk membaca bacaan dan ruku’ dan i’tidal bersama-sama. Apabila imam sujud hendaklah saf yang pada raka’at pertama menjaga itu sujud pula dan saf yang tadinya sujud lebih dulu hendaklah menjaga musuh. Apabila imam duduk maka saf yang menjaga itu hendaklah sujud, kemudian duduk pula untuk memberi salam bersama-sama imam dan saf lainnya. Kalau tentaranya banyak, tidak ada halangan diatur beberapa saf, yang penting hendaklah di waktu imamsujud, saf-saf itu berganti-ganti mengikuti dan menjaga musuh. Hal ini terjadi dalam perang Usfar.

3. Cara yang ketiga ialah pada saat musuh pada semua pihak atau pertempuran sedang berkobar, sehingga orang yang berkendaraan tidak dapat lagi turun dari kendaraannya dan orang yang berjalan tidak dapat lagi berpaling, sehingga tidak mungkin shalat menghadap kiblat. Ringkasnya boleh shalat menurut kemungkinan masing-masing. Seperti firman Allah SWT :

فان خفتم فرجالا او ركبانا فاذا امنتم فاذكروا الله كما علمكم

“Jika kamu dalam keadaan takut ( bahaya ), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan, kemudian apabila kamu telah aman. Maka sebutlah Allah ( shalatlah , sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu. ( Al Baqarah 239 ).

Menurut tafsir Ibnu Umar yang dimaksud berjalan atau berkendaraan ialah menghadap atau tidak menghadap kiblat.[8]

B. SHALAT QASHAR.

Dalam melaksanakan shalat qashar ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang di antaranya hendaklah dia tahu tentang tempat yang dituju. Tidak boleh mengqashar bagi orang yang mencari orang yang berhutang atau mencari hamba yang melarikan diri yang tidak diketahui tempatnya sekalipun perjalanan itu cukup jauh.

Dan di antara shalat qashar hendaklah tahu akan kebolehan qashar kalau seseorang mengqashar shalatnya sedang ia jahil tentang kebolehan mengqashar tidaklah sah qasharnya. Dan di antara shalat qashar jangan mengikuti baik seluruh maupun sebagian dari shalat orang yang shalat sempurna.

Syarat qashar hendaknya berniat qashar di dalam takbiratul ihram. Syarat qashar hendaknya selalu dalam perjalanan semenjak awal sampai akhir shalatnya.[9]

C. SHALAT JAMA’.

Boleh menjama’ shalat Zuhur dan Ashar, shalat Magrib dan Isya dengan jamak taqdim atau jamak ta’khir. Maka yang dimaksud dengan jamak taqdim umpamanya mengerjakan shalat Ashar di waktu shalat Zuhur, mengerjakan shalat Isya di waktu shalat Magrib. Dan yang dimaksud dengan jamak ta’khir ialah mengerjakan shalat Zuhur di waktu Ashar, mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.

A. Syarat Jamak Taqdim.

Pertama, mendahulukan shalat yang mempunyai waktu karena yang dikuti lebih utama maka yang menjadi pengikut tidak boleh mendahului yang diikuti.

Kedua, berniat jamak di dalam shalat yang mempunyai waktu sekalipun niatnya diletakkan sebelum memberi salam.

Ketiga, muallat artinya kedua shalat itu bersambung namun tidak mengapa kalau diselingi hanya sebentar.

Keempat, masih dalam perjalanan dimulai dari shalat pertama sampai dengan selesai takbiratul ihram shalat yang kedua.[10]

B. Syarat Jamak Ta’khir.

Jamak ta’khir disyaratkan dua perkara; pertama berniat jamak sebelum selesai waktu shalat. Kedua, masih dalam perjalanan sampai selesai shalat yang kedua. Kalau ia berubah menjadi orang yang mukim sebelum selesai shalat kedua, maka shalat pertama menjadi qadha.

“Boleh mengerjakan shalat jamak taqdim di dalam negeri karena turun hujan sekalipun tidak lebat dengan syarat mereka berjama’ah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya dan mungkin karena hujan akan merusak kesehatannya.

Di syaratkan hujan terjadi pada saat yang semestinya mengangkat takbir dalam shalat pertama dan salamnya dan takbiratul ihram shalat kedua sekalipun hujan reda sesudah itu.”[11]

BAB IV

P E N U T U P

KESIMPULAN

1. Shalat merupakan sebuah ibadah yang mencerminkan sempurnanya pribadi muslim, karena ia merupakan tiang agama.

2. Shalat adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.

3. Shalat mempunyai rukun, syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaanya yang menentukan sah tidaknya shalat.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman, H. Fiqh Islam. Cet. ke 32. Sinar Baru Al Gesindo. Bandung. 1998.

Hembing, H. Prof. Hikmah Shalat. Cet ke-3. Pustaka Kartini. . 1997

Jamaah Ulama Mesir dan Kepala mereka Al Allamah Abdurrahman Al Jaziry. Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Arba’ah Jilid I. Ikhlas Vakfi. Turki. 2001.

Al-Banjary, Syaikh Muhammad Arsyad. Sabilul Muhtadin juz I. Al Haramain. Singapura. tth.

Rifa’i, Moh. Drs. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Toha Putera. Semarang.1976.

Syukur, H. M. Aswadie. Drs. Lc. Salinan Kitab Sabilal Muhtadin karangan


[1] H. Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. ( Bandung : Sinar Baru Al Gesindo, 1998 ). Cet ke 32. hlm.53.

[2] Prof. H. M. Hembing. Hikmah Shalat. ( : Pustaka Kartini, 1997 ). Cet ke-3. hlm. 232.

[3] Jamaah Ulama Mesir dan Kepala mereka Al Allamah Abdurrahman Al Jaziry. Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Arba’ah Jilid I. ( Turki : Ikhlas Vakfi, 2001 ). Hlm. 177 – 178.

[4] Dalam hal ini ada sedikit perbedaan di dalam kitab di atas tidak disebutkan syarat yang ketujuh tapi di buku lain disebutkan syarat ini, lihat : H. Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. ( Bandung : Sinar Baru Al Gesindo, 1998 ). Cet ke-32. hlm. 67.

[5] Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjary. Sabilal Muhtadin juz I. ( Singapura – Jedah – Indonesia : Al haramain, tth ). Hlm. 177-185.

[6] H. Sulaiman Rasjid. Op. Cit. hlm. 75.

[7] Drs. Moh. Rifa’i. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. ( Semarang : Toha Putera, 1976 ). Hlm. 35 – 36.

[8] H. Sulaiman Rasjid. Op. Cit. hlm. 154 – 158.

[9] Drs. H. M. Aswadie Syukur Lc. Salinan Kitab Sabilal Muhtadin karangan Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjary Jilid II. ( Surabaya : P.T Bina Ilmu Ofset, 2003 ). Hlm. 632 – 633.

[10] Ibid. hlm. 633 – 634.

[11] Ibid. hlm. 635.

Posting Komentar

0 Komentar