KONSEP STRATIFIKASI
Ciri yang memadai tiap masyarakat, yaitu ada padanya ketidaksamaan (inequality) diantara status individu dan kelompok yang terdapat didalamnya.
Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yang menyatakan persamaan manusia. Di bidang hokum, misalnya, kita mengenai anggapan bahwa dihadapan hokum semua orang adalah sama ; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama.
Dalam kenyataan sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Dalam kutipan dari buku Mosca, kita melihat bahwa dalam semua masyarkat dijumpai ketidaksamaan dibidang kekuasaan : sebagai anggota masyarakat mempunyai kekuasaan, sedangkan sisanya dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria lain; misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan prestise dalam masyarakat. Perbedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimiliki dalam sosiologi dinamakan stratifikasi sosial (social stratification).
Dalam uraian Ralph Linton bahwa sejak lahir orang mempunyai status tanpa memandang perbedaan antar individu atau kemampuan. Berdasarkan yang diperoleh dengan sendirinya ini, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kesta dan kelas (liat Liston, 1968:358-363). Berdasarkan status yang diperoleh ini, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi.
Suatu bentuk dari stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age stratification). Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiba berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Dalam hokum masyarakat tertentu, misalnya, anak sulung memperoeh prioritas dalam pewarisan harta atau kekuasaan.
Asas senioritas yang dijumpai dalam stratifikasi berdasarkan usia ini dijumpai pula dalam bidang pekerjaan. Dalam berbagai organisasi modern, misalnya, kita sering melihat adanya hubungan erat antara usia karyawan dengan pangkat mereka dalam rganisasi, atau persamaan usia antara yang mengaku jabatan sama. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka waktu tertentu-misalnya dua tahu, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya dapat dipangku oleh karyawan yang elah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dank arena dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang diper-timbangkan untuk mengisinya ialah mereka yang dianggap paling senior. System yang dianut dikalangan pegawai negeri kita, misalnya, merupakan perpaduan antara merit system (system penghargaan terhadap prestasi) dan senioritas. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan bilamana kita menjumpai bahwa jabatan yang dipangku dosen didalam struktur organisasi perguruan tinggi negeri (seperti jabatan ketua jurusan, pembantu dekan, dekan dan sebagainya) serta jabatan fungsional mereka (seperti asisten ahli, lector, guru besar) memperlihatkan hubungan erat dengan usia pemangku jabatan, meskipun usia memang bukan satu-satunya ukuran yang dipakai untuk mengusulkan seorang pemangku jabatan.
Asas senioritas dijumpai pula dalam system kenaikan pangkat dosen. Dosen tetap dalam perguruan tinggi egeri yang tidak berhasil naik pangkat kegolongan IV sebelum mencapai usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk jabatan guru besar, apapun gelar akademik yang dimilikinya dan apapun prestasi dan sumbangannya dalam bidang keahlian.
Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada factor perolehan; sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu herarki. Dalam banyak masyarakat, status laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Laki-laki lebih banyak mendapatkan pendidikan formal lebih tinggi dari pada perempuan. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relative lebih terbatas, dan dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relative relative lebih banyak terdapat strata yang rendah, dengan status dibidang asministratif, dan sering menerima upah lebih rendah daripada laki-laki. (masalah jenis kelamin dan gender akan dibahas secara rinci didalam Bab 8).
Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak dan kewajiban antara anak, ayah, ibu, paman, kakek, dan sebagainya sering mengarah kesuatu herarki.
System stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok tertentu, seprti stratifikasi keagamaan (religius stratification), stratifikasi etnik (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification).
Brdasarkan status yang diperoleh, anggota masyarakat dibedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga meghasilkan berbagai jenis stratifikasi. Salah satu diantaranya stratifikasi pendidikan (educational stratification): hak dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar pendidikan formal yang berhasil mereka raih.
System stratifikasi yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari ialah stratifikasi pekerjaan (occupational stratification) . dibidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya perbedaan menejer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif.
Stratifikasi ekonomi (economi stratification), yaitu perbedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dikalangan pertanian dipedesaan kita menjumpai perbedaan antara petani pemilik tanah dan buruh tani. Kita masih ingat bahwa Marx memakai criteria pemilikan atas alat produksi untuk membedakan antara kaum borjuis dan kaum proletar.
SISTEM STRATIFIKASI TETUTUP DAN TERBUKA
Apa cirri yang membedakan system stratifikasi berdasarkan perolehan dengan stratifikasi berdasarkan raihan?. Milton Yinger mencoba merumuskan empat criteria untuk membedakan system kelas, system kasta, dan system mayoritas-minoritas, meskipun ia menyadari criteria yang dibuatnya tersebut merupakan “tipe ideal”.
Berdasarkan criteria Yinger suatu system kasta ditandai oleh keanggotaan melalui kelahiran, endogamy, kecendrungan dukungan institusi bagi perakuan berbeda, dan kecendrungan permainan status oleh kelompok yang lebih rendah. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi anggota suatu kasta mealui kelahiran; ia hanya dapt menikah dengan orang dari kasta yang sama; masyarakat cenderung merestui perlakuan berbeda bagi orang yang kastanya berbeda; dan orang yang menjadi kasta lebih rendah akan cenderung menerima kedudukan yang lebih rendah sebagai hal yang wajar.
System minoritas dan mayoritas pun masih ditandai kecenderungan untuk menerima keanggotaan melalui kelahiran dan edogami, dukungan institusi dagi perlakuan berbeda dan permainan status rendah oleh kelompok yang lebih rendah, namun kecenderungan tersebut lebih lemah daripada kecenderungan pada system kasta. Yang dimaksud ialah bahwa seorang kelompok minoritas ada yang dapat menjadi anggota suatu kelompok mayoritas(atau sebaliknya) tanpa melalui kelahiran, dan ada yang melalui dapa menikah dengan anggota kelompok mayoritas (atau minoritas); dalam masyarakat mulai terdapat institusi yang menentang pelakuan berbeda bagi anggota kelompok lain; dan dikalangan kelompok yang statusnya lebih rendah mulai ada pihak yang tidak menerima status yang lebih rendah tersebut.
Pada system kelas kecenderungan untuk menerima anggota melalui kelahiran dan pola hubungan edogami masih banyak dijumpai tetapi dalan frekuensi lebih kecil daripada kecenderungan pada system kasta dan system mayoritas-minoritas; dan institusi dalam masyarakat mulai cenderung menentang perlakuan berbeda, sedangkan sebagian besar anggota kelompok yang lebih rendah pun tidak menerima status lebih rendah yang mereka duduki.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Yonger klasifikasinya ini merupakan tipe ideal dan dalam kenyataan kata akan menjumpai berbagai pengecualian. Sebagaimana dapat kita lihat dari penguraian tokoh sosiologi India, M. N. Srinivas (1952), system kasta di India (yang berarti nama varna) sebenarnya terdiri atas ribuan jati, suatu kelompok endogen yang mempraktekan suatu pekerjaan tradisional dan mempunyai otonomi tertentu dalam bidang budaya, ritual, dan hokum. Srinivas mengamati bahwa kadang hunbungan hipergami antar kasta dimungkinkan, walau ini selalu terwujud dalam pernikahan. Seorang laki-laki dari kasta lebih tinggi dengan seorang perempuan dari kasta lebih rendah dan tidak sebaliknya. Srinivas pun menguraikan bahwa suatu kelompok kasta rendah sering dapat pindah status ke kasta yang lebih tinggi dengan jalameniru gaya kasta yang lebih tinggi itu (suatu proses yang oleh Srinivas dinamakan sanskritization), meski proses ini terjadi dalam beberapa generasi. Adanya proses sansrkritization ini sudah merupakan indikasi bahwa warga kasta lebih rendah tidak selau menerima status mereka yang rendah
Dalam sosiologi kita mengenal perbedaan antara stratifikasi tertutup da terbuka. Keterbukaan suatu system stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam strata yang lebih tinggi (lihat Yinger, 1966:34). Menurut Yinger suatu system stratifikasi dinamakan tertutup samasekali manakala setiap anggota masyarakat tetap berbeda pada status yang sama dengan orang tuanya, dan dinamakan terbuka samakali manakala setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda dengan status orang tuanya (dapat lebih tinggi atau lebih rendah).
MOBILITAS SOSIAL
Dalam sosiologi mobilitas social berarti perpindahan status dalam stratifikasi social; “social mobility refers to the movemen of individual or grups-up or down-within a social hierarchy” (Ranspord, 1980:491). Mobilitas vertical memacu kepada mobilitas ke atas atau kebawah dalan stratifikasi social; pun ada apa yang dinamakan leteral mobility (lihat Gidden, 1989: 229) yang mengacu pada perpindahan geografis antara lingkungan setampat, kota dan wilayah.
Sebagaimana Nampak dari definisi Randsford, mobilitas social dapat mengacu pada individu maupun kelompok. Reansford mengutip contoh yang diberikan Sorokin yang mengenai mobilitas kelompok, yaitu turunnya suatu status dinasti penguasa (lihat Ranford, 1980 : 492-493). Menurut ransford mobilitas dapat terjadi pula pada kekuasaan, priviliese, maupun prestise (ransford, 1980:492).
Suatu pokok pembahasan yang banyak mendapatkan perhatian ahli sosiologi ialah masalah mobilitas intragenerasi dan mobilitas antargenerasi. Mobilitas intragenerasi mengacu pada mobilitas social yang dialami seseorang dalam hidupnya. Suatu studi terhadap sejumlah dosen tetap dari lima perguruan tinggi dijawa, misalnya, memperhatikan bahwa para orangtua para dosen diteliti cenderung berpendidikan menengah-suatu petunjuk bahwa dikalangan dosen tersebut telah menjadi mobilitas vertical antargenerasi, mengingat bahwa para dosen tersebut telah meraih pendidikan tinggi yang meretang mulai dari jenjang sarjana sampai jenjang doctor (lihat Sunarto, 1980).
Suatu srudi yang sering menjadi bahan acuan dalam bahasan mengenai mobililitas antar-generasi ialah penelitian Blau dan Dancan terhadap mobilitas pekerjaan Di Amerika Serikat. Kedua ilmuan ini menyimpulkan dari data merka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relative terbuka karena didalamnya telah terjadi mobilitas social vertical antar-generasi, dan dalam mobilitas inta-generasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebih besar dari pada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua.
JUMLAH LAPISAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Beberapa jumlah lapisan social (strata) yang terdapat ada dalam suatu system stratifikasi ?. sejumlah ilmuan besar membedakan antara tiga lapisan, misalnya, pembedaan antara kelas atas, kelas menegah dan kelas bawah.
Bernard Barber mengenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah (Barber, 1957). Dalam msyarakat kita , misalnya, kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Konsep rentang memberikan kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan (atau kecil pemerataan) dalam masyarakat.
Konsep terkait lainnya yang dilakukan Barber ialah konsep bentuk (shape), yang mengacau pada proporsi orang yang terletak dikelas social yang berlainan (lihat Barber, 1957). Suatu stratifikasi dapat berbentuk segi tiga. Ini berarti bahwa semakin tinggi posisi dalam stratifikasi, semakin dikit jumlah posisi yang tersedia.
Stratifikasi selalu berbentuk segi tiga atau piramida, karena kita sering menjumpai situasi yang didalamnya terdapat sejumlah besar posisi rendah dan sejumlah kecil posisi tinggi. Situasi kesenjangan besar ini sering dijumpai dalam masyarakat yang sedang berkembang. Dibidang pendidika formal, dalam masyarakat kita sering menjumpai kesenjangan besar antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan merekan yang berpendidikan tinggi. Dalam masyarakat industry maju dapat dijumpai stratifikasi yang berbentuk intan; posisi dilapisan bawah dan atas berjumlah relative sedikit bila dibandingkan dengan posisi dilapisan menengah.
DIMENSI STRATIFIKASI
Diatas telah dibahas penggolongan anggota masyarakat berdasarkan berbagai dimensi. Yaitu ada dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnik, kelompok ras, pendidikan formal, pekerjaan, dan ekonomi.
Ketika telah melihat bahwa perubahan social secara mendasar dan menyeluruh yang melanda masyarakat Eropa telah mewujudkan pembagian kerja semakin rinci dalam masyarakat. Pembagian kerja tersebut telah membawa deferansiasi social yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal tetapi juga secara vertical.
Menurut Weber, kelas ditandai oleh beberapa hal. Pertama, kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib ; peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Menurut Weber kata gori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimiliki factor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi. Dimensi lain menurut Weber dugunakan orang untuk membeda-bedakan anggota masyarakat ialah dimensi kehormatan. Menurut weber manusia dikelompokan dalam kelompok status, yang menurutnya laksana komunitas yang tak berbentuk. Kelompok status merupakan orang yang berbeda dalam situasi status yang sama. Yaitu orang yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan tertentu. Weber mwngemukakan bahwa persamaan kehormatan status terutama dinyatakan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Dibidang pegaulan gaya hidup ini dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Status kelompok dibedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Weber mengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut weber partai diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan social, yaitu pada dipengaruhinya tindakan bersama untuk mencapai tujuan yang terencana. Cara yang ditempuh partai untuk memperoleh kekuasaan berbeda-beda, ada yang menggunakan kekerasan fisik, dan ada yang berusaha memperoleh dukungan suara dengan memakai berbagai cara seperti uang, pengaruh social, pemberian saran, tipu daya, intimidasi, dan sebagainya.
Suatu hal yang ditekankan weber ialah adanya kemungkinan adanya hubungan antara kedudukan menurut beerapa dimensi. Maksudnya, seseorang yang mempunyai kekuasaan politik mungkin saja menduduki posisi terhormat dalam herarki status dan bahkan menduduki posisi tinggi dalam herarki kelas.
KELAS SOSIAL
Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu social. Makna yang diberikan pada konsep tersebut berbeda-beda; meskipun konsepr tersebut menduduki posisi sangat penting dalam teori marx, namun ia tidak pernah mendifinisikan secara tegas. Ia menggantikannya dengan alat produksi. Kita pun telah melihat bahwa Weber tidak mebatasi konsep tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi memberikan makna lebih luas, sehingga selain mencangkup penguasaan atas barang meliputi pula peluang untuk memperoleh penghasilan. Menurut Giddes, peluang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang dimaksud Weber tersebut tidak hanya berupa penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa ketrampilan dan kemampuan yang antara lain tercermin dalam ijazah.
Jeffries pun mendasarkan pandangannya mengenai kelas pada pandangantokoh klasik tersebut atas. Ia mengemukakan bahwa kelas social merupakan “social and economic groups constituted by a coalescence of economic, occupational, and aducation bonds”. Jadi Jefferies melihat bahwa konsep kelas melibatkan perpaduan antara ikatan ekonomi (yang oleh Jeffries yang dianggap sebagai segi terpenting dari kelas), pekerjaan, dan pendidikan. Meskipun kelas konsep ini mencakup tiga dimensi yang berbeda satu dengan yang lain- Jeffries antara lain mengemukakan bahwa seorang guru besar bergelar doctor cenderung berpenghasilan rendah sampai menengah, sedangkan seorang yang sangat kaya belumtentu berpendidikan sarjana muda- namun Jeffries menghubungkannya dengan alas an bahwa diantara ketiga dimensi tersebut terdapat kesalingtergantungan yang erat. Menurut Jeffries pekerjaan merupakan segi penting dari kelas. Dikemukakan pula bahwa pendidikan sering menjadi persyaratan bagi pekerjaan tertentu.
Wber mendefinisikan kelas sebagai sebagai sekelompok orang; hal serupa kita jumpai dalam definisi Jeffries. Namun ada ahli sosiologi yang memandang bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup keluarga mereka. Bernard Baber, misalnya, mendefinisikan kelas sosial sebagai himpunan keluarga. Ini mencerminkan bahwa kedudukannya seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain.
Secara ideal system kelas merupaka suatu system stratifikasi karena suatu didalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa system kelas mempunyai system tertutup, seperti halnya endogamy kelas. Pergaulan dan pernikahan, mlebih sering terjadi antara orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dari keas lebih rendah atau lebih tinggi.
PENJELASAN BAGI ADANYA STRATIFIKASI
Moore dan Davis mengemukakan stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat. Dalam masyarakat terdapat status yang harus ditempati agar masyarakat dapat berlangsung. Anggota masyarakat perlu diberi rangsangan agar mau menempati status tersebut dan, setelah menempati status, bersedia menjalankan peran sesuai dengan harapan masyarakat (role expectation). Semakin penting status yang perlu ditempati, dan semakin sedikit tersedia anggota masyarakat yang dapat menempatinya, semakin besar pula imbalan yang diberikan masyarakat. Perbedaan imbalan tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya stratifikasi dalam masyarakat.
Sejumlah ahli sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul Karena dalam masyarakat berkembang dalam pembagian kerja yang memungkinkan perbadaan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Kekayaan, kekuasaan dan prestise tersebut jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaingdan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang tidak memiliki berusaha untuk mempertahankannya dan bahka memperluasnya. Pandangan seperti ini yang dikenal sebagai penjelasan konflik antara lain bersumber pada pemikiran Merx (yang hanya menitikberatkan pada dimensi ekonomi) dan Weer (yang membedakan antara dimensi kekuasaan, ekonomi, dan prestise. Liat antara lain Collins dalam Karabel dan Halsey, ed, 1977).
DAMPAK STRATIFIKASI
Sejumlah ahli sosiologi berusaha meneliti bagaimana perbedaan kelas sosial terwujud dalan perbedaan dalam perilaku dalam berbusana, baik laki-laki maupun perempuan dari kelas sosial berbeda mempunyai kerangka acuan yang berbeda pula. Kaum perempuan kita dari kalangan atas yang berbusana barat, misalnya, akan banyak yang cenderung berbusana dengan mengacu pada karya perancang mode terkenal dari Paris, New York, London, atau Roma. Kaum perempuan kelas menengah kebawah akan lebih cenderung memakai busana ciptaan perancang mode dalam negeri. Sedangkan pilihan besana mereka yang berbeda dikelas bawah akan cenderung berorientasi pada desain yang ditentukan para grosir pakain jadi dipusat penjualan pakain seperti misalnya Pasar Tanah Abang atau Pasar Cipulir di Jakarta.perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumapai pada herarki prestise, tetapi juga pada herarki kekuasaan dan privilese.
Keadaan serupa dapat kita amati pula dalam masyarakat kita. Dikaca mobil sedan pribadi mewah milik warga dari kelas menengah atas menjumpai gambar tempela dengan tulisan I Love New York atau Tokyo Disneyland; dikaca mobil sederhana milik warga dari kelas menengah ke bawah gambar tempelnya lebih cenderung berbunyi, misalnya, Taman Safari atau Dunia Fantasi.
Dalam kaitan dengan perbedaan antar kelas ini para ahli sosiologi sering mengemukakan mengenai symbol status, yaitu symbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat. Pandangan Berger bahwa orang senantiasa memperhatikan kepada orang lain apa yang telah diraihnya dengam memakai berbagai symbol kita dapat menyimpulakan bahwa symbol status berfungsi untuk memberitahu status yang diduduki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa menjumpai symbol status demikian. Salah satunya antara lain, misalnya, ialah cara menyapa. Disamping cara menyapa, baasa dan cara bicaranyapun merupakan yang mencerminkan status.
Perbedaan status tidak hanya tercermin dari cara menyapa, berbahasa dan cara bergaya. Dalam interaksi antara orang yang statusnya berbeda, perbedaan status ini dapat diliha pula dari pola komunikasi noverbal yang terjadi, seperti melipat kedua tangan di depan badan menundukan badan atau menundukan kepala oleh seseorang dikala berinteraksi dengan orang berstatus tinggi menatap mata dan menunjukan jarinya kepada orang yang berststus lebih rendah.
Status seseorang tercermin pula dari tipe dan letak tempat tinggalnya. Di tiap kota besar dijumpai daerah pemukiman yang penghuninya cenderung dari kalangan elite, baik yang beruba daerah elite lama ada (misalnya sejak zaman penjajahan) maupun yang berupa daerah elite baru (misalnya kawasan perumahan dan apartemen mewah). Dalam kawasan pemukiman elite pun kita sering masih dapat mengamati perbbedaan yang mencerminkan perbedaan status, misalnya perbedaan ukran rumah dan tanah, desain rumah, bahan baku yang digunakan, perlengkapan rumah dan sebagainya.
Maka Stratifikasi bagi Peluang Hidup dan Perilaku
Kedudukan salah satu kelas social tertentu mempunyai arti penting bagi seseorang. Kita telah melihat bahwa Max Weber mengaitkan kedudukan dalam suatu kelas dengan life chance, yaitu peluang untuk hidup.
Dalam bukunya Class, status dan Power Bendix dan Lipset (1865) menyajikan sejumlah tilisan berbagai ilmuwan social yang memperlihatkan adanya perbedaan dalam perilaku kelas. Antara lain disebutkan bahwa kelas social berkaitan dengan perbedaan fertilitas (notenstein), harapan hidup bayi pada waktu lahir ( mayer dan Hauser), kestabilan keluarga (Hollingshead), kesehatan mental (Green), perilak sex (Kinsey, Pomeroy, dan Martin). Kehidup[an beragama (pope), mode (barber dan Lobel), dan sikap politik (saenger).
Kedudukan dalam stratifikasi social membawa dampak pada harapan hidup. Dari data kependudukan kota Chicago dalam periode 1920-1940 Mayer dan Hauser antara lain menyimpulkan bahwa harapan hidup bayi pada waktu lahir dikalangan ekonomi teratas cenderung lebh tinggi daripada dikalangan kelas ekonomi terbawah.
Dalam kestabilan keluarga pun iamati hubungan dengan kelas. Hollingshead misalnya, melihat bahwa keluarga kelas atas lebih stabil dari pada keluarga kelas bawah. Menurutnya keluarga kelas atas telah mapan, yaitu mampu bertahan dua generasi atau lebih, cenderung lebih stabil daripada keluarga kelas atas baru, yaitu keluarga yang baru memasuki kelas atas dalam satu generasi. Keluarga kelas atas baru menurutnya lebih sering dilanda perceraian, broken home, dan kecanduan minuman keras.
Selanjutnya Hilingshead mengemukakan bahwa keluarga dari kalangan menengah atas relative lebih stabil daripada keluarga dari kalangan kelas atas baru dan dari kalangan kelas buruh. Perceraian jarang terjadi, dan suami atau istri jarang meninggalkan pasangannya. Keutuhan keluarga kalangan kelas menengah kebawah, dipihak lain terancam oleh konflik antara orang tua dan anak dan antara sesame sadara kandung.
Keluarga yang menuntut Hollingshead banyak menderita gangguan terhadap keutuhannya ialah keluarga dari kalangan atas buruh; dibangdingkan keluarga kelas menengah, keluarga kelas buruh sering dilanda perpecahan, perpisahan suami-istri, dan kematian salah seorang pasangan. Namun keluarga yang menurut Hollingshead yang paling dilanda ketidak stabilan ialah keluarga kalangan kelas bawah. Dibandingkan kelas lain, dalam keluarga kelas bawah dijumpai paling banyak kasus perceraian, perpisahan, dan hidup bersama diluar nikah.
CARA MEMPELAJARI STRATIFIKASI SOSIAL
Menurut Zenden dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari stratifikasi social (lihat Zenden, 1979: 267-274).
Pendekatan pertama yaitu yaitu pendekatan onjektif dinamakan demikan karena menggunakan ukuran objektif berupa variable yang mudah diukur secara stratifikasi seperti pendidikan, pekerjaan atau penghasilan. Menurut Zenden, dalam pendekatan ini kels dilihat sebagai suatu katagori statistic yang sebagaimana telah lihat dalam pembahasan kita mengenai kelompok, tidak ditandai oleh adanya kesadaran jenis, hubungan sosianl antara anggota maupun organisasi. Dengan memakai pendekatan objektif ini seorang ilmuwan social dapat menciptakan katagore statistic sendiri.
Pendekatan suntektif merupakan pendekatan yang menurut Zenden melihat kelas sebagai suatu katagori social, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis. Stratifikasi menurut pendekatan subyektif ini disusun dengan meminta kepada responden suvai untuk menilai status sendiri dengan jalan menempatkan diri pada suatu skala kelas, misalnya kelas atas, kelas menengah, kelas bawah. Data yang terkumpul memberikan gambaran subyektif mengenai statifikasi.
Dalam pendekatan ketiga, pendekatan reputational, para subyek penelitian diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain dengan jaan tersenut pada suatu skala tertentu. Menurut Zenden disini kelas dipandang sebagai suatu kelompok social yang ditandai oleh kesadaran kelompok dan interaksi antaranggota. Dengan cara ini antara lain dapat disusun suatu skala prestise pekerjaan (occupational prestige scale) yang memperlihatkan peringkat prestise suatu pekerjaan tertentu dalam suatu komunitas. Stratifikasi melalui pendekatan reputasi ini dapat disusun pula dengan mengamati pola pergaulan sehari-hari dalam komunitas; misalnya dengan mengamati siapa yang begaul dengan siapa, siapa berkencan dan menikah dengan siapa, siapa menjauhi siapa dan sebagainya.
UPAYA MASYARAKAT UNTUK MENGURANGI KETIDAKSAMAAN
Masyarakat yang mempunyai stratifikasi tertutup menunjang ketidaksamaan social sehingga tidak menganjurkan mobilitas social. Masyarakat dengan system stratifikasi terbuka, di pihak lain, menganut asas persamaan social dan membenarkan serta menganjurkan mobilitas social.
Masyarakat lebih menekankan asas yang menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan. Meskipun asas ini sangat menonjol pada komunisme yang berpandangan bahwa seseorang berharap menyumbangkan tangannya pada masyarakat sesuai dengan kemampuannya tetapi akan memperoleh imbalan sesuai dengan keperluannya, namun asas bahwa pemberian imbalan dalam masyarakat perlu didasarkan pada pemenuhan keperluan pokok anggota masyarakat pun dianut oleh banyak yang tidak menganut komunisme. Menurut Light, Keller dan Calhoun (1989:314) para politikus konservatif yakin bahwa pemenuhan keperluan dan penyaluran ambisi diatur melalui mekanisme pasar, sedangkan liberal percaya bahwa anggota masyarakat yang rentan perlu dibantu oleh pemerintah.
Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai Negara menerapkan berbagai program. Dalam masyarakat kita pun terdapat berbagai usaha untuk membantu anggota masyarakat yang tidak mampu memenuhi keperluan pokok mereka. Beberapa masyarakat bahkan berusaha mengurangi ketidak samaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi perbedaan antarindividu. Usaha membatasi perbedaan merupakan sumber utama ketidaksamaan social.
0 Komentar