Dinasti Fathimiyah di Mesir


BAB I
PENDAHULUAN


            Peradaban Islam sekarang ini sudah menganut pendapat bahwa kebudayaan Islam tidak lagi satu, tetapi sudah terdapat beberapa peradaban Islam. Akan tetapi, nampaknya peradaban-peradaban Islam yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai waktu belum lama ini hanya terbatas pada empat peradaban Islam yang dominan. Semuanya sangat berkaitan dengan empat kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara, temasuk Spanyol Islam), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara-negara Islam asia tengah), kawasan pengaruh Turki, dan kawasan pengaruh kebudayaan India Islam.
            Mesir dan Syiria tergolong propinsi timur tengah yang pertama tercakup ke dalam wilayah kekhalifaan muslim-arab. Kedua wilayah ini ditaklukkan pada 641 M. penduduknya dengan cepat mengadopsi bahasa arab, meskipun mereka cukup lamban dalam menerima Islam. Pada periode khalifah Umayyah dan awal Abbasiyah, mesir merupakan sebuah propinsi yang kurang penting dalam imperium muslim, tetapi sejak pertengahan abad sembilan mesir menunjukkan tanda-tanda awal untuk menjadi sebuah wilayah yang independent. Tentara-tentara budak yang diangkat oleh khalifah Abbasiyah mendirikan beberapa dinasti yang berusia pendek. Dinasti Thuluniyah menguasai mesir dari tahun 868 sampai 905 dan dinasti Ikhtisadiyah menguasai mesir dari 935 sampai 969. Pada tahun 969 Fathimiyah menaklukkan negeri ini dan mendirikan sebuah khalifah baru yang berlangsung hingga tahun 1171 M.
            Sejarah mencatat bahwa perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan politiknya, bahkan aspek ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial budaya, dan sistem pemerintahan.

BAB II
PEMBAHASAN
DINASTI FATHIMIYAH DI MESIR


A.  Asal –Usul dan Pembentukannya
Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 sa’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fathimiyah yang beraliran syiah, Jawhar al-siqili atas perintah khalifah Fathimiyah.[1]
Pendiri kerajaan Fathimiyah itu ialah salah seorang turunan dari Fathimah, putri Nabi Muhammad SAW.[2]
Kalangan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakannya al-Ubaidiyyun sebagai ganti dari Fathimiyyun.[3]
Fathimiyyah memakai gelar khalifah sebagai tandingan khalifah Abbasiyah di Baghdad.[4]
Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali ibn Abu Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah Al-mahdali sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail ibn Ja’far al-shadiq. Ismail merupakan imam syiah yang ketujuh.
Setelah kematian imam Ja’far al-shadiq syiah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-kazim sebagai imam ketujuh pengganti imam Ja’far, sedangkan sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail ibn Muhammad al-Maktum sebagai imam syiah ketujuh. Cabang syiah kedua ini menamakan syiah Isma’iliyah. Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas hingga muncullah Abdullah ibn Maymun yang membentuk syiah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda syiah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fathimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran syiah Ismailiyah kegiatan ini terjadilah yang menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah ibn Maymun pada tahun 874 m, ia menunjukkan pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abu abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan syiah Ismailiyah. Ia adalah orang Yaman asli, dan sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim diri sebagai wakil al-Mahdali. Ia menyeberang ke Afrika utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Berker, khususnya dari kalangan suku Kithaman menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika utara yakni Ibrahim ibn Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putra dan sekaligus pengganti Ibrahim ibnu Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat kepada imam Ismailiyah yakni Sa’id ibn Husayn al-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Said mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah berhasil merebut kekuatan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabi pada tahun 909 m dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang terakhir yakni Ziyadatullah. Said kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar Ubaydillah al-Mahdali.
Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika utara dengan al-Mahdali sebagai khalifah pertamanya.
Berikut merupakan penguasa-penguasa dinasti Fathimiyah:
a.       Al-Mahdi (297-323 H / 909-934 M)
b.      Al-Qa’im (323-335 H / 934-949 M)
c.       Mu’iz (341-352 H / 965-975 M)
d.      Al-Aziz (365-386 H / 975-996 M)
e.       Al-Hakim (386-412 H / 996-1021 M)
f.       Al-Zahir (412-426 H / 1021-1036 M)
g.      Al-Mustansir (427-487 H / 1036-1095 M)
h.      Al-Musta’li (487-495 H / 1095-1101 M)
Kekhalifahan Fathimiyah digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi (1174 M) yang mendukung aliran Suni.[5]

B.  Kondisi Politik, Sosial, Budaya Kemajuan dan Keruntuhan
Periode dinasti Fathimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir, sebagian khalifah dinasti ini adalah pejuang-pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Administrasi kepemerintahan dinasti Fathimiyah secara garis besarnya tidak berbeda dengan administrasi dinasti Abbasiyah sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun urusan spiritual. Ia berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.[6]
Kementerian negara (wazir) terbagi menjadi dua kelompok, pertama adalah “orang-orang ahli pedang” dan kedua adalah “orang-orang ahli pena”. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan istana serta pengawal pribadi sang khalifah, sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut:
1.      Hakim
2.      Pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Darr al-Hikmah
3.      Inspektor pasar yang bertugas menerbitkan pasar dan jalan.
4.      Pejabat keuangan  yang menangani segala urusan keuangan negara
5.      Regu pembantu istana
6.      Petugas pembaca Al-Qur’an.[7]
Di luar jabatan istana di atas terdapat jabatan-jabatan tingkat daerah meliputi tiga daerah: Mesir, Syiria dan daerah-daerah di asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir terdiri empat propinsi, propinsi Mesir bagian atas, Mesir wilayah timur, Mesir wilayah barat dan wilayah Alexandria.
Dalam kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok; yaitu:
1.      Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah
2.      Petugas keamanan
3.      Sebagai resimen.[8]
Pusat–pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton, dan beberapa pelabuhan Syria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral tinggi.
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non Islam. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintahan muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam dimana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kopti. Pada Khalifah generasi akhir, gereja-geraja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen juga semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah, demikianlah semua ini menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fathimiyah terhadap umat Kristiani.
Mayoritas Khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. al-Mustansir menurut sejarah telah mendirikan semacam parilion di istananya, sebagai tempat memuaskan kegemaran meminum arak bersama dengan sejumlah penari rupawan.
Salah seorang propaganda Ismailiyah berkebangsaan Persia, Nasir al-Khusraw, yang mengunjungi Mesir tahun 1046-1049 M meninggalkan catatan tentang kehidupan Kairo. Pada saat itu ia mendapatkan kota Kairo sebagai kota makmur dan sentosa. Menurutnya toko-toko perhiasan dan pusat-pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya bagitu saja tanpa dikunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga toko menjual barang dengan harga jual yang telah ditentukan dan jika seseorang terbukti melanggar ketentuan harga jual akan dihukum dengan diarak di atas unta sepanjang jangan dengan diiringi bunyian-bunyian.[9]
Kota yang terletak di tepi sungai Nil (Mesir) telah mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiyah, dimasa Shalah al-Din al-Ayyubi, dan di bawah Baybars dan al-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fathimiyah dimulai dengan al-Mu’izz. al-Mu’izz Lidinillah dan Aziz (975-996 M) di Mesir dapat disejajarkan dengan Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun di Baghdad. Selama pemerintahan Mu’izz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.[10]
Yang menjadi peninggalan penting dari khalifah Fathimiyah di Mesir adalah perguruan tinggi al-Azhar di Cairo. Perguruan tinggi ini adalah perguruan tinggi tertua di dunia. Sangat berperan dalam meningkatkan kebudayaan dan peradaban Islam baik di negeri arab atau di negeri-negeri bukan arab. Selama berabad-abad perguruan tinggi al-azhar menjadi pusat pendidikan dan tempat pertemuan para pelajar seluruh dunia dan menimba pengetahuan agama Islam.
Ketika al-Muizz menjabat sebagai penguasa di masa dinasti Fathimiyah ia melaksanakan tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang administrasi, ia mengangkat wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama di, mesir diadakan empat lembaga peradilan , dua untuk mazhab syiah dan dua untuk mazhab Sunni. Al-aziz kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan mesjid-mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru.
Pada masa pemerintahan al-Hakim (996-1021 M) didirikan bait al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran dan ajaran-ajaran Islam terutama Syiah.
Pada masa-masa selanjutnya, dinasti Fathimiyah mulai mendapat gangguan-gangguan politik. Akan tetapi kairo tetap menjadi sebuah kota besar dan penting. Ketika jayanya di Kairo terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah penuh dengan barang-barang dari dalam dan luar negeri. Kafilah-kafilah, tempat-tempat pemandian, dan sarana umum lainnya banyak sekali didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 oraang, 12.000 diantaranya adalah pembantu, 1000 pengawal berkuda[11]
Dinasti Fathimiyah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalah al-Din seorang pahlawan Islam terkenal dalam perang salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orietasi keagamaan Syiah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat belajar teologi dan hukum.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa:
1.      Dinasti Fathimiah berdiri pada tahun 969 M – 1171 M dengan pendiri-pendiri sebagai berikut:
a.       Al-Mahdi
b.      Al-Qa’im
c.       Al-Mu’izz
d.      Al-Aziz
e.       Al-Hakim
f.       Al-Zahir
g.      Al-Mustansir
h.      Al-Musta’li
2.      Mesir mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu:
a.       Masa dinasti Fathimiyah
b.      Masa Shalah al-Din al-Ayubi
c.       Masa dinasti Mamalik
3.      Peninggalan penting masa dinasti Fathimiyah diantaranya adalah Universitas al-Azhar Cairo.


B.  Saran dan penutup
Penulis sangatlah menyadari bahwa makalah ini tentunya jauh dari sempurna, karenanya penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan. Akhirnya semoga makalah ini dapat menjadi khasanah pengetahuan bagi kita semua, khususnya bagi penulis.
    

DAFTAR PUSTAKA


Dr. Badri Yatim, M.A. “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah islamiyah II)” Rajawali Pers. Jakarta.2002.

C. Israr. “Sejarah Kesenian Islam”. Bulan bintang. Jakarta. 1955.

Dr. Ali Mufrodi. “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab” Logos Wacana Ilmu.

Drs. H.M.Yusran Asmuni. “Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Isamiyah II)”. Grafindo Persada Jakarta. Cet ke III.1998.

Prof. K.Ali. “Sejarah Islam (Tarikh Pramodern)”. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Cet ke IV.2003.

 

[1] Dr. Badri Yatim, M.A. “Sejarah Peradaban Islam (Dirasah islamiyah II)” Rajawali Pers. Jakarta.2002. Hal. 281
[2] C. Israr. “Sejarah Kesenian Islam”. Bulan bintang. Jakarta. 1955. Hal.149
[3] Dr. Ali Mufrodi. “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab” Logos Wacana Ilmu. Hal.116
[4] Ibid. Hal. 117
[5] Drs. H.M.Yusran Asmuni. “Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Isamiyah II)”. Grafindo Persada Jakarta. Cet ke III.1998. Hal. 13
[6] Prof. K.Ali. “Sejarah Islam (Tarikh Pramodern)”. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Cet ke IV.2003. Hal. 509
[7] Ibid.  Hal.510
[8] Ibid
[9] Ibid.  Hal.512
[10] Dr. Badri Yatim. Loc Cit. Hal.282
[11] Ibid. Hal. 283