PENDAHULUAN
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philos artinya suka, cinta atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kesederhanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.
Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Antara lain Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala yang ada.
Aristoteles (murid Plato) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya” (being as such).
Lebih lanjut Prof. M. Nasroen, S.H mengatakan filsafat itu adalah sebuah dari corak usaha manusia dalam menghadapi, memecahkan dan menundukkan masalah yang mengenai ada dan hidupnya, yaitu yang akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Falsafah itu adalah ciptaan dari manusia, sebagai satu kesatuan tetap dalam falsafah ini. Maka tenaga dan pikiran yang ada pada manusia itulah yang mengambil inisiatip dan mempunyai peranan utama. Tetapi dalam hal ini bukanlah semata-mata fikiran itu saja yang bertindak, sebab yang bertindak itu tetap manusia itu sebagai satu kesatuan, yang berfalsafah itu adalah manusia bukan fikiran, dan dengan falsafah manusia akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditentukannya. Maka dengan demikian falsafah itu adalah khayalan, mainan fikiran saja dan akan tidak mungkin membuahkan hasil yang nyata bagi manusia itu.
Dari uraian definisi-definisi di atas jelaslah bahwa falsafah itu tidak hanya sebagai semboyan saja tanpa penyelidikan/pembahasan yang sungguh-sungguh, filsafat menggunakan rasio sebagai alat untuk tujuan kebahagiaan manusia dan bukanlah manusia yang diperalat oleh rasio.
Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan menurut Louis Kahsoff dalam beberapa hal saling melengkapi.
Sebagaimana dikatakan bahwa filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat tersebut. Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metoda ilmu pengetahuan.
Dalam hubungan ini menurut Harold H. Titus menerapkan ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi aktual dan deskriptif yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat.
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia. Pengetahuan yang pertama diperoleh manusia melalui wahyu, sedangkan pengetahuan kedua diperoleh manusia melalui indra dan akal. Pengetahuan dalam bentuk kedua ini ada yang disebut dengan pengetahuan indra, pengetahuan ilmu (sains), dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan indera berdasarkan pengalaman sedang pengetahuan ilmu berdasarkan penyelidikan. Sementara itu pengetahuan filsafat merupakan hasil proses berpikir dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh, dan mendasar. Bahkan filsafat dalam menyelidiki sesuatu tanpa batas sampai ke akar-akarnya.
Dalam dunia filsafat timbul berbagai aliran, seiring zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman, salah satunya apa yang dikenal dengan filsafat Neo-Positivisme.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT ILMU NEO-POSITIVISME
“Neo-Positivisme” adalah penganut suatu aliran dalam filsafat yang menanamkan juga diri mereka sebagai kaum “empiris logika”. Dapat juga disebut kaum “fisikalis”. Bahkan beberapa dari mereka menanamkan sebagai penganut “Logistik” (logika formalis atau logika simbolis). Pada umumnya disebut juga mazhab “wina” atau “kring wina”.
Kaum neo-positivisme semenjak semula telah membentuk suatu mazhab, malah pernah dikatakan orang suatu sekte yang tidak bebas pula dari kesempitan hati seperti sudah galibnya, terdapat pada sekte-sekte. Kaum neo positivis mempunyai keyakinan bahwa filsafat sebagai ilmu hanya “aman” dalam tangan mereka sendiri dan bahwa tiap orang memepelajari filsafat menurut cara lain mungkin ada mengerjakan sesuatu yang sangat penting dan luhur, tetapi bahkan mengerjakan sesuatu secara ilmu.
Nama “neo-positivisme” telah menyatakan bahwa kita di sini seperti halnya “neo-kantianisme” berhadapan dengan suatu pergerakan yang merupakan suatu lanjutan dari aliran-aliran yang lama. Yang diteruskannya. Menurut E.Von Aster; “neo-positivisme mempunyai dua akar utama, yang satu adalah reaksi terhadap aliran metafisika, yang kedua adalah neo positivisme terletak dalam perkembangan ilmu pasti dan ilmu alam modern.
Neo-positivisme cenderung untuk menumbuhkan pengetahuan dengan bahan ilmu alam dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tentang makna saja untuk dianalisis oleh filsafat. Hal-hal yang merupakan fakta-fakta dikatakan temasuk bidang ilmu. Hanya analisis tentang bahasa dan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan verifikasi yang mengiringinya, yang tetap diakui termasuk lingkungan filsafat. Pendekatan yang radikal semacam ni membatasi jumlah masalah filsafat yang banyak itu menjadi hanya meliputi lapangan-lapangan tertentu dari epistemologi disamping logika. Sebagai konsekuensinya penganut neo positivisme sepaham untuk menolak gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan atau bahkan menolak usaha filsafat.
Untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang kenyataan penolakan ini dilakukan dengan dua cara yakni:
1. Dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi.
2. Dengan menganalisa bahasa, dan berusaha menunjukan betapa kita dapat terpedaya oleh struktur bahasa.
Hal ini didasarkan atas apa yang dinamakan “verifiability theory of meaning” yang mengatakan bahwa sebuah kalimat betul-betul mengandung makna bagi seseorang tertentu, jika dan hanya jika, ia mengetahui bagaimana caranya melakukan verifikasi terhadap proposisi yang hendak dinyatakan oleh kalimat itu, artinya jika ia mengetahui pengamatan apakah yang menyebabkan ia dengan syarat-syarat tertentu menerima proposisi tersebut sebagai proposisi yang benar atau menolaknya sebagai proposisi yang sesat.
Penganut neo-positivisme mengatakan, satu-satunya corak pengamatan yang relevan ialah pengematan inderawi.. bilamana “ukuran dapat diverifikasi” tidak dapat diterapkan, maka tidak mungkin ada makna, dan pernyataan yang dipertimbangkan dikatakan “ tiada bermakna”. Banyak diantara penganut neo positivisme menegaskan tentang pentingnya kalimat-kalimat emotif, meskipun kalimat-kalimat tersebut tidak berisi makna.
Comte seorang filosof dari neo-positivisme megatakan bahwa alam fikiran manusia dan sejarah manusia telah mengalami 3 fase, dan masing-masing fase yang kemudian lebih tinggi tingkatannya daripada yang mendahuluinya. Fase pertama ialah fase teologi, dimana perasaan dan kepercayaan berkuasa dan dimana manusia menerima bimbingan myte. Ini digantikan oleh fase metafisika yang dikuasai oleh pengertian-pengertian umum yang abstrak, dan oleh berbagai sistem dan cita.
Umat manusia sekarang menurut pertimbangan Comte memasuki stadium positif, dimana keterangan-keterangan keilmuan menggantikan tempat teologi Kristen dan teologi metafisika. Keterangan-keterangan keilmuan adalah lukisan-lukisan dari peristiwa-peristiwa dan pertalian-pertalian. Roh manusia tidak boleh berspekulasi, melainkan harus mengorganisasi, bukan hanya dirinya sendiri saja, melainkan juga masyarakatnya, ini sesuai dengan revolusi industri yang dialami oleh masyarakat itu.
Pengaruh yang lebih langsung atas neo positivisme adalah dari “empiriocritisme”. Richard Avenarius sebagai pelopor dari kaum neo-positivisme, dia memberikan kepada filsafat derajat kepastian yang sama dengan ilmu pasti, yaitu dengan mempergunakan metode metafisika dan dengan pertolongan alat-alat pernyataan metafisika. Selanjutnya ia juga menjauhkan segala suasana perasaan dan emosi dari filsafat. Filsafat harusnya yang beraturan keras, yakni ilmu yang berdasar pengalaman murni, dimana peristiwa-peristiwa bertalian di dalamnya. Pertalian ini paling dekat kepada kebenaran, jika dia karena kesederhanaannya menghendaki kegiatan yang paling sedikit dari pikiran. Inilah yang disebut asas ekonomi fikiran.
Hal ini juga dikemukakan oleh Mach, seorang empiris sejati. Ia mengesampingkan bagian apriori dalam penyusunan pengetahuan dan dibiarkannya seluruh ilmu itu terjadi dari pengalaman.
Tidaklah muda untuk mengatakan apa sebenarnya yang dikehendaki oleh kaum noe-positivisme. Ditinjau dari satu sudut mereka merupakan golongan yang tertutup rapat, dan dari sudut lain terlihat di dalamnya perbedaan-perbedaan pendapat, sedang pendiri-pendiri yang dipegang semula kemudian ditinjau kembali oleh beberapa diantara mereka, sehingga adanya sayap “kanan” dan sayap “kiri”. Tetapi yang pasti ialah bahwa satu-satunya yang dianggap penting oleh mereka ialah interpretasi keilmuan tentang kenyataan, juga sudah pasti bahwa menurut mereka metafisika tidak dapat dipersatukan dengan interpretasi keilmuan semacam itu, dengan kata lain; metafisika tidak bersifat keilmuan. Mereka tidak mau tahu tentang filsafat yang pada dasarnya berlainan hakikatnya dari ilmu eksak.
Bochenski berkata: filsafat bagi kaum neo-positivisme tidaklah lain daripada analisis dari bahasa ilmu kealaman.
Felix Kaumann; satu-satunya tugas dari filsafat yang agak berarti ialah memperjelas aturan-aturan dari prosedur keilmuan; sassen pergerakan neo-positivisme adalah berarti suatu reaksi dari empirisme dan positivisme terhadap idealisme dan metafisika dalam filsafat. Lagi pula dia menentang penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap kata dalam filsafat dan dia juga hendak mencari alat-alat pernyataan yang sama dapat dipercayai seperti halnya dengan alat-alat pernyataan pada ilmu-ilmu eksak.
Jadi neo-positivisme itu adalah suatu pergerakan dengan “anti” dan “pro”. Dia “anti” terhadap hampir segala soal-soal utama yang dipersoalkan oleh fikiran filsafat sampai waktu itu dan dia mencoba membuktikan bahwa soal-soal itu sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa. Dia “pro” filsafat sebagai metode keilmuan yang diteliti, yang menghasilkan pengetahuan. Satu-satunya metode yang sanggup melakukan hal itu ialah metode ilmu kealaman yang logis metanatis. Sikap kaum neo-positivis adalah tenang dan sangat anti spekulasi.
Dalam filsafat tradisional selalu timbul pertanyaan tentang “dunia sebenarnya” bagi kaum neo positivisme sama sekali tidak peduli apakah orang percaya bahwa kita mencapai dunia “sebenarnya” karena pengalaman-pengalaman kita, atau apakah orang menganggap bahwa dunia orang seenarnya itu bersembunyi “di balik” pengalaman. Pernyataan-pernyataan semacam itu tidak benar dan juga tidak salah. Sebab tidak ada menceritakan sama sekali tentang peristiwa-peristiwa yang dapat diketahui. Kebanyakan kaum neo-positivisme pada suatu pihak mempergunakan alat-alat pernyataan formil dengan leluasa yang disajikan oleh logika modern. Sebaliknya pula, mereka adalah kaum empiris tulen. Sesuatu itu barulah benar bila dapat dibuktikan dengan pengalaman sebagai suatu yang benar. Tiap filsafat yang menerima kemungkinan pengetahuan harus membuktikan apa yang menjadi dasar pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Neo-positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang aktual dan positif.
2. Kaum neo-positivisme memiliki kesamaan dengan kaum empiris.
3. Menurut Comte bahwa perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 fase yaitu:
a. Fase Ideologi
b. Fase Metafisika dan
c. Fase Positif
B. Saran dan Penutup
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat menjadi khazanah pengetahuan khususnya bagi penulis dan juga kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Rizal Mustansyir, M.Hum & Drs. Misnal Munir, M.Hum. “Filsafat Ilmu”. Pustaka Pelajar. Cet ke IV.2004.
Jan Hendrik Rapar. “Pengantar Filsafat”. Kanisius, Jogjakarta. Cet ke 6. 1996.
Drs. Hamzah Abbas. “Pengantar Filsafat Alam”. Al-Ikhlas. Jakarta.1981
Drs. H.A.Mustofa. “Filsafat Islam”. Pustaka Setia. Bandung. Cet ke II. 2004.
Prof. Dr. R. F. Beerling. “Filsafat Dewasa Ini”. Dinas Penerbitan Balai Pustaka. Jakarta. 1958.
Louis.O.Kattsoff. “Pengantar Filsafat”. Penerbit Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Cet ke 7. 1996.