Muhkamad dan Mutasyabihat

PENDAHULUAN

Seruan kembali kepada al-Qur’an dan sunnah yang sejak lama berkumandang di Indonesia. Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa Arab. Karena itu ada anggapan bahwa setiap orang yang mengeri bahasa Arab, mengerti isi al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya. Sekalipun ia tidak mengerti bahasa Arab. Anggap saja hal itu keliru, sebab banyak orang yang mengerti bahasa Arab tetapi tidak mengerti isi al-Quran dan kandungannya.
Seseorang yang hendak memahami dan menafsirkan al-Quran secara benar dan bertanggung jawab memerlukan bukan hanya bahasa Arab tetapi juga berbagai ilmu-ilmu yang membahas eksistensi dan keadaan al-Quran serta cara dan alat memahami dan menafsirkannya seperti ilmu Asbab al-Nuzul, ilmu Muhkamad dan Mutasyabihat, ilmu Qiraat, ilmu Nasikh dan Mansukh, ilmu Rasm al-Quran dan ilmu tafsir. Oleh karena itu, disini kami akan membahas tentang pengartian ayat-ayat Muhkamad dan Mutasyabihat dan sebagainya. Mudah-mudahan kita semua dapat lebih memahami tentang isi dan kandungan al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam.


A.    Pengertian Muhkamad – Mutasyabihat
1.    Muhkamad
Kata muhkamad berasal dari kata ikhkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun semua pengertian ini pada dasarnya kembali kepada makna pencegahan. Ahkam al-Amr berarti menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan : Ahkam al-faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Pengertian muhkamad pada surah Hud ayat 1: bahwa ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya rapi serta tidak ada kekurangan dan tidak ada kontradiksi di dalammya.
Menurut bahasa, muhkam terambil dari Hakamul daabah waal kamat artinya melarang.
Al-Quran itu seluruhnya muhkam, artinya bahwa perkataan al-Quran itu kokoh dan kuat, membedakan antara yang hak dan yang bathil ; yang benar dan yang bohong.
Menurut difinisi yang di kemukakan al-Zarqani bahwa :
a.    Muhkam ialah ayat yang luas maksudnya bagai nyata yang tidak mengandung kemungkinan naskh.
b.    Muhkam ialah ayat yang tidak di ketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil.
c.    Muhkam ialah ayat yang tidak mengadung kecuali satu kemungkinan makna takwil.
d.    Mahkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan.
e.    Mahkam ialah ayat yang seksama susunan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan.
f.    Mahkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan).
g.    Mahkam ialah ayat yang di tujukan maknanya kuat yaitu lafal naskh dan lafal zhahir.

2.    Mutasyabihat
Pengertian mutasyabihat pada surah Az-Zumar ayat 23 adalah bahwa ayat-ayat saling menyerupai dalam hal kebenaran dan kemukzizatannya. Mutasyabihat menurut bahasa terambil dari tasyabuh, yaitu yang satu diserupakan dengan yang atu lagi. Al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabihat mutasyabah artinya satu sama lain ayat-ayatnya itu serupa dalam segi kesempurnaan dan kebaikannya.
Mutasyabihat berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan dua hal masing-masing menyerupai yang lain.

B.    Cara Menentukan Muhkamad – Mutasyabihat
Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan ayat-ayat yang masuk muhkamat-mutasyabihat. Diantaranya :
1.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat yang maksudnya dapat di ketahui baik baik melalui takwil maupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang maksudnya hanya dapat di ketahui oleh Allah, seperti tentang terjadinya hari kiamat dan lain-lain.
2.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat yang maknanya jelas, sedangkan mutasyabihat sebaliknya.
3.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat-ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti yang lain, sedangkan mutasyaihat mempunyai kemungkinan sisi arti yang banyak.
4.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat yang maknanya dapat di pahami oleh akal, seperti bilangan raka’at shalat, sedangkan mutasyabihat sebaliknya (Al-Mawardi).
5.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat yang maksudnya segera dapat di ketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat mutasyabihat memerlukan penakwilan agar di ketahui maksudnya.
6.    Ayat-ayat muhkamad adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabihat bergantung pada ayat yang lain.
7.    Ayat-ayat muhkamad ialah ayat-ayat yang lafal-lafalnya tidak berulang-ulang, sedangkan mutasabihat sebaliknya.
8.    Abd bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari adh-Dhahhar yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkamad adalah ayat yang tidak di hapus sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang di hapus.
9.    Ibnu Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin hayyan bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah seperti alif lam mim, alif lam mim ra’ dan alif lam ra’.
10.    Ibnu Abi hatim mengatakan bahwa Ikrimah, Qatadah, dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkamad adalah ayat-ayat yang harus diimani dan di amalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang harus di imani, tetapi tidak di amalkan.

C.    Sebab-sebab Terjadinya Mutasyabihat Dalam Al-Qur’an
Secara ringkas dapat di katakana bahwa sumber tasyabuh atau mutasyabih adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalamnya. Secara rinci, dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada makna atau kepada lafal dan makna sekaligus. Contoh ketersembunyian pada lafal adalah :


Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian pada makna adalah ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Tuhan, seperti :

Menurut al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam :
1.    Ayat-ayat yang seluruhnya manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya. Seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakekat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya.
2.    Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan dan seumpamanya.
3.    Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat di ketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.

D.    Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf Tentang Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat
Shubhi al-shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.
1.    Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkan hakekatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana diterangkan al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakekatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakekat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidhah atau tafwidh. Ketika imam malik ditanya tentang makna istiwa, ia berkata :

Istiwa itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-ngada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan kamulah orang ini dari majelis saya.
Inilah system penafsiran yang di terapkan oleh Mazhab Salaf  pada umumnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.    Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pula Muawwiyah atau mazhab takwil. Mereka memaknakan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintah-Nya. Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi bukan berada di suatu tempat , “sisi” Allah dengan hak Allah. “wajah’ dengan zat “mata’ dengan pengawasan. “tangan” dengan kekuasaan. Dan “diri” dengan siksa. Dengan demikian system penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. Semua lafal yang mengandung makna “cinta, “murka”. Dan “malu” bagi Allah ditakwilkan dengan makna majaz yang terdekat.

E.    Contoh-contoh Ayat Mutasyabihat
Diantara ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Ibnu Al-labban telah menulis buku khusus tentang ini. Contoh :


Mayoritas Ahlusunnah diantara ulama salaf dan ahli hadist mengimani ayat-ayat itu dan menyerahkan maksudnya kepada Allah. Mereka tidak akan mencoba menafsirkan ayat-ayat itu sambil menyucikan Allah dari hakekat dan tampak dari dzahir lafazh.


F.    Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Mengapa Allah menurunkan ayat yang samar dan tidak semua orang dapat menangkapnya seperti ayat-ayat mutasyabih? Mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam sehingga semua orang mudah memahaminya? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui apa hikmah dan rahasia keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Para ulama telah banyak mengkaji hikmah ini yang empat diantaranya disebutkan oleh Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan.
1.    Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi yang mengkajinya.
2.    Jika al-Qur’an seluruhnya muhkamtentu hanya ada satu mazhab. Akan tetapi jika al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang akan menguatkan pendapatnya.
3.    Ayat-ayat mutasyabihat diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqih, dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.
4.    Al-Qur’an berisi dakwah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang awam biasanya tidak menyukai hal abstrak. Oleh karena itu sebaiknyalah disampaikan lafal-lafal yang menunjukan pengertian-pengertian yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka.

Sebagian ulama menjelaskan di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat ialah bahwa akal sedang di coba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana Allah memberi cobaan kepada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga ia enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabihat merupakan saran bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabihat itu. Pada penghujung surah ali Imran ayat 7, Allah menyebutkan :

Sebagian cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat dan memberikan pujian kepada orang-orang yang mendalam ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, bukan yang memilki akal . oleh karena itu orang-orang yang mendalam ilmunya itu berkata :Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni dan sebelumnya menghilangkan kecendrungan jiwanya untuk mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat.

Jika anda tahu bahwa menyelami ayat-ayat mutasyabihat itu tercela, seyogyanya anda tidak memberi pembatasan terhadapnya. Itulah cara terbaik agar ketercelaan itu diketahui sehingga mendorong diri sendiri untuk menjauhinya. Al-Khatabi membagi ayat-ayat yang dapat di ketahui maknanya dengan jalan dihubungkan dengan ayat-ayat muhkamat. Kategori kedua adalah ayat-ayat yang tidak ada jalan untuk mengetahui hakekatnya. Kategori terakhir itulah yang diotak-atik oleh sekelompok orang sehingga menimbulkan keraguan dan fitnah.

P E N U T U P
Kesimpulan
1.    kata muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan.
2.    Ayat-ayat al-qur’an baik yang muhkam atau yang muthasabihat semuanya berasal dari Tuhan.
3.    Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat sebaliknya.
4.    Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkapkan ayat-ayat mutasyabihat itu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Ramli Wahid, MA, Ulumul Qur’an, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

H. Ahmad Syahdan, MA & Drs. H. Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1995.

Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992.

Drs. H. Abuddin Mata, MA, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996l.

Posting Komentar

0 Komentar